• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #16: Aku Bingung, sebuah Keluhan Anak Sekolah di tengah Luapan Informasi

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #16: Aku Bingung, sebuah Keluhan Anak Sekolah di tengah Luapan Informasi

Guru dan murid kini tergantung pada teknologi mesin pencarian untuk merujuk jawaban. Anak-anak mengalami melimpahnya informasi.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Anak-anak yang lahir di masa teknologi digital (digital native) berpotensi besar mengalami keberlimpahan informasi. Mereka memerlukan bimbingan dari guru dan orang tua dalam memaknai informasi. (Foto: Noor Shalihah/Penulis)

14 Januari 2023


BandungBergerak.id - “Dinosaurus dulu atau Nabi Adam dulu?” Sebuah pertanyaan diajukan oleh anak kelas lima tentang asal-usul kehidupan. Saat itu adalah sesi pertanyaan bebas. Tentang apa yang mereka pikirkan dan apa yang ingin mereka tanyakan. 

Enam hari setelah mengumpulkan jawaban melalui berbagai sumber seperti mesin pencari, orang tua, ataupun guru, anak-anak kelas lima itu membuat kemungkinan-kemungkinan menurut urutan sejarah. Sebagian anak berspekulasi bahwa yang pertama kali diciptakan adalah Dinosaurus dulu, karena Nabi Adam diturunkan ke bumi yang sudah ada kehidupannya. Tentu saja, dinosaurus adalah bagian dari kehidupan di bumi.

Sebagian anak yang lain tetap keukeuh dengan jawaban bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama di bumi. Sehingga tetap yang diciptakan adalah Nabi Adam terlebih dahulu. Sebagian lagi memilih tidak menjawab, karena bagi mereka cukup sulit dan mungkin tidak memiliki kepentingan untuk menjawab pertanyaan itu.

Gurunya mulai memberikan pertanyaan sekaligus mengkonfirmasi apa yang ada di dalam “mesin pencari memudahkan kalian menemukan jawaban kan?"

“Iya, tapi aku bingung, yang benar itu yang mana?”

Alih-alih mendapatkan jawaban yang menyenangkan, mereka menyampaikan keluhan bahwa informasi yang beredar di internet membuat mereka menyeret ke dalam pusaran informasi yang membingungkan. 

Barangkali, sebagian dari kita menganggap keberadaan mesin pencari adalah sebuah kemudahan. Bagi anak sekolah, mesin pencarian banyak menyediakan jawaban instan bahkan dari soal-soal yang mereka kerjakan di sekolah. Tapi, ada yang tidak disadari sebagian guru dan orang tua adalah mesin pencari menyebabkan berlimpahnya informasi, tak jarang menyediakan informasi yang berbeda-beda bahkan bertentangan satu dengan lainnya.

Sayang kita jarang menyadari kebingungan-kebingungan yang menimpa anak-anak itu, bagaimana menilai dan mengevaluasi informasi untuk dijadikan sebuah data. Mungkin, anak-anak banyak yang langsung menelan informasi mentah-mentah, tanpa repot-repot memikirkannya. Baginya, apa yang ada di dalam situs internet adalah sebuah kebenaran.

Hal ini juga didukung dengan pembelajaran dari sebagian guru yang juga mengandalkan mesin pencari. Respons seperti “cari jawabannya di google ya!” tapi tidak mengevaluasi apa yang mereka dapatkan dari internet menjadikannya semakin parah.

Meskipun anak-anak yang lahir di dalam perkembangan teknologi yang pesat (atau yang sering disebut dengan digital native) tidak serta merta membuat mereka menjadi lihai dan mudah beradaptasi dengan teknologi. Contohnya di daerah yang bukan kota bukan pula desa, di mana tidak semua orang memiliki fasilitas yang cukup untuk mengakses teknologi dan internet. Kondisi ini membuat masyarakat yang tidak begitu akrab dan kurang mengeksplorasi teknologi digital. Bahkan tidak diuntungkan dengan sistem filter menurut teknologi yang diperbarui sekarang.

Ada hal yang sering luput dari pengejaran teknologi, yaitu aksesibilitas. Tidak semua akses teknologi dimiliki oleh semua orang. Bahkan bagi orang yang domisilinya di sekitaran kota Bandung sekalipun. Penggunaan perangkat teknologi secara maksimal hanya bisa digunakan apabila ia telah menjadi sebuah perangkat yang melesap ke dalam kehidupannya. Persinggungan yang akrab menjadikan pengguna lebih menguasai medan yang ia ketahui daripada yang melakukan hanya sesekali.

Kondisi masyarakat ini cukup berpengaruh, karena menurut Kirschner dan Bruyckere, perkembangan istilah digital native menunjukkan ke arah yang lebih konkret yaitu status ekonomi. Orang-orang yang mengakses teknologi secara lebih baik, barangkali bisa memanfaatkan teknologi dengan lebih baik karena lebih terbiasa. Hanya saja, pengelompokkan ini sengaja dibuat untuk memudahkan mengidentifikasi karakteristik manusia yang lahir pada zamannya. Dan dalam keadaan ekonomi, sosial, dan budaya yang sesuai.

Hanya saja, ada sebuah anggapan yang keliru mengenai cara memperlakukan informasi. Dengan terbukanya saluran informasi, anak-anak dibiarkan membaca sebebas-bebasnya. Seolah-olah membaca merupakan satu-satunya jalan berliterasi. Atas dasar anggapan yang keliru, maka anak-anak akan dibiarkan untuk membaca, namun tidak diajarkan bagaimana caranya proses mengelola bacaan yang baik dan benar.

Seperti yang dikutip dalam Psychology today, ada masalah yang dihadapi oleh anak-anak di era digital native. Di antaranya adalah tidak bisa berpikir jernih. Dalam paparan informasi yang begitu cepat, pikiran hanya segera bergegas dari informasi satu ke informasi lainnya. Maka sudah seharusnya orang dewasa memberikan berbagai macam arahan dan dampingan dalam berliterasi. Baik dalam soal membaca, memahami, berpikir, maupun dalam melaksanakannya.

Urusan luapan informasi pada anak-anak jarang terperhatikan. Padahal luapan informasi merupakan isu lama yang telah muncul sejak tahun 1990an. Penelitian terhadap anak yang mengalami luapan informasi merupakan isu yang dihadapi oleh anak-anak SD di Amerika. Sayangnya di Indonesia, informasi berupa iklan, pop up, gambar berjalan yang beredar di internet yang tidak sengaja mereka lihat bisa menjadi jalan masuknya informasi yang bisa saja sewaktu-waktu meluap. 

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #13: Gambar Gajah Bertopi di Rumah Baca Kali Atas
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #14: Rekonstruksi Stasiun Kereta Api Cicalengka dan Pupusnya Masa Lalu
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #15: Menyelisik Materi Muatan Lokal di Bulan Dewi Sartika

Mengurangi Kelebihan Informasi

Anak-anak akan tumbuh dalam lingkungannya. Setidaknya, sebagai orang dewasa yang ada di sekitar mereka, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mendampinginya. Setidaknya ada tiga cara untuk mendampingi berliterasi untuk lingkungan terdekat:

Pertama, jadilah teman yang menyenangkan untuk anak-anak agar mereka bisa secara terbuka dan tidak takut untuk mengungkapkan apa yang ada dalam dirinya.

Kedua, mengevaluasi apa yang telah dilakukan, didapatkan, dan menggali informasi apa yang mereka pikirkan. Terkadang, orang dewasa tidak tahu apa yang dilakukan oleh anak. Maka, pilihan untuk memasang aplikasi khusus anak-anak, atau aplikasi pemantau khusus pada perangkat anak-anak.

Ketiga, mengajarkan dan melatih keterampilan berpikir kepada anak baik dalam memahami, memilah informasi, hingga mengevaluasi informasi yang didapatnya. Dengan membicarakan tujuan apa yang ingin ketika memperoleh informasi.

Semakin hari, kebingungan-kebingungan akan selalu terjadi apabila tidak segera dituntaskan. Seharusnya anak-anak sudah dibekali keterampilan hidup untuk berpikir lebih baik. Ada baiknya program-program literasi yang selama ini sudah tersedia di berbagai tempat lebih dimaksimalkan kembali fungsinya. Anak-anak perlu dibiasakan membaca dengan bimbingan yang tujuannya memahami bacaan sampai mengkreasikan kembali. Perlu upaya memasukkan selot-selot pengetahuan ke dalam pemikiran anak agar mereka mendapat makna.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//