CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #13: Gambar Gajah Bertopi di Rumah Baca Kali Atas
Sudah tiga pekan ini Rumah Baca Kali Atas Cicalengka membuka kelas menggambar bagi anak-anak tiap Minggu. Menghargai proses kreatif ketimbang menilai hasil akhir.
Noor Shalihah
Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas
30 November 2022
BandungBergerak.id - Gambar seekor gajah bertopi segitiga berjalan di atas rumput diberikan Kak Bertha kepada seorang bocah lelaki. Gambar itu masih hitam putih dengan tambahan pohon dan setangkai bunga di sudut kanan bawah.
Menerima lembar kertas untuk diwarnai itu, si bocah lelaki, salah satu peserta kelas menggambar di Rumah Baca Kali Atas Cicalengka, bertanya: “Kenapa gajahnya memakai topi?”
Bagi orang dewasa, mungkin gambar seekor gajah bertopi itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Palingan ya, itu gajah memakai topi, dan merupakan sesuatu yang lumrah terjadi dalam gambar anak-anak. Namun pertanyaan anak itu tidak terduga: mengapa gajah itu memakai topi? Apa alasan di balik gajah memakai topi?
Di dalam dunia nyata, anak-anak mungkin belum pernah menemui gajah bertopi segitiga. Apalagi gajah yang sedang merayakan ulang tahun. Pertanyaan seperti ini yang sering membuat kebanyakan orang tua kelabakan sampai akhirnya bosan untuk menjawab pertanyaan, lalu anak akan berhenti bertanya. Sayang sekali apabila potensi anak terbuang sia-sia!
Peserta yang lain memiliki pengalaman serupa. Hanya saja ia tidak mengutarakannya di dalam kelas.
“Meskipun tadi kita hanya duduk-duduk menggambar, otak kita tuh cape bekerja. Membuat konsep, warna apa yang cocok untuk gambar ini. Gitu,” kata Kyfa, diamini Yasmi.
Meskipun kelas di Rumah Baca Kali Atas terkesan penuh dengan pertanyaan, menggambar merupakan ekspresi jiwa anak-anak. Aktivitas ini penting dalam pembelajaran anak usia dini. Menggambar bukan hanya tentang membuat goresan tangan, tetapi juga tentang menciptakan makna sehingga seorang anak bisa menjelaskan apa yang hendak diceritakannya. Kegiatan semacam ini menjadi bagian penting dari proses menuju membaca.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #12: Hilangnya Tempat Bermain Anak-anak
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #11: Teten Nuroddin, Penggagas Taman Baca dan Kopi Cikahuripan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #10: Seniman itu Bernama Ade
Menghargai Proses Kreatif
Kurang lebih sudah tiga pekan, Rumah Baca Kali Atas mengadakan kelas menggambar untuk anak-anak. Kegiatan ini difasilitasi oleh Dewi Kania dan donatur. Istri almarhum Agus Sopandi, pendiri RBM Kali Atas, merasa resah menyaksikan anak-anak yang tidak memiliki kegiatan selain terpaku pada gawainya.
Gayung bersambut. Inisiatif Dewi ditanggapi oleh para orangtua di sekitaran Cicalengka Wetan. Mereka berbagi kegelisahan yang sama. Mereka ingin agar waktu dan perhatian anak-anak tidak habis tersedot gawai, tapi kebingungan merumuskan caranya.
Setiap hari Minggu, belasan orang anak usia sekolah dasar berkumpul di Rumah Baca Kali Atas untuk belajar menggambar. Kebanyakan dari mereka tinggal di sekitar RBM. Sebagian tertarik ikut kelas ketika sedang melintas di jalan. Ada juga anak yang memang berniat datang dari jauh.
Kak Bertha menyatakan kesanggupan untuk menemani anak-anak menggambar di Rumah Baca Kali Atas. Dia memiliki cara tersendiri dalam mengajarkan kreativitas secara bertahap. Mulai dari menggali imajinasi anak hingga membawa mereka menjumpai apa yang ditemui di hidup nyata.
“Untuk menggambar objek yang sebenarnya, kita perlu mengajak anak ke pasar untuk melihat warna stroberi yang asli tuh begini loh! Jika suatu saat anak ini pergi ke luar negeri, warna daun kan tidak hanya hijau, tapi bisa kuning, coklat, dan sebagainya,” ujar perempuan yang pernah tinggal di Jepang selama tujuh tahun itu.
Belajar menggambar bukan hanya urusan mewarnai dan membuat bentuk-bentuk. Acapkali kita terjebak dalam penilaian gambar anak yang begitu bagus menurut ukuran orang dewasa tanpa mengetahui maksud anak seperti apa. Belajar menggambar memiliki proses-proses kreatif. Susan Wright, dalam bukunya Understanding Creativity in Early Childhood, menyebut bahwa menggambar adalah proses menemukan masalah, lalu memecahkannya. Seperti mencampurkan warna kuning, oranye, dan coklat untuk mewarnai bulu anjing.
Masih menurut Susan, ada juga aspek fleksibilitas dalam aktivitas menggambar. Sepert keputusani mengubah siang menjadi malam. Selain itu, menggambar juga menyediakan elaborasi antaride dan proses transformasi. Contohnya, mengubah sebuah bentuk ke dalam bentuk lain dengan menambahkan, mensubsitusi, atau mentransposisi.
Susan juga menyebut, menggambar bisa memberikan anak kesempatan untuk menjadi objektif dan selektif. Dalam urusan warna, misalnya, anak ditantang untuk memilih mana yang terbaik bagi proses objek tersebut. Terakhir, masih menurut Susan, aktivitas menggambar memuat juga apresiasi seni.
Proses kreatif dalam aktivitas menggambar inilah yang jarang digali oleh orangtua dan orang dewasa. Penilaian gambar anak lalu disandarkan semata pada hasil akhirnya: jelek atau bagus. Yang paling penting, yakni proses kreatifnya, justru diabaikan.
Dari kelas menggambar Rumah Baca Kali Atas, kita bisa memahami bahwa menggambar bukan hanya sekadar meniru tetapi juga memberikan riang-ruang pemaknaan dan juga berpikir. Sekaligus kita tahu, untuk menumbuhkan dan merawat kegiatan positif seperti ini, dibutuhkan keterlibatan semua pihak. Tak hanya orangtua dan guru, tetapi juga masyarakat. Seperti ungkapan Eric Weiner, jenius itu bukan turun dari Tuhan, tetapi juga diciptakan.
*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka