• Kolom
  • MEMOAR BUKU #2: Membeli Buku Pertama, Bendera Sudah Saya Kibarkan

MEMOAR BUKU #2: Membeli Buku Pertama, Bendera Sudah Saya Kibarkan

Buku “Bendera Sudah Saya Kibarkan” menjadi buku pertama yang mengawali kecintaan saya pada buku dengan mulai bergerilya mendatangi lapak-lapak buku bekas di Bandung.

Indra Prayana

Pegiat buku dan surat kabar

Buku Bendera Sudah Saya Kibarkan Pokok-pokok Pikiran Megawati Soekarnoputri karya Megawati Soekarnoputri. Dicetak perdana tahun 1993 oleh penerbit Sinar Harapan. (Foto: Indra Prayana)

12 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Aristoteles seorang filsuf Yunani pernah menyebut manusia sebagai “zoon politicon” atau makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan berkumpul dan saling terkait satu sama lainnya. Berkumpul untuk membuat hukum dan aturan main yang disepakati bersama.  Di antara mereka terkadang akan menemukan titik  kesadarannya sebagai makhluk politis di saat berhadapan dengan kondisi sosial yang kontras.

Saya sendiri  merasa kesadaran kritis terbangun ketika berada di tengah- tengah lingkungan yang “termarginalkan” baik secara sosial maupun ekonomi. Berangkat dari keluarga yang biasa-biasa saja, saya kerap menyaksikan ayah yang bekerja sebagai sopir dan ibu seorang guru harus bergulat menjalani kehidupan sehari-hari di sebuah rumah petak kontrakan yang saling berimpitan dengan dinding bilik dan tripleks di wilayah kampung kota, Gang Bongkaran Jalan Cihampelas, Bandung.

Lingkungan yang padat penduduk membuat pergaulan dan lingkaran pertemanan juga sangat beragam dengan pola pikir yang beragam pula, ditambah lagi dengan maraknya masalah-masalah sosial di tempat kami menetap membuat kekhawatiran tersendiri. Kekhawatiran terhadap pergaulan itu juga yang mendorong orang tua memaksa saya untuk melanjutkan sekolah lagi selepas lulus SMA.

Pada tahun 1995 saya mulai mencicipi bangku kuliah di Universitas Langlangbuana (Unla) Bandung. Sebagai orang yang tidak suka ilmu eksakta saya memilih untuk masuk ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dengan mempelajari berbagai teori-teori dasar ilmu-ilmu sosial dan politik, dan sedikit demi sedikit kesadaran saya terhadap isu-isu kemasyarakatan mulai terpupuk. Lingkar pertemanan sedikit bergeser, dan saya juga mulai sering baca koran atau tabloid yang berbau politik, seperti tabloid Adil, Paron, Swadesi, Intijaya, dll.

Baca Juga: Menjawab Pertanyaan Anak tentang Tuhan
MEMOAR BUKU #1: Mendapatkan Buku Kaum Tani Mengganjang Setan-setan Desa

Peristiwa Kudatuli

Pada tanggal 27 Juli 1996 di Jakarta terjadi kerusuhan besar yang banyak memakan korban, dalam laporan Komnas HAM waktu itu menyebut 5 orang meninggal, 149 luka-luka dan 23 orang dinyatakan hilang. Sebab musababnya karena terjadi penyerangan terhadap kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta yang saat itu dikuasai oleh pendukung Megawati Soekarno Putri, sedangkan yang menyerang adalah massa dari PDI Soerjadi yang didukung oleh kekuasaan. Peristiwa ini sangat menarik perhatian saya karena usaha pengambilalihan kantor partai dilakukan dengan sangat telanjang menggunakan kekerasan.

Hampir setiap media cetak dan elektronik mewartakannya, saya sendiri melihat di berita Liputan 6 SCTV yang memvisualkan penyerangan sekelompok massa berbaju merah dengan di back-up polisi dan tentara. Sedangkan dari pihak PDI Pro Soerjadi yang tampak hadir  ditengah-tengah massa penyerang adalah Buttu Hutapea selaku sekjen partai.

Pasca kerusuhan 27 Juli atau sering disebut peristiwa Kudatuli itu telah memantik kesadaran saya tentang adanya kekuasaan yang sedang dijalankan dengan penuh arogansi dan ke sewenangan, penguasa yang mengangkangi demokrasi, hak asasi manusia dan membungkam civil society.

Saya mengamati perkembangan sosial politik dan kasus Kudatuli dengan banyak mendengarkan berita melalui siaran radio. Salah satu stasiun radio yang aktif menyampaikan berbagai berita adalah Radio Ganesha pada gelombang AM 1170 KHz berlokasi di Jalan Siliwangi no. 41 Bandung. Setiap jam 06.00- 9.00 pagi atau 19.00-21.00 malam berbagai berita yang tersebar di berbagai surat kabar dibacakan dengan dibumbui analisis-analisis yang tajam dan menarik dari penyiarnya bang Demas Korompis. Selaku pemimpin dan perintis Radio Ganesha dengan latar belakang mantan aktivis 66, Demas Korompis telah memberikan “pendidikan politik” yang mencerahkan kepada masyarakat.      

Banyaknya kelompok pro-demokrasi yang simpati kepada Megawati membuat saya juga merasakannya. Pada saat Radio Ganesha menginformasikan dan menjual buku Bendera Sudah Saya Kibarkan, saya langsung bergegas untuk membelinya. Mungkin ini merupakan buku pertama yang saya beli dengan penuh kesadaran dan rasa ingin tahu, bukunya dijual dengan harga 4.000 Rupiah. Uang yang saya sisihkan dari kebutuhan utama yaitu makan dan rokok, maklum waktu itu buku belum menjadi kebutuhan.    

Sesampainya di rumah saya mulai membaca buku tipis 47 halaman ini. Isinya berupa pokok-pokok pikiran Megawati diseputaran :

  1. Kepentingan Rakyat Banyak
  2. Demokrasi
  3. Persatuan dan Kesatuan
  4. Hak Azasi Manusia
  5. Dwi Fungsi ABRI
  6. Kesenjangan Sosial, dan
  7. Pembangunan Nasional

Di lembaran awal buku tertulis sebuah quote yang ditujukan untuk Rakyat Indonesia: “Mann Kann Das Leib Toten , Aber Nicht Den Geist” ( Manusia Dapat Membunuh Tubuh , Tapi Tak Dapat Membunuh Jiwa). Tak disebutkan quote ini dikutip dari mana dan perkataan siapa . Tetapi artinya hampir sama dengan apa yang tertulis di Alkitab. Dalam Matius 10:28 menyebut: “Dan Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi tidak berkuasa membunuh Jiwa; takutlah kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.”

Entah pesan apa yang ingin disampaikan dan apa relevansinya dengan isi tulisan dalam buku tersebut.

Cetakan pertama buku ini terbit pada bulan November 1993 oleh Penerbit Sinar Harapan, itu artinya empat bulan sesudah terjadinya Kongres PDI ke IV di Medan yang berlangsung ricuh. Berbagai konflik kepentingan untuk menjadi kandidat ketua umum PDI sangat terasa. Sehingga tak kurang dari 100 fungsionaris PDI dan 70 DPC yang tersebar di Indonesia mendorong Megawati untuk maju sebagai calon Ketua Umum partai. Setelah menerima banyak dukungan dan merasa yakin akhirnya Megawati bersedia untuk maju menjadi ketua umum. “Bendera Sudah Saya Kibarkan” ucap Megawati yang menunjukkan kesiapannya dan untuk lebih meyakinkan pendukungnya ia kembali menegaskan bahwa; “Saya Pantang Surut. Biarpun saya tinggal sendiri, bendera itu tidak akan saya turunkan” sebagaimana tertulis di kata pengantar buku. Sampai akhirnya Mega terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum PDI 1993-1998 pada Munas di Bulan Desember 1993.

Buku “Bendera Sudah Saya Kibarkan

Sebagai politikus tentu banyak visi dan misinya yang tertuang dalam buku pokok pikiran ini. Saya menangkap apa yang ditulis dalam buku ini sangat sederhana dan normatif walaupun itu membicarakan  persoalan-persoalan besar.

Meski hanya sebatas pokok-pokok pikiran, tetapi ada beberapa poin yang saya kritisi dan tidak setuju dengan isi buku ini. Misalnya pada tema Dwi Fungsi ABRI yang dalam bukunya, Megawati menyebut : “seharusnya masalah dwi fungsi ABRI tidak menjadi persoalan. Karena memang ABRI sebelumnya hidup dan berkembang karena dijiwai semangat TNI yang berasal dari rakyat. Dwi Fungsi ABRI tidak menjadi persoalan, kalau ABRI tetap mengabdikan dirinya kepada rakyat”. ( Hal : 33). Intinya Megawati  tidak mempersoalkan peran ganda tentara selama itu untuk kepentingan rakyat.

Sedangkan saya menilai, persoalan Dwi Fungsi bukan pada manunggalnya ABRI dan Rakyat sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Persoalannya pada 5 Paket Undang-undang (UU) Politik tahun 1985 yang kontroversial dan banyak ditentang aktivis pro-demokrasi, karena UU tersebut berwatak anti demokrasi dan sangat tidak adil.  Salah satu poinnya menempatkan ABRI mendapatkan hak khusus untuk diangkat oleh Presiden tanpa melalui pemilu, belum lagi previlege menjadi kepala daerah yang harus dan diangkat dari kalangan militer. Dalam undang -undang ini juga terdapat aturan recall atau pemberhentian bagi anggota parlemen yang dianggap mengancam dan bersikap kritis terhadap pemerintah.   

Sementara karakter demokrasi memosisikan semua orang setara dan pemilu sebagai syarat mutlak untuk menempatkan para wakil rakyat terpilih melalui proses pemilihan. Pengangkatan anggota ABRI di parlemen tanpa ikut pemilu ini tentunya tidak demokratis dan banyak menguntungkan kekuasaan.        

Tetapi lepas dari bukunya “Bendera Sudah Saya Kibarkan”, saya tertarik pada sosok Megawati waktu itu karena ia dianggap sebagai simbol perlawanan rakyat yang selama orde baru  banyak mengalami ketidakadilan baik secara politik, hukum, sosial maupun ekonomi. Mega sering disandingkan dengan tokoh pejuang demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi yang sama-sama mengalami penindasan dari penguasa setempat. Sebagaimana diketahui Aung San Suu Kyi merupakan pemenang Nobel Perdamaian tahun 1991 karena sikapnya yang konsisten memperjuangkan hak-hak masyarakat sipil di Myanmar. Kesamaan lainnya Suu Kyi juga  merupakan anak dari Aung San seorang bapak bangsanya Myanmar yang memimpin partai Liga Nasional Demokrasi (National League for Democracy), sebuah partai oposisi yang memenangkan pemilu tetapi dibatalkan oleh rezim junta militer.

Obsesi terhadap demokrasi itu juga yang menginspirasi saya membuat sendiri T-shirt / Kaos bergambar Megawati dan Suu Kyi dengan tulisan “Keep Fight For Democracy” untuk dipakai saat ikut kampanye “Mega-Bintang”,  sebuah koalisi massa pendukung Megawati dengan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan juga para aktivis Pro-Demokrasi lainnya menjelang pemilu 1997.

Setelah membaca secara keseluruhan buku “Bendera Sudah Saya Kibarkan” yang saya anggap terlalu normatif dan simplistis, maka saya mulai memproses dialektika dengan memperbanyak bacaan dan memperluas akses terhadap berbagai informasi. Sejak itu saya telah “mengibarkan bendera” kecintaan terhadap buku, dengan mulai bergerilya mendatangi lapak-lapak buku bekas terutama yang berada di kawasan Jalan Dewi Sartika, Bandung.  Meski anggaran untuk membeli buku telah banyak memangkas  kebutuhan saya,  tetapi saat itu prinsip lebih baik menahan lapar dan tidak merokok asal bisa membeli buku begitu kuat. Ya kalau sekarang lain lagilah ceritanya.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan Indra Prayana, dan artikel-artikel lain tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//