• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #31: Para Ibu dan Pekerjaan Rumah Mereka Mendidik Anak

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #31: Para Ibu dan Pekerjaan Rumah Mereka Mendidik Anak

Peran mendidik anak tidak tepat dibebankan seluruhnya ke para ibu, seolah itu urusan domestik belaka. Lingkungan, masyarakat, dan pemerintah turut berkontribusi.

Noor Shalihah

Mahasiswa, bergiat di RBM Kali Atas

Albertha, seorang pakar pola asuh anak, sedang sedang berdiskusi dengan para guru TK termasuk tentang peran para perempuan. (Foto: Noor Shalihah)

14 Mei 2023


BandungBergerak.id - “Ibu-Ibu perlu berjuang lebih keras. Kesalahan mendidik kita hari ini, akan berpengaruh kepada masa depan bangsa beberapa puluh tahun mendatang.”

Kurang lebih begitu pesan dari perempuan yang akrab disapa Bertha dalam acara pola asuh orangtua (parenting) di sebuah Taman Kanak-kanak. Hanya ibu-ibu yang hadir di sana.

Memang pekerjaan ‘emak-emak’ tidak pernah berhenti. Umumnya masyarakat akan melimpahkan semua pekerjaan domestik kepada perempuan. Termasuk pengurusan anak. Para lelaki sering tidak merasa bahwa pengurusan dan pendidikan anak adalah urusan mereka juga. Bisanya mengadu bahwa anaknya menjadi nakal karena salah didik dari ibunya yang tidak lain adalah istrinya sendiri.

Pekerjaan yang banyak dilimpahkan kepada satu pihak memiliki risiko dampak yang tidak pendek. Kesalahan mendidik anak mungkin tidak akan seperti makan cabai yang langsung terasa pedasnya, tetapi bisa mendatangkan musibah dan masalah di kemudian hari. Tinggal memilih apakah orangtua ingin repot-repot mendidik anak hari ini atau ingin direpotkan anak di kemudian hari karena masalah-masalah yang ditimbulkan akibat salah didik.

Orangtua bekerja merupakan salah satu tantangan mendidik anak dalam keluarga. Entah keduanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, atau karena alasan yang lain. Kira-kira begitulah kebanyakan kasus yang diadukan baik kepada sekolah maupun praktisi pendidikan.

“Orangtuanya bekerja dua-duanya, sekolahnya bagus,” ucap Bertha. “Namun, keluar biaya banyak karena tumbuh kembang anak cukup terhambat.”

Menurut perempuan lulusan Kyoto Seika University ini, pergeseran pilihan masyarakat yang lebih mengutamakan bekerja mengkhawatirkan karena mengikis peran dan tanggung jawab orangtua kepada anak-anak. Mendidik anak dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah, mulai dari lingkungan yang tidak sehat hingga kurangnya figur baik. Ongkos yang dibayar karena perkembangan zaman yang tidak dievaluasi, begitu mahal.

Tentang kerusakan lingkungan, Bertha lalu bercerita tentang bagaimana orang-orang kota saat ini kesulitan mencari tanah untuk dipijak. Dalam artian dipijak yang sebenarnya. Orang kota ingin merasakan sensasi menyentuh tanah sehingga syaraf-syarafnya bisa terhubung dengan alam. Ada teman kami yang mengalaminya. Ia kesulitan mencari tanah untuk berkebun di rumahnya di kota.

Tempat tinggal kami di pinggiran kota selayaknya bisa dirayakan, sekaligus perlu dirawat dan dilestarikan. Kami masih leluasa untuk pergi bermain ke sawah, masih menikmati ruang bebas yang bisa dieksplorasi, masih memiliki tetangga. Kami bisa mengenalkan anak ke lingkungan.

Di kawasan industri, anak-anak tidak bisa bermain di sungai karena sudah tercemar limbah. Bahkan airnya sudah bau. Atau udara sudah tidak sehat karena tercemar sisa pembuangan udara di pabrik. Sulit menanamkan rasa aman karena perumahan dibangun di atas bukit-bukit yang miring.

Keadaan ini mengingatkan saya pada cerita seorang dosen di Kita Kyushu, salah satu kota industri di Jepang. Sekitar tahun 1901, pabrik di Jepang mulai beroperasi dan kota itu segera menjadi pusat industri. Pada tahun 1960-an, ibu-ibu di sana mulai menyuarakan keluhan mengenai kesehatan anak mereka yang terganggu oleh polusi dari pabrik-pabrik tersebut.

Gerakan para ibu yang mengkhawatirkan anaknya itu membuat perusahaan, pemerintah, dan banyak elemen lain di kawasan tersebut mencari solusi. Mereka melakukan berbagai upaya perubahan agar Kita Kyushu kembali hijau dan ramah anak. Dan itulah yang terjadi. Anak-anak bisa melihat kembali laut biru.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #30: Masa Depanku atau Masa Depanmu?
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #29: Kami Masih Membutuhkan Ruang Publik
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #28: Semalter, Belajar Iktikaf untuk Anak-anak dan Remaja

Butuh Satu Negara

Tentu pendidikan yang baik tidak bisa diwujudkan semata dengan mengandalkan kekuatan para ibu. Namun, banyak hal baik bisa dimulai dari sini. Dari keinginan bersama menciptakan generasi penerus yang lebih baik.

Tentu saja ibu-ibu tak bisa bekerja sendirian untuk mendidik anak. Bisa dibayangkan, pendidikan yang begitu kompleks kemudian direduksi menjadi pendidikan yang hanya terjadi di ruang sekolah. Setelah itu direduksi lagi menjadi sekadar peran ibu di rumah. Tentunya tidak semudah itu kan?

Hari ini anak-anak dihadapkan pada banyak contoh buruk. Mereka kesulitan menemukan sosok panutan (role model) di masyarakat. Praktik-praktik buruk, seperti korupsi, membuat banyak hal menjadi semakin sulit. Bagaimana bisa kita mendidik anak menjadi baik jika lingkungannya saja menghadirkan contoh yang tidak baik?

Anak juga semakin kesulitan menemukan contoh baik sebuah pemerintahan bekerja secara jujur melayani publik. Atau perusahaan yang konsisten menjaga lingkungan. Atau penegakan hukum yang adil ke warga biasa.

Tepatlah pepatah yang mengatakan perlu satu negara untuk mendidik anak, karena mereka belajar melalui apa yang dilihat, didengar, dan dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Terlalu berat membebankan semua ke para ibu.  

 *Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//