• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #23: Menjejaki Curug Cowang sambil Memahami Literasi Lingkungan

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #23: Menjejaki Curug Cowang sambil Memahami Literasi Lingkungan

Area perbukitan di Cicalengka sangat memprihatinkan. Literasi alam diperlukan untuk mengasah kepekaan terhadap kondisi lingkungan yang semakin terkikis.

Muhammad Luffy

Pegiat di Lingkar Literasi Cicalengka

Mendaki ke Curug Cowang, Cicalengka, yang digagas Rumah Baca (RBM) Kali Atas, Minggu (26/2/2023). (Foto: Muhammad Luffy/Penulis)

4 Maret 2023


BandungBergerak.idCurug Cowang (juga ditulis Curug Coang) terletak di sekitar Gunung Serewen. Lokasinya berada antara Cicalengka, Nagreg, Sumedang. Hari Minggu, 26 Februari 2023, kami mengadakan hiking ke Curug Cowang. Acara ini digagas oleh pengurus Rumah Baca (RBM) Kali Atas. Selain bertujuan untuk menikmati alam dan bersilaturahmi antarpegiat literasi, kegiatan itu juga mengasah kepekaan terhadap kondisi alam yang semakin terkikis.

Sebelum memulai perjalanan yang terjal, tidak jauh dari basecamp kami dibekali tiga benih pohon untuk ditanam di area yang sudah gundul. Sebetulnya, ada banyak benih pohon untuk ditanam di atas, tetapi tiga pohon yang kami bawa hanya sebagai simbol penanaman dalam rangkaian kegiatan hiking tersebut.

Literasi Lingkungan

Kegiatan hiking yang diadakan oleh RBM Kali Atas, bagi saya sendiri, memang cukup menantang. Tanpa persiapan serius, saya terpaksa harus melewati jalanan lumpur dan curam dengan bekal satu botol minuman berukuran kecil. Awalnya, saya sangat menikmati perjalanan di bawah bebukitan itu. Namun setelah berada di dekat tempat tujuan, saya harus melalui dua tebing ekstrem agar bisa sampai di lokasi akhir kami berkumpul. Luar biasa memang. Saya kira, tujuan terakhir kami, tepat di sekitar pusaran air Curug Cowang, tetapi Pak Teten selaku tour guide membawa kami mendaki ke jalur yang lebih tinggi.

Seraya berjalan menapaki tanah berlumpur, saya menengok ke sebelah kanan dan kiri berupa jurang dan pohon-pohon aren berduri menjalar yang sesekali menghalangi pandangan. Hal itu saya lakukan untuk melihat sejauh mana kondisi alam di area itu. Sesampainya di curug saya disajikan semacam batu yang membentuk kolam berukuran sedang. Tentu saja kolam tersebut tidak terlalu dangkal. Cukuplah untuk berendam dengan ukuran orang dewasa.

Sejenak kami beristirahat. Di sela-sela itu saya gunakan untuk berbincang-bincang tentang pentingnya menerapkan literasi lingkungan. Waktu itu saya berbincang dengan Nurul. Obrolan tersebut mengarah pada upaya mewujudkan konsep dalam literasi lingkungan terhadap kondisi alam di Cicalengka.

Soal lingkungan di Cicalengka, saya menemukan beberapa kasus yang perlu dibenahi dan direnungkan bersama. Jika kita lihat sebagian area perbukitan di Cicalengka, tampak kondisi alam yang sangat memprihatinkan. Di desa Dampit, misalnya, di ruas jalan yang sejurus dengan Candi, disuguhi tebing-tebing tanah yang sudah diuruk. Konon, urukan tanah itu rencananya akan dijadikan pemukiman untuk kalangan elite. Bahkan sekitar setengah kilo meter menuju urukan itu terdapat satu perumahan dengan berada di kemiringan hampir 180 derajat. Bagi saya, hal ini sungguh mengkhawatirkan. Kalau tidak beruntung, salah-salah, longsor akan menerjang semua orang yang tinggal di dalam rumah-rumah itu. Mungkin juga, banjir bandang akan seketika menyapu, melihat kondisi permukaan yang curam dan juga tidak adanya pepohonan yang mampu menahan arus gelombang air. Di sinilah perlunya memahami literasi lingkungan, agar tidak ceroboh dalam membangun atau mendiami rumah yang tidak aman untuk dihuni.

Di sela-sela obrolan itu Nurul bercerita tentang peristiwa alam yang dialaminya. Waktu itu selepas mengajar, hujan deras bersamaan dengan angin kencang, memaksa Nurul berteduh di sebuah masjid sekitar Candi. Beberapa saat setelah menginjakkan kakinya di masjid itu, kilatan dari atas langit tiba-tiba terlihat, dilanjutkan oleh suara petir menggelegar yang tak bisa terelakkan. Perempuan yang mengajar di SMP Juantika itu seketika panik. Apalagi genangan air mengalir sangat deras, dengan melaju ke sepanjang jalan dari dataran tinggi Dampit menuju permukiman warga yang berada di bawahnya. Puing-puing kayu yang terbawa oleh air juga membuat keadaan itu kian mengkhawatirkan, bahkan bisa disebut pula sebagai banjir bandang berskala kecil. Dengan suasana hati yang cemas, Nurul berpikir bahwa kejadian itu tidak terlepas dari kawasan hijau yang semakin gundul, karena banyak urukan-urukan tanah yang akan didirikan kawasan perumahan elite.

Apa yang akan kita lakukan dengan kondisi alam seperti itu? Tentu saja peran literasi sangat penting dalam merespons gejala kerusakan alam. Yang kita bisa lakukakan, di antaranya, dengan usaha membangun kesadaran masyarakat melalui nilai-nilai kritis yang dicerna dalam berbagai bacaan. Memang, hal ini tampak sulit. Karena, selain mayoritas penduduk di Cicalengka tidak sepenuhnya melek literasi, kita juga harus memberikan pemahaman secara berkala agar kerja literasi yang dilakukan tidak dianggap sebagai upaya yang sia-sia. Bahkan jika dicermati, kerja literasi yang sesungguhnya adalah mampu menerapkan hasil pengetahuan di dalam buku lewat kehidupan sosial, sebagaimana kita mengimplementasikan nilai-nilai kritis dari buku terhadap persoalan ekologis yang terjadi di Cicalengka.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #20: Yang Belum Usai dari Program Pengelolaan Sampah (2)
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #21: Orang Palembang di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #22: Kisah Nundang Rundagi di Cicalengka

Tiba di Tempat Tujuan

Pak Teten kembali berdiri. Sambil mendengarkan aba-aba dari beliau kami pun melanjutkan perjalanan. Tiba saatnya di suatu tebing yang curam. Pak Teten mengatakan bahwa kami harus menaiki tebing tersebut dengan jarak sekitar 1.000 meter di bawah permukaaan laut (mdpl). Satu per satu orang-orang pun bergelantungan. Tangan mereka meraih batu-batu yang bisa dipegang, atau kepada akar pohon untuk dijadikan tumpuan. Dari ketinggian itu kami dapat melihat aliran sungai Cowang yang deras. Meski terlihat mengerikan, saya tak menyangka jika pendakian yang ditempuh di tebing tersebut sudah sejauh ini.

Dari atas suara Pak Tetan terdengar memberikan semangat. Tampaknya beberapa orang dari kami sudah berada di lokasi berkumpul. Benar saja, setelah tanjakan terakhir saya lalui, terlihat gubuk-gubuk reyot yang dikelilingi rerumputan. Ini menandakan bahwa kami sudah sampai di tempat tujuan. Wajah-wajah lelah tak bisa dihindarkan. Kendati demikian kelelahan itu dapat terobati, dengan menyantap sajian nasi liwet yang telah disediakan oleh kawan-kawan sejawat Pak Teten.

*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan komunitas Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//