CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #21: Orang Palembang di Cicalengka
Kisah keturunan saudagar perantau dari Palembang di Cicalengka yang menjaga tradisi wakaf untuk pendidikan. Ikut andil mendirikan berbagai lembaga pendidikan.
Noor Shalihah
Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas
20 Februari 2023
BandungBergerak.id – Untuk meningkatkan kualitas lembaga-lembaga pendidikan, terkadang lebih banyak diperlukan usaha-usaha yang berkaitan dengan ekonomi. Mokyr menyebut bahwa bekerja atau aktivitas ekonomi setidaknya harus meningkatkan reproduksi budaya ke jenjang yang lebih baik dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pada sekitar paruh kedua abad ke sembilan belas, perdagangan dikuasai oleh sistem kolonial dan pedagang Cina. Menurut salah seorang peneliti, sudah ada beberapa monopoli barang dagangan oleh pedagang Cina. Untuk pertahanan, pihak pribumi membuat sebuah perkumpulan dagang dan mulai meluaskan wilayah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketika kebijakan perdagangan mulai terbuka ke Bandung, banyak saudagar yang datang dari berbagai daerah seperti keturunan Jawa juga keturunan Palembang berkumpul di Bandung.
Uniknya, saudagar yang datang dari Palembang yang beragama Islam bukan hanya untuk berdagang. Tetapi juga melanjutkan tradisi keilmuan Islam seperti membuka majelis-majelis pengkajian. Perlahan-lahan diikuti oleh masyarakat sekitar. Melalui keuntungan yang diperolehnya, para saudagar ini mendukung dan membiayai berbagai macam aktivitas mengembangkan tradisi keilmuan ini dengan membuat perkumpulan dan lembaga-lembaga pendidikan.
Sebagian yang telah dibangun di Palembang, beberapa sekolah didanai oleh dana wakaf dari para pedagang. Salah satunya yang didirikan oleh Saudagar dari Palembang yang bernama M. Aqil, di mana peran-peran pendidikan agama bisa bertahan lebih lama dan lebih aman dalam menjalankan aktivitas-aktivitas pendidikan islam di tanah Palembang. Semangat ini pula yang dibawa dari para saudagar dari Palembang ke tanah Cicalengka.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #20: Yang Belum Usai dari Program Pengelolaan Sampah (2)
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #19: Yang Belum Usai dari Program Pengelolaan Sampah
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #18: Pertanyaan di Balik Cicalengka sebagai Wilayah Kebangkitan Industri
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #17: Mendidik Anak dari yang Sederhana
Tradisi Keluarga Berbasis Ajaran Islam
Termasuk apa yang dilakukan oleh kelima anak dari M. Aqil di bumi parahiyangan. Di antara yang datang adalah kelima anaknya Hamzah, Husin, Ahmad, Mad Ied, dan juga Amin. Niat tersebut merupakan niat perdagangan dan membawa tradisi-tradisi keluarga yang berakar dari ajaran Islam.
Di antara bidang yang menjadi fokus bisnis orang Palembang di Cicalengka adalah akar wangi dan tenun. Kurang lebih ada lima pabrik berada di Cicalengka. Selebihnya merupakan usaha perkebunan akar wangi. Dahulu bisa mencapai omzet sekira Rp 500 ribu per hari untuk ekspor.
Bukan hanya investasi dalam bentuk harta, namun juga di antara anaknya pergi ke Mesir untuk mencari ilmu. Sejak usia tiga belas tahun. Zen Hamzah, Hamid, Tohir Hamzah, Aminudin. Masing-masing keempatnya mengambil jurusan tafsir, ekonomi, pendidikan, dan bahasa. Bagi keluarga ini, pendidikan merupakan modal utama dan menjadi fondasi bagi pembentukan karakter keluarga.
Sepulang dari Mesir, oleh orang tuanya dibekali satu pabrik dengan syarat sepertiga keuntungannya untuk wakaf pendidikan. Pabrik-pabrik yang ada di Cicalengka diberikan untuk membiayai berbagai macam kebutuhan pendidikan. Namun, hibah perusahaan tersebut tidak diambil oleh Hamid, sebab ia lebih ingin fokus untuk melakukan syiar daripada untuk mengurusi pabrik.
Meskipun berada dalam keluarga pedagang yang bergelut di bidang ekonomi, kelebihan harta tidak menjadikan tujuan. Ajaran yang ditekankan dalam keluarga ini adalah ajaran keluarga untuk masa depan (akhirat) yang lebih baik. Sehingga, seperti yang disampaikan oleh Muttaqien, girah untuk beramal dan mementingkan agama menjadi prioritas daripada untuk meningkatkan dalam aspek duniawi. Tradisi wakaf untuk pendidikan masih terjaga meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Peran-peran tersebut tidak hanya dikerjakan oleh Laki-laki. Namun, kaum perempuan juga diperbolehkan untuk memiliki dedikasi tersendiri. Salah satu di antaranya adalah kebanyakan perempuan diperkenankan untuk menjadi guru.
Begitu beberapa lama perantauan, ada tradisi keilmuan yang tidak luput dilakukan yaitu perhatian terhadap pendidikan agama. Menyelenggarakan majelis informal untuk orang dewasa. Seiring dengan berkembangnya waktu, membuat keluarga Palembang merasakan adanya kebutuhan untuk pendidikan agama untuk anak-anak usia dini. Sebab, jenjang sekolah dasar dan jenjang lain sudah ada yang menyelenggarakan waktu itu. Maka dari itu, mulailah dibentuk madrasah Fathoel Khair.
Sebab kompleksitas keadaan sosial dan politik pada zamannya, menjadikan pihak dari keluarga Palembang berusaha untuk mendanai sendiri dan menolak bantuan-bantuan dana dari pemerintah. Keluarga ini bersiteguh untuk melakukan pembiayaan pendidikan secara mandiri agar bisa menjaga tujuan lembaga pendidikan dari kitahnya.
Bersama-Sama Mendirikan Lembaga- Lembaga Pendidikan
Selain mendirikan yayasan yang berbasis keluarga, keluarga dari Palembang yang juga merupakan aktivis dalam berbagai organisasi ikut andil dalam mendirikan berbagai lembaga pendidikan. Salah satunya adalah Yayasan Pendidikan Bina Muda dan juga Yayasan Ma’arif yang terletak di pusat kota Cicalengka.
Yayasan Pendidikan Bina Muda merupakan yayasan yang dibentuk bermula atas kebutuhan dakwah dari aktivis Pelajar Islam Indonesia. Salah satu di antara penggagasnya merupakan bagian dari keluarga Palembang. Secara resmi, pada tahun 1976 yayasan ini mendirikan Madrasah Diniyah Al-Kahfi dan juga sekolah menengah pertama yang mulanya bertempat di gedung Fathul Khair. Yayasan ini memiliki perkembangan yang cukup bagus hingga saat ini, sudah membuka pendidikan formal dari tingkat dasar hingga sekolah tinggi dan juga bergerak di bidang-bidang nonformal.
Meskipun yayasan ini didirikan bersama, namun girah untuk membela pendidikan masih tertanam dan juga diwariskan kepada zuriahnya. Tidak sedikit dari keluarga yang melanjutkan girah juangnya kepada anak-anaknya. Banyak di antaranya yang kemudian menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia dan mengikuti jejak orang tuanya baik dalam gerakan maupun dalam keilmuan.
Lain Bina Muda, lain Ma’arif. Yayasan Ma’arif didirikan oleh tiga orang. Thoyib Hamzah saat itu menjabat sebagai bendahara Nahdlatul Ulama (NU), Nurdin Thoyib yang menjadi ketua NU waktu itu, serta H. Wahyu. Namun, karena Nurdin berpulang dalam usia muda, pengelolaan yayasan yang baru beberapa tahun berdiri ini mengalami kevakuman. Hingga suatu saat ada beberapa orang yang bermaksud untuk meneruskan yayasan tersebut dengan nama Ma’arif.
Muttaqien mengatakan bahwa ia berterima kasih dengan penamaan Ma’arief yang dipakai kembali. Selain menghidupkan kembali tradisi pendidikan yang telah kosong dalam beberapa waktu juga mengingatkan kepada anak keturunan dari pendiri seperti Thoyib Hamzah dan Nurdin Hamzah mengenai semangat untuk aktif dalam bidang pendidikan.
Lembaga pendidikan yang didirikan di Cicalengka seperti Fathul Khair, Yayasan Pendidikan Bina Muda, dan Ma’arif merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang Palembang di Cicalengka. Pendirian lembaga pendidikan ini yang bisa dibilang cukup lama di Cicalengka telah mewarnai corak modernis dalam pendidikan agama Islam di Cicalengka.
Hingga saat ini, di dalam keluarga ini masih memiliki semangat dan perhatian kepada bidang pendidikan. Hingga zuriahnya masih terdengar kabar mendirikan beberapa sekolah dan juga melanjutkan beberapa aktivitas untuk berkontribusi di masyarakat baik dalam bidang pendidikan, pertanian, perdagangan, dan lain sebagainya.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka