• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #24: Memaknai Kembali Arti Belajar bagi Seorang Guru

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #24: Memaknai Kembali Arti Belajar bagi Seorang Guru

Seorang guru harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Tak sekadar melarang muridnya tanpa memberikan penjelasan yang rasional.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Iwan A. Priyana sedang berbincang dengan Arif, murid SMP YP 17 Nagreg, Kabupaten Bandung. (Foto: Noor Shalihah/Penulis)

11 Maret 2023


BandungBergerak.idGuru yang baik ibarat petani peradaban. Ia yang menanam benih-benih manusia agar bisa belajar menjadi manusia yang baik. Ia juga yang mempersiapkan manusia untuk bisa menghadapi kehidupan.

Karena itu, guru yang baik bukan dinilai dari bagaimana ia bisa meluluskan anak didiknya melewati tes tertulis namun juga bisa meluluskan anak didiknya dalam ujian kehidupan. Guru yang baik bisa menjalin percakapan-percakapan tentang kehidupan dengan muridnya.

Iwan A. Priyana sudah memahami esensi guru ini. Selama tiga puluh empat tahun terakhir, ia membekali murid-muridnya untuk menghadapi kehidupan. Tak hanya muridnya, ia juga membekali guru-guru muda dengan pengalaman profesionalnya. Hal itu menjadi pilihan hidupnya sebagai guru.

Sebuah film tahun 80-an yang menceritakan tentang guru bahasa Indonesia menginspirasi Iwan untuk menjadi guru. Melalui film itu ia merasa memiliki bakat yang sesuai untuk menjadi guru.

Esensi seorang guru itu diamini oleh Arif, seorang siswa SMP yang merupakan salah satu murid pak guru Iwan. Arif menyatakan, ia senang ketika belajar bersama guru-guru di sekolahnya. Tidak merasa tertekan dan bisa mengekspresikan dirinya sendiri. 

Selama menjadi guru, Iwan selalu membebaskan dirinya dari berbagai macam dikte pemerintah. Ia percaya kunci dari pengembangan kualitas pembelajaran hanya satu, kebebasan mengajar. Dengan hal itu, ia bisa mengantarkan murid mencapai tujuan yang diharapkan. Meskipun kita memiliki tujuan bersama, tetapi kita bisa melalui jalan yang berbeda bukan?

Meluaskan Makna Belajar bagi Guru

Selama ini, persepsi kebanyakan orang terhadap aktivitas belajar adalah yang ada di ruang kelas. Guru di depan murid duduk berada di meja. Ada sesuatu yang dijelaskan, seakan-akan guru merupakan sumber belajar satu-satunya. Itulah pemahaman kebanyakan orang melalui belajar.

Agaknya, berangkat dari pandangan itu memberikan paradigma bahwa sekolah mesti tinggi-tinggi. Tetapi, tidak sesuai dengan ekspektasi, hasilnya banyak guru lulusan sekolah dengan gelar yang banyak namun tidak kunjung memberikan praktik baik. Sehingga hal ini hanya untuk menambah wawasan saja, tidak disertai dengan praktik yang berguna dan berdampak dalam praktik kesehariannya.

Padahal, sudah banyak perkembangan teori belajar dan pembelajaran yang lebih luas. Belajar bukan hanya transfer informasi, tetapi juga membangun berbagai macam kebiasaan dan keterampilan yang baru. Belajar juga membangun hubungan antarsaraf yang bisa membuat otak manusia lebih kuat. 

Belajar bagi guru bukan hanya belajar di ruang kelas dan mendengarkan uraian ceramah. Tetapi juga dengan menyerap berbagai praktik baik dari rekan sejawatnya. 

Iwan yang pernah menjadi ketua MGMP, memberikan ruang eksplorasi baik kepada dirinya sendiri maupun rekan seprofesinya. Sebetulnya yang diharapkan dalam pembelajaran guru adalah bisa bereksperimen di ruang kelas. Gagal pun tidak masalah.

“Gagal, perbaiki, coba lagi. Tah kitu guru merdeka” ujarnya. Iwan melanjutkan, ada yang lebih penting dari itu adalah kemampuan berefleksi atas apa yang telah dilakukan di ruang kelas tersebut. Sehingga, guru-guru bisa melakukan proses untuk memperbaiki.

Belajar dari yang terdekat. “Belajar dari siswa, karena mereka yang tahu bagaimana kita sebenarnya,” ujar Iwan.

Belajar dari rekan sejawat dalam mengentaskan berbagai masalah pengajaran di dalam kelas.

“Sebetulnya itu yang dimaksud belajar untuk guru tentang belajar bagaimana mengembangkan kemampuannya, agar mengajarnya lebih bagus, begitu kan?” pungkasnya.

Ruh dari guru yang selalu membiasakan diri dalam belajar, akan membuat iklim tersendiri di dalam kelas. Secara tidak langsung, guru yang belajar akan meningkatkan kemampuan profesional dalam mengajar baik peningkatan praktik dari pedagogical knowledge (pengetahuan pedagogik) maupun pedagogical content knowledge (pengetahuan cara mengajarkan konten).

Pak Iwan juga berharap bahwa guru juga bisa meningkatkan kompetensi dari rekan-rekannya. Karena rekannya itulah yang merasakan bagaimana terjadinya proses belajar dan pembelajaran di ruang kelas bersama muridnya. Ia juga berpesan: “Jangan mengajar jika tidak belajar.”

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #21: Orang Palembang di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #22: Kisah Nundang Rundagi di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #23: Menjejaki Curug Cowang sambil Memahami Literasi Lingkungan

SMP YP 17 Nagreg, Kabupaten Bandung, tempat Iwan A. Priyana membina. (Foto: Noor Shalihah/Penulis)
SMP YP 17 Nagreg, Kabupaten Bandung, tempat Iwan A. Priyana membina. (Foto: Noor Shalihah/Penulis)

Memaksimalkan Penggunaan Teknologi dalam Pembelajaran

Kita masih belum lupa bagaimana pandemi covid sejak 2020 membuat semuanya dipaksa untuk memaksimalkan penggunaan gawai. Daring, katanya. Semua dipaksa bisa, semua dipaksa berusaha memanfaatkannya.

Pandemi mulai usai, sekolah kembali dalam mode luring. Namun, berkebalikan dengan apa yang telah dibiasakan zaman pandemi, dilarang membawa dan menggunakan gawai di sekolah. Betapa peserta didik yang sudah terpapar berbagai macam informasi secara daring harus berhenti. Seperti candu, ia sudah melekat dalam perilaku keseharian peserta didik.

Sangat disayangkan, larangan itu banyak yang bersifat larangan tanpa penjelasan. Khawatirnya, anak tersebut banyak melakukan aktivitas dengan gawai tersebut secara sembunyi-sembunyi dan sulit untuk dipantau.

Pak Iwan menyarankan anak membutuhkan penjelasan yang rasional mengenai larangan membawa gawai. Melalui penjelasan rasional, guru bisa mengajak peserta didik untuk berpikir secara kritis: mengapa tidak diperbolehkan? Apa yang sebaiknya dilakukan melalui gawai?

“Hp itu merupakan berkah tersendiri, gimana kita menerangkan pembelajaran agar lebih efektif. Bukan malah kita kembali ke zaman batu,” ujarnya

Hal ini berkaitan dengan pola pikir guru yang seharusnya bisa berpikir lebih maju. Berpikir menghadapi bagaimana anak bisa beradaptasi dengan zamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan harus diantisipasi dan diadaptasi juga dengan cepat oleh guru di sekolah. Sehingga anak-anak tidak tertinggal dalam ilmu pengetahuan.

Di SMP YP Nagreg, pak guru Iwan mengembangkan tentang cara pemanfaatan teknologi gawai. Menurutnya, Guru harus bisa memaksimalkan hp sebagai media pembelajaran. Sehingga di sekolah tidak ada larangan membawa ataupun memakai gawai. Justru itulah yang harus dimanfaatkan.

Beragam hal yang dilakukan oleh pak Iwan menjadi salah satu inovasi untuk melakukan sebuah literasi digital di sekolah. Tahap pengenalan gawai, bagaimana cara menggunakan gawai yang bermanfaat sesuai dengan kepentingan peserta didik, menjadi satu hal yang penting dari penggunaan gawai di era internet ini. 

Meskipun pak Iwan sudah memasuki masa purnabakti, namun semangatnya untuk melakukan perubahan yang radikal dalam pembelajaran di ruang kelas masih ia laksanakan. Ia menjadi guru penggerak di Komunitas Guru Belajar Kabupaten Bandung, juga menjadi guru inspiratif. Ia pun sudah menerbitkan buku hasil dari pengalamannya sebagai guru bahasa Indonesia.

Dari pak Iwan, kita masih perlu belajar semangat untuk meneruskan cita-cita, ide, gagasan, kepada generasi muda yang lain melalui pendidikan. Perlu membiasakan diri untuk melakukan adaptasi dan melihat celah-celah peluang untuk melaksanakan pembelajaran yang lebih efektif dan sesuai dengan karakteristik zaman maupun karakteristik anak. 

*Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan komunitas Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//