• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #15: Menyelisik Materi Muatan Lokal di Bulan Dewi Sartika

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #15: Menyelisik Materi Muatan Lokal di Bulan Dewi Sartika

Sudah saatnya memasukkan sejarah lokal dalam materi ajar muatan lokal dalam kurikulum sekolah. Di Cicalengka, ada kisah tentang Dewi Sartika.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Patung Dewi Sartika di Jalan Dewi Sartika di Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Foto: Noor-Shalihah)

14 Desember 2022


BandungBergerak.id—Ada sebuah jalan di wilayah kami yang bernama Jalan Dewi Sartika, biasa disebut Jalan Destik. Tidak begitu panjang, mungkin kurang lebih satu kilometer. Baru beberapa tahun ini dipasang monumen Dewi Sartika.

Jika ada yang bertanya mengapa jalan itu dinamakan Jalan Dewi Sartika, jawabnya adalah karena dulu Dewi Sartika pernah tinggal di sana. Lebih tepatnya ada sebuah bangunan bermodel Belanda yang konon katanya pernah menjadi kediaman Dewi Sartika.

Tulisan ini bukan ingin membahas mengenai Dewi Sartika. Hanya sedang melakukan refleksi ulang mengenai keberadaan sejarah lokal di tempat kami. Seperti biasa, cagar-cagar budaya di tempat kami dibiarkan ditumbuhi rerumputan dan ilalang tinggi. Sebagian katanya perlu diubah karena sudah tidak sesuai dengan tren perkembangan zaman.

Sayangnya hal seperti ini belum bisa memasuki ruang-ruang paling strategis yaitu ruang kelas. Padahal, seperti apa yang dikatakan oleh Herbert Nichols: All history is local history because everything has to happen somewhere and that somewhere is a town, village, or city.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #14: Rekonstruksi Stasiun Kereta Api Cicalengka dan Pupusnya Masa Lalu
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #13: Gambar Gajah Bertopi di Rumah Baca Kali Atas
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #12: Agus Sopandi Sang Pelopor Literasi Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #11: Teten Nuroddin, Penggagas Taman Baca dan Kopi Cikahuripan

Yang Luput pada Materi Lokal

Keberadaan nama Dewi Sartika, kemudian nama lain seperti Dipati Ukur, Kapten Sangun, Ir. Juanda yang merupakan nama-nama jalan di Cicalengka sepertinya hanya terkenal dalam nama-nama saja. Peristiwanya kurang lebih seperti pengalaman Prof. Hamid Hasan ketika bertanya kepada kami, “Siapakah dr. Setiabudhi ?” Suasana kelas pun akan berubah menjadi hening, karena ketidaktahuan kami. Begitu pun kami ketika bertanya kepada siswa sekolah, mereka tidak tahu apa pun tentang tokoh yang menjadi nama jalan tersebut kecuali namanya saja. 

Memang, untuk menyisipkan materi-materi sejarah lokal ini bukan sesuatu yang mudah. Tidak banyak yang menaruh perhatian dan minat kepada sejarah lokal karena kurangnya informasi yang memadai terhadap sejarah tersebut. Sejarah lokal dibutuhkan untuk pembentukan dan informasi mengenai identitas kelokalan, dan juga karakter manusia yang digunakan.

Menurut Prof. Hamid Hasan, sejarah tidak akan kekurangan materi cerita mengenai bagaimana karakter pahlawan, kisah-kisah para pendahulu melawan penjajah. Darinya kita bisa mengenal karakter dan semangat yang hendak dibangun untuk anak-anak.

Masih menurut Guru Besar Emeritus di bidang pendidikan sejarah tersebut, melanjutkan, pertanyaan yang sering luput dari ruang kelas kita adalah materi terkait apa yang terjadi di tempat kita pada waktu itu, dengan bertanya: “Jika di Jakarta sedang membacakan teks proklamasi, di daerah kita sedang apa?”

Suasana ruang kelas kita seperti menjadikan sejarah hanya cerita tentang mereka yang terdapat di buku teks, di ibukota. Padahal, di waktu yang bersamaan, di tempat yang berbeda, terjadi peristiwa yang berbeda pula. Sehingga setiap tempat memiliki cerita, memiliki sejarah.

Di dunia pendidikan kita, ketika menyebut kata muatan lokal, maka yang terbersit di dalam pikiran adalah pelajaran seperti seni budaya dan bahasa daerah, bukan materi sejarah setempat. Entah asal usulnya dari mana, namun kejadiannya selalu begitu. Muatan lokal dipandang sebagai satu pelajaran, satu hal yang perlu disimbolkan dengan kesenian, keterampilan atau kerajinan tangan yang bisa dinikmati oleh panca indera. Namun tidak pernah dipandang sebagai jiwa, semangat zaman yang terdapat dari wilayah itu yang bisa digali dari materi sejarah lokal.

Saatnya Mengenalkan yang Dekat

Sejak berlakunya UU No. 32 tahun 2004, pendidikan mengalami desentralisasi. Maka daerah sebetulnya memiliki otonomi di bidang pendidikan. Salah satunya ada pada kurikulum yang bisa memasukkan unsur muatan lokal. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing daerah memiliki konteks lokal yang bisa dikembangkan mengingat Indonesia kaya dengan keragaman.

Ada sebuah prinsip dalam penyusunan materi bahan ajar, yaitu bermula dari yang dekat. Maka yang dekat ini bermula dari dirinya sendiri, keluarganya, kemudian masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Setidaknya, peserta didik perlu mengenal dan belajar mengenai lingkungan sekitarnya. Mengenal dalam arti yang mendalam, bukan sekadar dengan menghafal nama, tahun, dan lokasi.

Sejak tahun 1930an, Herbert B. Nichols sudah menuliskan bagaimana sejarah lokal sudah saatnya berperan dalam pembelajaran di kelas. Sejarah lokal bisa menginspirasi, sekaligus memberikan pendidikan karakter pada peserta didik.

Dalam sebuah kuliahnya, Prof. Hamid Hasan menceritakan bahwa anak-anak di luar negeri didorong untuk mengkonstruksi sejarah dirinya sendiri. Barangkali anak ini masih memiliki keluarga, tetangga, kerabat yang menjadi saksi hidup di atas peristiwa masa lampau, maka anak tersebut mengkonstruksi sejarah dirinya sendiri langsung dari sumber primernya.  

Terkadang, ruang kelas kita belum mampu menerima cerita sejarah yang berbeda dengan sejarah mainstream. Perspektif sejarah yang begitu luas, kemudian disempitkan dalam satu konstruksi saja. Masih sedikit pendidik yang mau memfasilitasi peserta didik “membuat” sejarahnya sendiri. Jika peserta didik bisa difasilitasi dengan cara yang demikian, diharapkan bisa bertumbuh rasa kecintaan mereka, karena mereka yang membuat sejarahnya sendiri.

Membangun Akar Identitas 

Identitas berakar dari konsep modern dan juga berakar dari sejarah. Karena sejarah sendiri merupakan proses belajar mengenai identitas diri dan juga rasa memiliki. Apabila masyarakat tersebut tidak mengenal sejarah tempatnya, bagaimana ia bisa merasa memiliki identitas dan karakter yang khas sesuai?

Usaha mengenalkan materi lokal di ruang kelas bukan hanya soalan dari pendidik saja. Namun, perlu adanya usaha yang serius dan tersistematis dari pemerintah dan masyarakat. Hanya saja, selama ini usaha pemerintah hanya sebatas mengangkat hal-hal yang superfisial dan bersifat simbolik seperti kesenian dan tari, namun belum bisa mengintegrasikannya dalam bentuk-bentuk mata pelajaran yang diajarkan di ruang kelas. Idealnya, setiap wilayah memiliki museum-museum dan arsip mengenai wilayahnya sendiri. Sebagai sumber belajar apabila anak-anak dan masyarakat hendak belajar mengenai dirinya sendiri.

Setelah usaha menghidupkan lagi semangat lokal, maka sudah saatnya pendidik juga mulai berkolaborasi untuk menyisipkan materi-materi kelokalan agar tidak menjadikan peserta didik tercerabut dari akar budayanya.

*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi Bandungbergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//