• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #22: Kisah Nundang Rundagi di Cicalengka

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #22: Kisah Nundang Rundagi di Cicalengka

Nundang Rundagi, pelukis sekaligus inisiator “Dialog antara Kita: Melukis dan Menulis di Nugenah”. Menggagas kegiatan seni dan literasi bersama warga Cicalengka.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Nundang Rundagi saat melukis di acara Dialog antara Kita: Melukis dan Menulis di Nugenah, yang diadakan di Nugenah Kopi, di Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Foto: Hafidz Azhar)

27 Februari 2023


BandungBergerak.id – Laki-laki paruh baya itu mengambil kuasnya. Lalu kuas tersebut dicelupkan ke dalam cat putih. Selanjutnya ia memulas kanvas polos berwarna kuning dengan kuas yang sudah dicelupkan tadi. Seketika imajinasinya berjalan. Tangannya bergoyang tiada henti hingga kanvas itu menjadi beragam warna dan menghasilkan satu lukisan bernuansa surealis.

Nundang Rundagi, lelaki paruh baya berumur 62 tahun itu merupakan penggagas acara Dialog antara Kita: Melukis dan Menulis di Nugenah, yang diadakan di Nugenah Kopi pada Minggu 19 Februari 2023. Kegiatan yang berlangsung pada siang hari itu melibatkan semua kalangan mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Gege, salah satu peserta dari kalangan anak-anak terlihat menikmati cara melukisnya. Bersama ibunya, Gege memilih untuk ikut memulas kanvas berukuran kecil yang sudah disediakan panitia. Beberapa hari sebelum berlangsung sang ibu telah merencanakan untuk ikut dalam acara itu, “Karena Gege senang melukis”, katanya.

Selain Gege, acara tersebut diikuti juga oleh dua orang pelukis. Sebut saja Diko dan Bertha. Diko sendiri merupakan lulusan UGM asal Yogyakarta yang tinggal di Tanjungsari. Sehari-hari ia mengelola perkebunan bersama para petani kopi di Tanjungsari. Sementara Bertha ialah lulusan jurusan seni di salah satu kampus Jepang yang mengajar anak-anak menggambar di Rumah Baca Kali Atas setiap Minggu pagi. Keduanya sengaja hadir di acara itu untuk melukis bersama.

Di antara sekian orang yang tertarik dengan melukis, hadir pula para pengurus taman baca yang tergabung dalam Lingkar Literasi Cicalengka. Ketertarikan mereka terbilang beragam. Ada yang menyalurkan kreativitasnya lewat menggambar kartun, ada juga yang sekadar corat-coret puisi dalam selembar kertas kosong. Bahkan salah seorang dari Lingkar Literasi Cicalengka sengaja membawa pilok untuk membuat mural sebagaimana yang dilakukan oleh Rifal dari Taman Baca Pohaci.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #21: Orang Palembang di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #20: Yang Belum Usai dari Program Pengelolaan Sampah (2)
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #19: Yang Belum Usai dari Program Pengelolaan Sampah
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #18: Pertanyaan di Balik Cicalengka sebagai Wilayah Kebangkitan Industri

Tinggal di Cicalengka

Nundang, anak keempat dari pasangan mendiang Ajip Rosidi dan Fatimah Wirjadibrata ini telah memutuskan untuk tinggal di Cicalengka. Keputusan itu didorong pula oleh hasrat literasi dan seninya untuk berkegiatan di kawasan Bandung Timur. Konon, sekitar tiga tahun yang lalu Nundang mulai menetap secara permanen di Kampung Pamoyanan, Kecamatan Cicalengka bersama istri dan kedua anaknya. Hal ini diputuskan setelah sang ayah, Ajip Rosidi, wafat di Magelang pada bulan Juli 2020 silam.

Sejak tahun 1994 rumah tersebut memang telah ditempati oleh Nundang. Tetapi kala itu Nundang seraya pulang-pergi dengan jarak Pabelan-Cicalengka untuk menemai Empat, panggilan Ajip untuk Fatimah Wirjadibrata, yang sedang sakit-sakitan. Terkadang, Nundang harus pergi ke Jakarta, Kalimantan atau ke Sumbawa. Akhirnya, pada tahun 1995 Nundang sepenuhnya mendampingi sang ibu sampai meninggalnya tahun 2014. “Sejak tahun 1994 saya mempunyai kewajiban menemani ibu yang sedang sakit-sakitan”, tutur Nundang.

Kewajiban Nundang tidak sampai di situ. Setelah Empat wafat, Nundang harus menemani sang ayah di Pabelan maupun ketika bepergian. Maklum, mendiang Ajip Rosidi merupakan sastrawan cum budayawan Sunda yang mempunyai kesibukan dalam memajukan kebudayaan daerah. Di sela-sela usia yang tergolong sangat sepuh, Ajip harus mengurus Yayasan Kebudaan Rancage. Setiap tahun yayasan ini memberikan penghargaan kepada para sastrawan daerah melalui karya-karya terbaiknya. Arkian, sebagai pendiri Rancage Ajip terus memantau perkembangan sastra Sunda, Jawa, Bali, Lampung dan Batak, yang masuk dalam nominasi pemberian hadiah Sastra Rancage. Dari kesibukan itulah Nundang tampak berkewajiban untuk mendampingi Ajip sampai sang ayah wafat di tengah-tengah masa pagebluk. Beberapa waktu kemudian Nundang kembali ke Cicalengka.

“Setelah ibu meninggal lalu mendampingi bapak sampai meninggalnya. Hampir satu tahun kemudian saya kembali ke sini (Cicalengka)” ungkap Nundang.

Rumah yang ditinggali oleh Nundang bersama Dewi, sang istri, dan dua anaknya itu ternyata mengandung kisah tersendiri. Pertemuannya dengan Josef C.D., kawan terdekat Ajip, mengembalikan memori kolektif Nundang saat pertama kali dirinya datang ke Cicalengka. Konon, sekitar 1990an Embas, panggilan Ajip kepada kawannya Suherman, menyarankan Nundang agar belajar melukis di kediaman Josef C.D., yang kala itu masih dikelilingi oleh persawahan. “Kalau mau melukis, sini ke Cicalengka ke rumahnya Kang Josef” kata Nundang sambil mempraktikkan gaya bicara Embas.

Dalam Hidup Tanpa Ijazah: yang Terekam dalam Kenangan disebutkan bahwa Josef C.D. merupakan sahabat Ajip sekaligus tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII) yang memimpin Pesantren Al-Huseiniyah di Pamoyanan, Cicalengka. Penelitian skripsi yang ditulis oleh Lesa Triana pada jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2015 juga menyebutkan bahwa Josef C.D. termasuk salah seorang pendiri sekolah Bina Muda. Sementara di Cicalengka sendiri Bina Muda terbilang sekolah yang cukup kesohor.

Selama di Pamoyanan, Nundang tidak hanya melakukan aktivitas seninya secara intens. Di tempat tinggal sahabat ayahnya itu diam-diam Nundang menaruh hati pada sosok perempuan bernama Dewi yang kelak menjadi istrinya. Beberapa waktu kemudian, Nundang berhasil menikahi putri dari sahabat Ajip Rosidi itu. “Niatnya mau melukis tapi malah kepincut sama anak ajengan (Josef C.D.)” kata Nundang sambil tertawa.

Seorang peserta melukis mural di dinding rumah warga dalam acara Dialog antara Kita: Melukis dan Menulis di Nugenah, yang diadakan di Nugenah Kopi, di Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Foto: Hafidz Azhar)
Seorang peserta melukis mural di dinding rumah warga dalam acara Dialog antara Kita: Melukis dan Menulis di Nugenah, yang diadakan di Nugenah Kopi, di Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Foto: Hafidz Azhar)

Seni dan Kegiatan Literasi

Sebelum terjun pada dunia seni, Nundang tak mempunyai sedikit pun ketertarikan terhadap dunia seni atau melukis. Menurutnya ia hanya terbawa oleh seni karena lingkungan sang ayah yang banyak bergaul dengan kalangan sastrawan dan seniman. Dari lingkungan itu lambat laun hasrat seni Nundang muncul dengan sendirinya, sampai ia menghasilkan lukisan-lukisan yang bernilai tinggi.

“Saya tidak pernah tertarik dengan seni. Saya hanya terbawa oleh seni karena lingkungan bapak. Dari situ saya terhanyut oleh seni”, jelas Nundang.

Sambil menemani Empat di Pabelan, tak jarang Nundang mengadakan pameran lukisannya di luar kota. Nundang pernah menggelar pameran di Savoy Homan bersama Nana Banna, Tatang Ganar, dan Wawan Tresna pada tahun 1994. Bahkan saat berada di Jepang, Nundang pernah beberapa kali mengadakan pameran lukisan.

“Di Jepang beberapa kali digelar. Di Indonesia terakhir saya mengadakan pameran tahun 1994 di hotel Homan. Bersama Nana Banna, Tatang Ganar dan Wawan Tresna. Itu pameran saya terakhir di dalam ruangan. Setelah itu di luar ruangan”, jelasnya.

Di usianya yang terbilang sepuh, Nundang mempunyai semangat yang tidak mau kalah dengan anak muda soal mengembangkan minat terhadap seni maupun literasi. Sebagai inisiator Dialog antara Kita: Melukis dan Menulis di Nugenah, Nundang mempunyai harapan agar seni dan literasi di Cicalengka semakin berkembang. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Nundang dengan rutin menggelar dialog-dialog seperti itu agar terbangun kesadaran kolektif para pegiat seni dan literasi di Cicalengka.

Sebagai usaha lain, Nundang juga mendirikan kedai kopi Nugenah beberapa bulan lalu yang di dalamnya terdapat dua buah lemari berisi buku. Bahkan bagi Nundang dibuatnya kedai tersebut bukan semata-semata faktor ekonomis, tetapi sebagai wadah pendukung dalam membangun daya-daya kreatif.

“Sebetulnya warung (Nugenah) ini kan hanya pendukung saja. Berapa sih pemasukan warung, kan gak bakalan cukup. Tapi saya lebih kepada bagaimana membuka ruang kretivitas. Biar teman-teman bisa datang ke sini dengan bebas dan tanpa sekat” ucap Nundang.

Sebelumnya, pada bulan Januari, kegiatan serupa pernah digelar juga oleh Nundang di Nugenah Kopi. Waktu itu acara hanya diisi dengan kegiatan melukis secara improvisasi yang dilakukan di atas meja. Dengan demikian, acara bertajuk Dialog antara Kita: Melukis dan Menulis di Nugenah, yang diadakan di Nugenah Kopi merupakan kali kedua yang cukup menyita perhatian pengunjung. Karena selain melukis di tempat, para pengunjung juga bisa menulis dengan sebebas-bebasnya.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Redaksi

COMMENTS

//