• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #17: Mendidik Anak dari yang Sederhana

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #17: Mendidik Anak dari yang Sederhana

Rumah Baca Kali Atas mengadakan kelas menggambar bersama Kak Bertha, agar anak-anak tak hanya dijejali pelajaran membaca, menulis, dan menghitung (Calistung).

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Aktivitas melipat sebagai pelengkap kelas menggambar di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Foto: Noor Shalihah/Penulis)

21 Januari 2023


BandungBergerak.idCalistung masih menjadi indikator keberhasilan dalam pendidikan anak usia dini di masyarakat kita. Meskipun calistung kini mengandung konsep baru, namun tetap intinya mengenai membaca, menulis, berhitung. Begitu pula dengan perkembangan paradigma pembelajaran di taman kanak-kanak (TK) sudah berubah agar tidak menekankan aspek membaca, tetap saja masih banyak orang tua dan guru yang menjadikan indikator anaknya berhasil sekolah di TK adalah bisa membaca.

Setidaknya itu merupakan salah satu alasan Rumah Baca Kali Atas mengadakan kelas menggambar bersama Kak Bertha, agar anak tidak hanya berfokus kepada belajar membaca dan menulis saja. Perlu ada aspek seni yang dilatih dari anak untuk proses perkembangannya.

Setelah kelas menggambar selesai, setiap hari Minggu, biasanya kami berbincang ringan dengan Kak Bertha mengenai beberapa topik menggambar yang sering dilewatkan oleh pegiat pendidikan baik guru maupun orangtua. Hari Minggu itu, kami melihat gambar anak-anak yang bermacam-macam dari yang tidak selesai sampai yang penuh dengan coretan, dari yang satu warna hingga yang berwarna warni. Sorotan hari itu adalah menggambar sebagai simulasi ketahanan menyelesaikan tugas.

Adapun untuk melengkapi keterampilan menggambar yang berkaitan dengan ketahanan menulis, bisa dilakukan berbagai macam kegiatan yang membantu melatih untuk fokus. Baik itu berupa kegiatan ataupun berbentuk permainan.

Dimulai dari Pekerjaan Rumah

Selama ini, pekerjaan rumah masih mendapat label pekerjaan perempuan atau pekerjaan yang perlu dilakukan oleh seorang ibu. Tidak jarang, ada orang tua yang menganggap bahwa anak laki-laki tidak perlu belajar membersihkan rumah, beres-beres, dan sebagainya.

“Sebetulnya anak-anak bisa dilatih untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, menyetrika, melipat baju, mencuci, mencuci piring, dan mengepel,” ujar Kak Berta, setelah melakukan kelas menggambar.

Kak Bertha merujuk kepada negara sakura, tempat ia pernah tinggal. Mengapa di Jepang tidak perlu ada pembantu? Salah satunya adalah karena pembelajaran kemandirian yang dididik sejak dini.

Contohnya, ketika seorang kakak melihat adiknya menangis, maka sang kakak akan menyodorkan berbagai macam perlengkapan yang dibutuhkan ibu untuk menangani adiknya. Apakah itu susu, popok, celana, dan sebagainya. Wujud kerja sama ini yang setidaknya perlu kita tiru dari Jepang.

Begitu pula dengan pengalaman Kak Berta yang membiasakan anaknya untuk melakukan pekerjaan rumah terutama memasak. Dengan memasak, anak bisa belajar memperluas kosa kata bahan makanan, menyadari proses, membedakan bahan makanan, dan aktivitas lainnya. Sehingga menjadikan anaknya lebih fokus dalam belajar dan membuat anak lebih mudah untuk mencapai tugas-tugas perkembangan.

Pekerjaan rumah ini menjadi lebih bermanfaat di saat anak digempur dengan mainan yang berbasis digital seperti gawai. Anak-anak yang terlalu banyak bermain gawai dan tidak distimulus orang tuanya, membuat anak mengalami keterlambatan perkembangan.

Anak melakukan pekerjaan rumah sehari-hari akan membantu mengembangkan aspek motorik kasar yang akan berpengaruh kepada perkembangan motorik halus. Rata-rata, anak yang memiliki kemampuan motorik bagus, akan lebih bisa berkembang daripada yang tidak.

Namun, masih banyak orangtua hanya melihat dan menekankan aspek-aspek yang seharusnya dicapai nanti ketika tahapan perkembangannya. Ketika ditanya mengenai melibatkan anak dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang tua yang memiliki pemikiran rumah harus rapi, bekerja harus cepat. Apabila orang tua melibatkan anak-anak mereka, orang tua harus bekerja lebih lama bersama dengan anak-anak mereka.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #14: Rekonstruksi Stasiun Kereta Api Cicalengka dan Pupusnya Masa Lalu
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #15: Menyelisik Materi Muatan Lokal di Bulan Dewi Sartika
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #16: Aku Bingung, sebuah Keluhan Anak Sekolah di tengah Luapan Informasi

Beralih ke Mainan Mahal dan Artifisial

Sebagai gantinya, anak-anak lebih diberikan porsi mainan lebih banyak daripada melakukan pekerjaan rumah. Arus modernitas membuat semua aspek semakin artifisial. Permainan yang diselenggarakan untuk anak semakin mereduksi aspek kemanusiaannya. Dibelikanlah mainan-mainan yang artifisial, tidak sedikit yang kurang edukatif untuk memberikan mainan kepada anak-anak agar anak lebih diam, anteng, dan tidak mengganggu orang tuanya ketika bekerja.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, muncullah berbagai macam teori yang berhubungan dengan kinerja otak, sehingga hal ini berpengaruh kepada pendidikan. Mainan anak yang bagus adalah yang mahal. Padahal sejatinya tidak, anak bisa membantu pekerjaan orang tua dan itu lebih konkret daripada sekadar mainan yang tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Persepsi sekolah yang bagus merupakan sekolah yang mahal, padahal tidak. Sekolah bagus bisa berada di sebuah desa dengan biaya yang minimal, asal lingkungan sekitarnya mendukung. Seperti yang terdapat dalam kurikulum terdahulu, pemerintah melarang penggunaan Montessori karena diperlukan mainan-mainan yang cukup mahal harganya dan sulit didapat di lingkungan sekitar. Namun, hal ini berbeda dari praktik yang didapatkan Kak Dati di Spanyol, bahwa metode tersebut merupakan metode yang memanfaatkan barang-barang sekitar rumah. Bisa dilihat bahwa yang kita terapkan bukan mengadopsi barang, tapi mengadopsi sebuah konsep yang bisa dikontekstualisasikan dan diterapkan di mana saja.

Membongkar Sekat Dinding Sekolah

Dinding sekolah menjadi semacam penghalang bagi anak dan lingkungannya. Setidaknya itulah yang dikatakan para pemikir kritis bidang pendidikan. Bukan hanya di tingkat yang lebih tinggi, tetapi hal ini dilakukan secara sadar di jenjang yang lebih rendah yaitu PAUD/TK.

Sekolah dipersepsikan dengan menekankan hal-hal yang berada di luar dirinya. Dan fokus terhadap hal-hal yang bersifat membaca dan menulis sedangkan keterampilan lain masih belum tersentuh. Inilah yang menjadikan tembok kelas menjadi penghalang bagi dunia luar. Anak-anak tidak bisa melihat pada kenyataannya dengan apa yang terjadi di luar, bahkan di dalam dirinya. Tapi tercerabut dalam dunia yang nyata.

Jika dalam jenjang tinggi melupakan hal-hal yang abstrak dan jauh, pada jenjang yang lebih rendah menjadikan anak asing dengan dirinya sendiri, sulit mengenal dirinya sendiri, hingga tidak mengurus dirinya sendiri. Meskipun dalam kurikulum disebutkan bahwa peserta didik harus mandiri dan mengenal dirinya sendiri. 

Sekat ini semakin dipertajam dengan pembangunan pemerintah yang semakin sembrono. Sehingga sekolah maupun orang tua secara tidak langsung lebih banyak untuk menyediakan hal-hal yang dihilangkan dari aspek lingkungan seperti lingkungan yang luas, nyaman, alami, dan ideal.

Mulailah dari yang dekat, mulai dari yang sederhana. Itulah prinsip pertama dalam mengembangkan kurikulum anak usia dini. Anak di usia dini perlu diajarkan bagaimana caranya untuk hidup, belajar untuk mengenal pekerjaan sehari-hari, berlatih mandiri, mengenal dirinya, melakukan tahapan perkembangan sesuai dengan usianya dan juga mengenal lingkungannya. Lingkungan fisik yang bisa ia raba, yang bisa ia rasakan keberadaannya dan menjadi manusia seutuhnya.  

*Tulisan kolom Catatan dari Bandung Timur yang terbit setiap Sabtu, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dengan Komunitas Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//