• Opini
  • Menjawab Pertanyaan Anak tentang Tuhan

Menjawab Pertanyaan Anak tentang Tuhan

“Kalau Tuhan Maha Kuasa, kenapa tidak membuat semua orang menjadi kaya, jadi tidak ada lagi orang miskin?” demikian anak saya bertanya.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Cerpen Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin yang sangat agresif dan kontroversial,terbit pertama kali di majalah Sastra 1968. (Sumber Foto: Facebook)

25 Desember 2023


BandungBergerak.idKalau Anda sebagai orang tua yang mempunyai anak remaja atau seorang yang berkecimpung dalam mendidik anak remaja setingkat SMP atau SMA, tentunya berhadapan  dengan berbagai karakter, perilaku, ataupun pemikiran anak-anak yang beragam. Dari keragaman itu sering kali menemukan sesuatu yang luar biasa, aneh bahkan nyeleneh. Setidaknya saya menemukan satu gambaran itu pada anak saya (Shilin) yang sekarang sedang duduk di kelas X sebuah SMAN di Kota Bandung, yang dengan segala rasa dan pemikirannya sering kali mengemukakan berbagai pertanyaan ketika kami berbincang santai.

Perkara yang ditanyakan anak saya juga terbilang serius dan “tidak lazim” untuk anak yang sedang beranjak dewasa, yakni terkait dengan berbagai eksistensi: manusia, semesta, agama, Tuhan, dan hal- hal diseputarannya. Beberapa pertanyaan yang meluncur itu seperti : “Abi, kalau setiap manusia sudah mempunyai takdir sendiri, kenapa Tuhan menciptakannya?”, “kalau Tuhan Maha Kuasa, kenapa tidak membuat semua orang menjadi kaya, jadi tidak ada lagi orang miskin?”, “kenapa orang baik yang bukan Islam bisa masuk neraka, sedangkan orang Islam meskipun tidak baik masuk surga?”, dsb.

Mendengar berbagai tanya itu saya pun sedikit gelagapan, bingung, dan kaget. Entah apa yang melandasinya sehingga ia menanyakan hal tersebut, dan saya juga yakin tidak semua anak terlintas menanyakan itu. Tetapi konsep bertanya diyakini sebagai muara dari apa-apa yang dilihat, dirasakan, dan dipikirkan, sehingga membuat tanya itu menjadi sebuah postulat.

Mendengar berbagai pertanyaan anak, sebagai orang tua tentu harus siap menjawabnya karena tidak semua orang tua juga berhadapan dengan anak yang sedang masuk pada fase bertanya dan menanyakan hal-hal transendental. Maka kami pun sering berdiskusi santai, tetapi saya lebih banyak mendengarkan untuk memahami alam pikiran anak dengan sesekali saja menjawab.

Saya banyak diam sambil pikiran terus bekerja dan mencerna tentang mahluk yang memiliki akal pikiran ini, karena dengan akalnya juga manusia bisa mengembangkan serta menjelajah segala bentuk yang belum terpikirkan. Bisa menjangkau ruang dan waktu meski tersembunyi dalam alam gaib, merekayasa semua bentuk meski dengan imajinasi yang berbeda, menerobos tabu yang sebelumnya menjadi nilai yang ada di masyarakat. Perkara ini juga yang mengajak saya untuk mengingat dan membaca kembali beberapa karya sastra yang mempunyai latar cerita tentang Tuhan, semesta, surga, neraka dan hal ”gaib” lainnya yang menjadi pertanyaaan anak saya belakangan itu. Meskipun membaca karya sastra yang bersentuhan dengan sifat Tuhan tidak bisa diterjemahkan secara literal karena banyaknya kaidah metafor yang meneguhkan batasan antara sebuah fakta atau khayal, tetapi setidaknya itulah gambaran bahwa imajinasi itu terbatas.       

Saya jadi teringat cerita-cerita tentang tuhan (tentu dengan t kecil) yang pernah dibaca beberapa tahun ke belakang. Seperti tuhan yang merasa geram ketika menanggapi “unjuk rasa” pimpinan Haji Soleh dalam cerpennya A.A. Navis “Robohnya Surau Kami”. Tulisan yang terbit pertama kali pada tahun 1956 ini mempersoalkan bagaimana Haji Soleh beserta kawan-kawannya menggugat keputusan tuhan yang menjebloskannya ke dalam neraka, padahal selama di dunia tidak kurang apa Haji Soleh mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada tuhan, tetapi ia luput dengan pengabdian sosialnya.

Cerita “Robohnya Surau Kami” sebenarnya sedang memotret realitas sosial yang ditransfer ke alam khayal. Sebagaimana juga cerpen “Langit Makin Mendung” tulisan Kipandjikusmin yang dimuat pertama kali pada majalah SASTRA pimpinan H.B. Jassin edisi Agustus 1968. Tulisan ini sangat agresif dan provokatif karena dianggap memperolok-olok tuhan serta melecehkan nabi Muhammad yang dinilainya sudah merasa bosan dan ingin keluar dari surgaloka. Dengan dimuatnya tulisan ini telah menimbulkan kontroversi dan banyak keresahan, bahkan beberapa kelompok masyarakat mengadukan H.B.Jassin sebagai Pemred majalah SASTRA ke muka hukum, meski sebagian publik juga memuji langkahnya yang konsisten dalam melindungi dan merahasiakan narasumber.      

Baca Juga: Musik Metal dan Generasi Muda Radio (GMR) Bandung
Dua Dekade Bersama Jaringan Buku Alternatif (JBA) Bandung
Dilema Golput

Buku kumpulan cerpen Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu karya Leo Tolstoy (1828-1910). (Foto: Indra Prayana/Penulis)
Buku kumpulan cerpen Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu karya Leo Tolstoy (1828-1910). (Foto: Indra Prayana/Penulis)

Tuhan dari Cerpen Impor

Lain lagi dengan cerpen impor “Surat Buat Tuhan” Gregorio Lopez Fuentez yang melakukan perlawanan terhadap korupsi dengan satire religius, bagaimana seorang bernama Lencho dalam cerita tersebut merupakan  petani yang didera kemiskinan hebat dan berharap bisa lepas dari jerat kesusahan hidupnya itu dengan cara mengirim surat kepada Tuhan untuk bisa membantunya. Setelah surat ditulis lalu dikirimkan ke kantor pos, tetapi petugas pos kebingungan mencari alamat Tuhan. Atas inisiatif kepala pos surat Lencho itu dikembalikan sembari diisi sejumlah uang iuran petugas pos yang merasa iba dan simpati, tetapi ketika Lencho membuka surat balasan yang isinya sejumlah uang itu, ia bukannya bersyukur malah memaki petugas pos lantaran uang yang dimintanya kepada Tuhan tidak sesuai dengan yang diterimanya. “tuhan tidak mungkin korupsi,” maki Lencho.

Berbeda dengan “Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu” cerpen Leo Tolstoy (1828-1910) yang dimuat dalam buku dengan judul yang sama yang diterjemahkan oleh Anton Kurnia, diterbitkan Jalasutra 2010. Sastrawan besar Rusia ini menempatkan Tuhan sedikit lebih optimis sebagai penguasa takdir manusia. Diceritakan adalah Ivan Aksionov seorang suami yang difitnah telah melakukan pembunuhan, sampai istrinya sendiri percaya. Akibat fitnah itu Ivan Aksianov dihukum selama puluhan tahun, sampai dipenghujung tuanya dibebaskan karena tidak terbukti melakukan pembunuhan. Kebenaran tersingkap dan pelaku sebenarnya diketahui.

Dalam cerita itu Tolstoy seperti sedang mengapresiasi terjemahan Al Quran ke dalam cerita yang menawan, “Boleh jadi kamu menyangka itu baik buat kamu padahal itu tidak baik untukmu dan boleh jadi kamu menyangka tidak baik padahal itu baik untukmu, Alloh maha mengetahui segala sesuatu sedangkan kamu tidak mengetahui (Q.S. Al Baqarah: 216). Mungkin benar pada awalnya kita tidak menyadari akan kesalahan ataupun kebenaran kita tetapi Tuhan maha melihat, karena terkadang manusia tidak bisa memahami hikmah yang tersembunyi di dalam setiap penggalan hidup. Begitupun dalam cerita Tolstoy lainnya seperti “Sebutir Gandum dari Tanah Tuhan”,  yang menceritakan kegelisahan serta keingintahuan seorang Tsar (raja) tentang sebutir gandum. Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu Tsar memanggil petani yang sudah sangat Udzur tetapi secara fisik, gigi dan pandangannya terlihat masih kuat dan tajam, berbeda dengan anak dan cucunya yang sudah renta dan lemah. Ternyata petani itu menjalani hidupnya hanya bersandar pada firman Tuhan. “Kami adalah majikan atas diri kami sendiri dan tidak menghendaki apa pun yang dimiliki orang lain,” ujarnya kepada Tsar. Kembali dalam hal ini Tolstoy seperti sedang menterjemahkan salah satu diksi dalam Al Quran, Lain Syakartum Laazidannakum artinya  “bahwa sungguh apabila engkau bersyukur maka akan ku tambah nikmatKu” (Q.S. Ibrahim: 7).           

Menarik sebenarnya membaca karya lain juga seperti Al Hallaj, Syekh Siti Jenar, Frederich Nietzsche, “Divine Comedy” Dante Alighieri atau mungkin “Satanic Verses”-nya Salman Rusdhie, sebagai bahan komparasi sejauh mana sebenarnya manusia dapat menyentuh sesuatu yang “sakral”. Benturan nilai religius dalam kerangka fakta dan khayal ini selalu menjadi perhatian karena sulitnya mengkontrol terhadap pikiran seseorang serta banyaknya tafsir yang berbicara.

Tetapi dalam setiap cerita-cerita, persoalan sosio religiusitas seperti itu pada umumnya tertera: Pertama, alur cerita biasanya sederhana tidak menggunakan bahasa-bahasa yang berat sehingga dengan mudah dicerna, yang kedua cerita tidak bertele-tele dan fokus pada maksud atau pesan yang ingin disampaikan, ketiga alur cerita bersifat parodi dan menggelikan untuk bisa mentertawakan diri sendiri dan manusia umumnya dengan beragam karakter, dan keempat biasanya cerita mengandung satire/sindiran terhadap kondisi sosial kemasyarakatan tertentu .       

Tetapi apa yang diceritakan dalam karya sastra di atas bukanlah jawaban atas apa yang dipertanyakan anak saya ataupun anak remaja lain seumurannya yang mempunyai pandangan yang sama, karena untuk menjawab suatu yang tidak terlihat secara dzohir tidaklah cukup menggunakan akal tetapi juga harus dengan keimanan. Adapun berbagai gambaran atau “personifikasi” Tuhan dalam berbagai tulisan itu hanyalah untuk memperluas sudut pandangnya.

Saya hanya mengajak anak berpikir dan menyampaikan nasihat dengan menukil adagium klasik yang kemungkinan diucapkan filsuf Socrates bahwa: “yang saya ketahui, bahwa saya tidak mengetahui apa-apa”, karena saya menafsirkan ucapan itu sebagai pengingat bahwasanya apa yang diketahui manusia itu sangatlah terbatas, hanya setetes air di tengah lautan samudra ilmunya Sang Pencipta. Begitulah apa yang sempat terekam dalam fragmen bincang-bincang santai dengan anak, dan semoga engkau dan kita semua termasuk orang-orang yang berpikir itu. Wallahua’lam bishshawab.

 * Mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Indra Prayana, atau artikel-artikel lain tentang Filsafat dan Sastra 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//