• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #19: Yang Belum Usai dari Program Pengelolaan Sampah

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #19: Yang Belum Usai dari Program Pengelolaan Sampah

Pemikiran bahwa sampah adalah berkah sejatinya mencemaskan. Sampah akan dimaknai sebagai profit dan pada akhirnya wajar jika terus diproduksi.

Nurul Maria Sisilia

pegiat literasi di Rumah Baca Kali Atas yang tergabung dalam komunitas Lingkar Literasi Cicalengka, bisa dihubungi di [email protected]

Pot tanaman yang tebuat dari limbah popok bayi di Cicalengka digunakan untuk menanam buah dan sayur segar. (Sumber Foto: Nurul Maria Sisilia/Penulis)

6 Februari 2023


BandungBergerak.idTumpukan pot tanaman berwarna-warni berjajar di halaman rumah bernuansa hiijau itu. Di sudut lain, terdapat pot-pot serupa yang telah ditumbuhi ragam tanaman segar. Pot-pot tersebut ternyata terbuat dari limbah rumah tangga yaitu popok bayi sekali pakai. Seorang ibu paruh baya di RW 6, Desa Margaasih, Kecamatan Cicalengka, bernama Pipih (43) dengan giat mengolahnya sejak setahun yang lalu.

Seperti kala itu, pagi betul Bu Pipih telah menerima kiriman popok bekas yang telah dibersihkan dari sejumlah tetangga. Ia akan lekas menyiapkan beberapa alat dan bahan yang diperlukan untuk membuat pot tanaman yakni ember, air, semen, dan cetakan pot.

Dibantu oleh sang suami, Pipih mulai mencampur semen dengan air secukupnya di dalam ember sampai tercampur rata. Hati-hati ia memasukkan dua buah popok bekas tadi ke dalam adonan semen. Setelah popok terlapisi sempurna dengan semen, ia mengambil cetakan pot yang terbuat dari pot tanaman yang telah dilapisi plastik. Ke dalam cetakan itu ia memasangkan popok-popok yang telah terlapisi semen hinga membentuk pot baru. Setelah itu ia menempatkan pot tersebut di area terbuka hingga mengering.

Proses membuat pot dari popok bekas it uterus dilakukan Pipih sampai popok yang tersedia habis. Dalam praktiknya, Pipih mengerahkan anak-anak RW 6 untuk membantu pengecatan pot yang telah kering. Pengecatan ini membuat pot dari popok bekas ini menjadi penuh warna dan gambar.

Pipih biasa menggunakan pot tersebut untuk menanam buah dan sayur di halaman rumahnya. Tak jarang, ia memberikan kembali produk olahannya itu kepada warga yang telah memberikan limbah popok. Selain dari bantuan Pemerintah Desa, Pipih juga tulus merogoh kocek sendiri untuk membeli bahan baku berupa semen dan cetakan. Pipih melakukan semua itu dengan senang hati. Ia merasa ha-hal tersebut dapat membantu mengatasi masalah sampah di kampungnya terutama permasalah sampah popok bayi sekali pakai.

Pipih adalah satu dari beberapa representasi pengolah sampah di masyarakat Cicalengka yang bergerak dengan kesadaran tentang bahaya sampah. Selain Pipih dan gerakan pengolahan popok sekali pakainya, terdapat pula beberapa gerakan lain yang tampak di Cicalengka yakni bank sampah, pilah sampah, dan pemanfaatan sampah organik. Tak hanya digagas pribadi, gerakan-gerakan tersebut juga biasa diinisiasi oleh pemerintahan setempat.

Pipih (43), warga Cicalengka, berfoto dengan pot tanaman yang terbuat dari limbah popok bayi. (Sumber Foto: Laelatul Azizah)
Pipih (43), warga Cicalengka, berfoto dengan pot tanaman yang terbuat dari limbah popok bayi. (Sumber Foto: Laelatul Azizah)

Bank Sampah dan Pilah Sampah

Dua kegiatan ini menjadi primadona di Kecamatan Cicalengka. Dari laporan kegiatan pendampingan desa yang dilakukan Patriot Desa Kabupaten Bandung tahun 2022, setidaknya tercatat tiga kegiatan bank sampah dilaksanakan di Cicalengka, meliputi daerah Desa Margaasih, Desa Cicalengka Wetan, dan Desa Cicalengka Kulon. Sementara itu, kegiatan pilah sampah dilakukan di Desa Babakan Peuteuy dan Desa Cikuya.

Bank sampah dan pilah sampah biasanya menjadi program yang diinisiasi Pemerintah Desa di bawah binaan Karang Taruna atau PKK Desa. Kegiatan bank sampah dimulai dengan terlebih dahulu menyosialisasikan bahaya sampah dan pentingnya mengelola sampah. Setelah itu, tim dibentuk untuk melaksanakan program bank sampah. Di hari yang ditentukan, masyarakat diminta hadir sambil membawa sampah yang terlebih dahulu dipilah dari rumah masing-masing. Sampah yang sudah dipilah tersebut diserahkan kepada petugas untuk ditimbang dan diganti dengan sejumlah uang.

Program pilah sampah bekerja jauh sebelum bank sampah. Program ini mendorong masyarakat agar mampu memilih dan memilah sampah skala rumah tangga secara mandiri. Di beberapa desa, hasil pemilahan sampah mandiri berupa sampah organik kemudian diolah kembali menjadi pupuk kompos atau bahan baku budidaya maggot (black soldier fly). 

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #16: Aku Bingung, sebuah Keluhan Anak Sekolah di tengah Luapan Informasi
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #15: Menyelisik Materi Muatan Lokal di Bulan Dewi Sartika
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #18: Pertanyaan di Balik Cicalengka sebagai Wilayah Kebangkitan Industri

Hal-hal yang Belum Usai

Keberadaan program pengolahan sampah di Kecamatan Cicalengka tadi barangkali hanya sebagian gambaran tentang gencarnya upaya mengolah sampah di daerah. Artinya, masalah sampah masih menjadi sorotan yang belum juga usai di berbagai level. Selain sampah itu sendiri yang menjadi masalah panjang, rupanya terdapat hal lain yang juga belum tuntas, yakni pengelolaannya.

Hasil akhir pengolahan sampah yang belum tentu arah kemudian menjadi persoalan lain. Setelah sampah dipilah dan ditimbang di bank sampah, sampah tersebut pada akhirnya akan dikirim ke pengepul sampah. Begitu pula dengan program pilah sampah. Tak jarang, sampah-sampah tersebut kemudian berujung kembali di tempat pembuangan akhir (TPA). Budidaya maggot yang dijalankan kemudian harus terhenti. Pengolahan sampah popok bayi menjadi pot tanaman pun tak luput dari berbagai kendala. Laelatul Azizah, pendamping program ini menuturkan kendala yang dihadapi yakni terkait kualitas sampah yang disetorkan warga dan pemasaran produk.

Pengelolaan sampah yang telah dijalankan pemerintah desa sejauh ini menitikberatkan pada hasil akhir bernilai ekonomi. Artinya, sampah yang diolah ditujukan untuk menjadi produk bernilai jual. Hal ini tidak sepenuhnya salah sebab memiliki tujuan baik yakni turut membantu kualitas perekonomian masyarakat.

Namun demikian, masalah timbul saat orientasi uang menjadi satu-satunya hasil akhir. Keberhasilan pengelolaan sampah di mana pun, saya kira, tercapai justru saat tidak ada lagi sampah di tempat itu. Atau, setidaknya, volumenya berkurang dari waktu ke waktu.

Muncul kekhawatiran akan adanya pembenaran terkait sampah. Pemikiran bahwa sampah adalah berkah menjadi hal yang sejatinya mencemaskan sebab sampah akan dimaknai sebagai sesuatu yang akan menghasilkan profit dan pada akhirnya wajar jika terus diproduksi. Agaknya, penanaman kesadaran yang paling penting dilakukan adalah tentang penanaman rasa malu jika menghasilkan sampah.

Sumber Daya Kritis

Hal-hal yang diuraikan di atas tentu bukan hal mudah dilakukan dalam waktu singkat. Selain perlu waktu yang panjang, diperlukan pula tenaga, materi, dan gagasan. Sumber daya manusia menjadi simpul dari hal-hal tersebut. Bukan sekadar sumber daya manusia yang berkualitas melainkan juga yang kritis. Artinya, sumber daya manusia yang mampu mendampingi warga secara konsisten dan berkesinambungan serta tak lupa memiliki komitmen kuat terhadap penanggulangan sampah, bukan sekadar pengalihan sampah.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//