• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #12: Hilangnya Tempat Bermain Anak-anak

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #12: Hilangnya Tempat Bermain Anak-anak

Anak-anak membutuhkan ruang yang sebenarnya untuk bermain. Seringnya terabaikan.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Anak-anak yang sedang bermain di lapangan. (Foto: Noor Shalihah/Penulis)

24 November 2022


BandungBegerak.id — Pemandangan bangunan yang sudah rata dengan tanah menyambut saat KRD Bandung Raya hampir tiba di stasiun Haurpugur. Tanah merah sudah melapisi bagian atasnya, sehingga kini sudah terhampar luas. Lapang, begitulah keadaan tanah-tanah di sekitar stasiun yang saat ini terlibat pembangunan.

Di hamparan tanah yang lapang itu anak-anak terlihat berlarian ke sana kemari. Dua anak berjaga dengan merentangkan tali, dua yang lain melompati tali. Wajah anak-anak itu terlihat ceria dengan senyum yang merekah. Anak-anak itu seakan sedang  mengklaim bahwa inilah ruang bermain mereka yang luas, meskipun sementara.

Entah rumahnya tergusur atau tidak, itu urusan lain. Tapi kini, mereka punya ruang bermain yang luas, setidaknya, dibandingkan sebelumnya: penuh dengan bangunan yang menghalang. Mereka hanya bermain di gang-gang yang sempit.

Tak beberapa lama kemudian, kereta kami tiba di sekitar Stasiun Kiaracondong, terlihat pemandangan serupa. Di atas tanah bangunan yang sudah rata dan menghitam, terlihat bekas puing reruntuhan bangunan, anak-anak berlarian ke sana ke mari. Ada yang bersepeda, sebagian bermain bola, sebagian lagi bermain dengan teman-temannya dengan bebas. Masih lekat dalam ingatan, mulanya daerah itu adalah pemukiman padat penduduk dan tak memiliki lahan untuk ruang bermain.

Anak-anak kami di Cicalengka, Kabupaten Bandung juga bernasib sama. Meskipun lokasi kami terletak di pinggiran kota, kami masih kekurangan lahan bermain bahkan berkurang.

Jika dahulu masih memiliki banyak lahan kosong untuk bermain, maka sekarang lahan kosong itu sudah mulai dibangun berbagai macam bangunan di atasnya. Adapun yang dijadikan kebun, tidak diperkenankan pemiliknya untuk dijamahi. Tentu saja, karena jika dipakai bermain anak-anak, tanaman mereka akan rusak. Tak jarang anak-anak ini menjadi bahan bulan-bulanan warga yang tak suka dengan anak-anak apalagi jika sampai merusak barang-barangnya.

Untungnya kami masih memiliki tetangga untuk menampung mereka. Pak Ayo, seorang pemilik warung yang bersedia halaman dan rumahnya dijamahi anak-anak bermain.

Beberapa tahun terakhir ini, anak-anak sering bermarkas di sana. Terkadang mereka membawa peralatan seadanya sekedar bermain ucing-ucingan. Di lain hari mereka membawa raket untuk bermain bulu tangkis. dimana batasnya adalah pagar rumah Pak Ayo. Terkadang meminjam bola voli kemudian pagar Pak Ayo dijadikan jaring pembatasnya. Atau mungkin hanya sekedar bersenda-gurau.

Sebagai tetangga yang sering lewat, tentu kadang saya merasa takjub ketika anak-anak secara “kreatif” memanfaatkan lahan yang sempit. Tapi kadang saya juga berpikir memang tidak ada lagi ruang yang lapang untuk sekedar mereka bermain? Setelah diingat-ingat ternyata tidak. Lapang voli yang biasa kami pakai, sekarang sudah dijadikan garasi. Lapang voli yang biasa kami pakai untuk pertunjukkan sudah lama menjadi rumah. Bahkan tidak hanya di desa saya, di beberapa wilayah pun sama, lahan-lahan yang dahulu sering digunakan untuk mengadakan temu masyarakat sekarang sudah berdiri sebuah bangunan di atasnya.

Masyarakat di sekitar kami ini, banyak yang berpikir bahwa lahan produktif adalah lahan yang menghasilkan uang. Di mana cara menghasilkan uang adalah dengan membangun sesuatu di atasnya. Bukan lagi berkebun, karena berkebun memikirkan hasil panen di tengah cuaca tak menentu. Kurang seksi dan kurang menghasilkan profit, katanya. 

Asria dan teman-temannya, anak TK kelas B, bercerita jika dirinya lebih suka bermain di sekolah, tapi sekolahnya juga masih kurang luas untuk dirinya. Sekolah berukuran 125 m2 dengan sekat-sekat, tentu saja menjadikan mereka tidak bebas. Akhirnya mereka tidak memiliki pilihan tempat bermain, antara rumahnya yang sempit atau sekolahnya yang lebih luas dari rumah mereka, sama-sama tidak memiliki pilihan ruang.

Di daerah Rumah Baca Masyarakat, di Cicalengka Wetan, jarang adanya ruang terbuka hijau, bahkan tidak ada. Anak-anak terpaksa bermain di gang dengan seadanya. Atau tanah-tanah tersisa milik warga. Gang sempit berukuran satu meter harus bersedia mereka pakai untuk bermain bersama temannya. Dari mulai bermain bola hingga bermain layang-layang. Tak jarang terjadi sebuah kecelakaan karena lingkungan yang tidak aman.

Anak-anak selalu punya cara yang kreatif untuk bermain. (Foto: Noor Shalihah/Penulis)
Anak-anak selalu punya cara yang kreatif untuk bermain. (Foto: Noor Shalihah/Penulis)

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #11: Teten Nuroddin, Penggagas Taman Baca dan Kopi Cikahuripan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #10: Seniman itu Bernama Ade
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #9: Kerja Lingkar Kopi Cicalengka Menciptakan Ekosistem Kopi Lokal

Jangan Abaikan Tempat Bermain Anak

Jika orang dewasa mengikuti naluri alamiah anak, seperti apa yang dikatakan oleh Froebel, anak membutuhkan pengalaman yang nyata dan aktif secara fisik. Artinya anak selalu membutuhkan ruang untuk bermain. Jika mereka tidak menemukan ruang untuk bermain, mereka akan menyulap lingkungan sekitar untuk bermain. Bukan karena mereka nakal, tapi mereka butuh ruang bermain. Meskipun di kecamatan kami masih tersisa beberapa ruang terbuka, namun lokasinya cukup jauh dari jangkauan anak-anak. Seperti ruang terbuka yang terletak diantara dua jalan raya Nasional, sehingga anak-anak kurang leluasa mengakses lapangan ini.

Jika kondisi ini terus menerus berlanjut, anak-anak yang kekurangan lahan bermain, menjadikan mereka kurang belajar dan kurang mengeksplorasi. Diantara akibat dari anak kurang lahan bermain adalah kurangnya daya eksplorasi, sulit mengadakan keputusan, anak kurang bisa mengontrol emosi, dan anak mudah dipengaruhi oleh orang lain.

Adapun ruang terbuka hijau yang minimal ditetapkan 30% dari suatu wilayah, untuk kabupaten Bandung belum mencukupi, bahkan semakin berkurang karena adanya berbagai pembangunan. Pemerintah yang menginisiasi dengan wilayah ramah anak, perlu ditinjau dan dievaluasi sehingga wilayah ini benar-benar ditinjau sebagai ramah anak. Baik dari tata ruang, infrastruktur, dan juga keamanan lainnya. Seperti yang tertuang dalam RPJMD kabupaten Bandung tahun 2021-2026. Tentu, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja lebih keras untuk mengatasi hal ini. Meskipun sekarang sudah ada ruang bermain, namun belum sesuai dengan yang diharapkan.

Menjadi anak di jaman sekarang memang memiliki beban berat. Pemandangan alamnya sedang beralih menjadi beton. Alam yang dulu menjadi tempat bermain sehari-hari, sekarang harus disewa dan dicari. Hanya saja, orang dewasa kadang tidak mengerti, sebagian perilaku anak yang terlabel nakal, bandel, dan liar merupakan salah satu wujud protes mereka karena tidak memiliki ruang bermain. 

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Redaksi

COMMENTS

//