• Opini
  • Buku di antara Stigma dan Satir Kekuasaan

Buku di antara Stigma dan Satir Kekuasaan

Ironi terbesar dari kasus penyitaan buku di Indonesia adalah bagaimana pihak penguasa menjadikan benda paling sunyi –buku, sebagai alat bukti kejahatan.

Geril Dwira

Warga sipil. Jurnalis lepas. Sesekali menulis dan mengambil gambar bergerak dengan kamera.

Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

5 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Pertengahan September 2025, publik dikejutkan dengan konferensi pers Polda Jawa Barat. Di atas meja, deretan buku dipamerkan sejajar dengan botol bensin dan batu –barang bukti terkait kerusuhan di Bandung lalu. Di antara tumpukan itu, ada buku Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, Jiwa Manusia di Bawah Sosialisme karya Oscar Wilde, serta sejumlah buku bertema anarkisme.

Konon, tujuan penyitaan buku-buku itu adalah agar polisi bisa mendapatkan konstruksi perkara yang utuh atas kasus tersebut. Polisi merasa perlu mengetahui latar belakang perbuatan seseorang dengan objektif.

Fenomena itu bukan satu-satunya yang terjadi. Di Kediri, Jawa Timur, polisi juga menyita koleksi buku milik seorang pegiat literasi. Di Surabaya dan Sidoarjo, aparat juga memamerkan buku-buku bertema sosialisme dan anarkisme, termasuk buku berjudul Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno.

Pihak kepolisian berargumen bahwa aspek bacaan dapat menjadi “inspirasi” bagi tindakan, sehingga buku-buku tersebut dianggap relevan dalam penyidikan. Seperti pernyataan Dirreskrimum Polda Jawa Timur yang menjelaskan, penyitaan buku bertujuan untuk menyelidiki pengaruh pemahaman narasi buku terhadap tindakan tersangka.

Sementara itu di kesempatan yang sama, Kapolda Jawa Timur menegaskan bahwa ia tidak melarang pembacaan buku-buku tersebut oleh kalangan profesional sebagai bagian dari pendalaman pemahaman.

“Tetapi kalau kemudian dipraktikkan, berarti kan proses pembelajarannya dari buku itu. Silakan baca buku, tetapi kalau tidak bagus jangan dipraktikkan,” seperti dikutip oleh Kompas.com.

Sebuah buku yang membuat kita bisa berpikir dan mengkritik, di hadapan penguasa, ia bisa dianggap menjadi barang yang berbahaya. Meski belakangan, kabarnya baru Polda Jatim yang telah mengembalikan 39 buku yang disita itu karena dianggap tidak terkait tindak pidana.

Pertanyaannya, bagus atau tidak bagus menurut siapa? Lalu, seperti apa “kalangan profesional” yang dimaksud?

Baca Juga: Daftar Buku Terbitan Bandung yang Dilarang Orde Baru
Membincangkan Sejarah Penghancuran Buku di Toko Buku Bandung
Membaca Sejarah Bibliosida dari Penyitaan Buku di Rumah Delpedro Marhaen

Buku Bukan Barang Bukti Kejahatan

Dalam konferensi pers 24 September 2025, pihak kepolisian mencatat setidaknya ada 959 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka terkait demo Agustus lalu. Besarnya angka tersebut menjadi cerminan bahwa negara sedang menunjukkan wajah lamanya: takut pada rakyatnya sendiri. Aktivis-aktivis yang turun ke jalan menolak ketidakadilan kini diciduk, diperlakukan bukan sebagai warga negara yang menggunakan haknya, melainkan sebagai kriminal. Mereka disebut provokator, penghasut, bahkan teroris. Ironisnya, barang bukti yang dipamerkan aparat bukanlah senjata, melainkan buku.

Buku –alat pengetahuan yang semestinya memerdekakan pikiran, justru diposisikan sebagai alat kejahatan. Seakan-akan membaca Anak Semua Bangsa atau menelaah teori sosial adalah perbuatan subversif. Padahal, aktivitas membaca bukanlah tindak pidana. Menyimpan buku bukanlah tindak pidana. Ide bukanlah peluru. Literasi baca tulis bukanlah tindakan kriminal.

Alat negara sering kali membungkus tindakan represifnya dengan kalimat manis: demi menjaga ketertiban umum, demi melindungi masyarakat, atau demi keamanan nasional. Narasi ini terdengar wajar, seolah negara benar-benar hadir untuk melindungi rakyatnya. Tapi dalam praktiknya, justru narasi inilah yang dijadikan legitimasi untuk membungkam perbedaan pendapat.

Saat demonstrasi, para demonstran dibubarkan paksa dengan gas air mata, aparat berdalih menjaga ketertiban. Ketika buku-buku disita dari ruang baca kolektif, alasan yang dipakai adalah mencegah penyebaran ide berbahaya. Saat masyarakat diintimidasi karena mengibarkan bendera One Piece, pembenaran yang muncul adalah menjaga keutuhan negara.

Logika ini berbahaya karena menempatkan negara sebagai satu-satunya penentu definisi “aman.” Aman versi negara berarti warga harus diam, tunduk, dan tidak melawan. Padahal, rasa aman itu harusnya lahir dari kemampuan warga untuk menyuarakan aspirasi, menyampaikan kritik, dan mengorganisir diri tanpa rasa takut.

Hal ini menjadi sebuah paradoks: negara mengklaim hadir untuk menjamin keamanan, tetapi kekerasan justru dilegalkan atas nama keamanan itu sendiri. Gas air mata, borgol, jeruji besi, hingga penyitaan buku, semuanya dijustifikasi dengan dalih melindungi rakyat. Seakan-akan rakyat perlu dilindungi dari dirinya sendiri, dari pikirannya sendiri, dan dari kesadarannya sendiri.

Buku Bukan Ancaman

Ada ungkapan getir yang biasa beredar di lingkar-lingkar diskusi, “Yang tidak pernah membaca, selalu merasa paling tahu isi buku.

Ironi terbesar dari kasus penyitaan buku di Indonesia adalah bagaimana pihak penguasa menjadikan benda paling sunyi–buku, sebagai alat bukti kejahatan. Buku, yang seharusnya menjadi jembatan pengetahuan, justru diperlakukan seperti senjata. Sialnya, keputusan-keputusan itu diambil oleh elite politik dan aparat yang rekam jejak intelektualnya sering kali tidak dibangun dari tradisi membaca, melainkan dari tradisi kuasa.

Sialnya lagi, penguasa yang tak akrab dengan lembaran-lembaran pengetahuan itulah yang kini menentukan buku mana yang dianggap berbahaya. Banyak pengambil keputusan yang rekam jejak intelektualnya justru miskin tradisi membaca. Namun, mereka begitu cepat menentukan buku mana yang berbahaya bagi rakyat. Seakan-akan, kehadiran judul-judul tentang sejarah rakyat, kritik kapitalisme, atau pengalaman perlawanan sosial bisa langsung menggerogoti legitimasi negara.

Dalam logika satir, buku yang tidak pernah dibaca justru lebih berbahaya dibanding senjata api. Bukan karena buku bisa melukai tubuh, tapi karena ia mampu menyalakan pikiran. Dan pikiran rakyat yang cerdas adalah ancaman terbesar bagi kekuasaan yang rapuh.

Maka tak heran, aparat lebih sigap menggerebek diskusi buku ketimbang mengurus mafia tambang atau kartel pangan. Negara seakan menegaskan: korupsi bisa dinegosiasikan, pelanggaran HAM bisa dilupakan, tapi membaca buku yang “salah” tidak bisa dimaafkan. Lebih jauh lagi, penguasa memosisikan dirinya sebagai kurator tunggal pengetahuan rakyat.

Dengan dalih keamanan dan stabilitas, negara menutup ruang literasi kritis. Mereka mengambil buku yang tidak mereka pahami, yang kemudian tidak juga pernah mereka baca. Terbukti, buku puisi berbahasa Sunda pun ikut disita Polda Jabar, hanya karena gambar sampul yang memuat ilustrasi botol dan api.

Menyita buku, menangkap, lalu melakukan kekerasan kepada para aktivis dengan tuduhan biang dari kerusuhan bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga pelecehan terhadap akal sehat. Negara bersembunyi di balik alasan keamanan untuk membenarkan represi, padahal yang paling mereka takuti bukanlah kerusuhan, melainkan kesadaran masyarakat.

Baca Buku Supaya Cerdas

Para aktivis yang kini ditahan adalah mereka yang berani melawan narasi tunggal yang dipaksakan oleh penguasa. Negara ingin mengurung tubuh, sekaligus membungkam pikiran. Kenyataannya, hari-hari ini negara tidak menginginkan rakyatnya cerdas. Sebab rakyat yang cerdas akan bertanya, akan melawan, akan menolak ditindas. Itulah mengapa buku dijadikan barang bukti, diskusi dibubarkan, dan aktivis dipenjara.

Negara takut pada rakyat yang membaca, rakyat yang mampu berpikir kritis, rakyat yang berani mempertanyakan kebijakan. Karena kecerdasan berarti kesadaran, dan kesadaran berarti perlawanan. Maka buku pun dicap sebagai ancaman. Negara memilih rakyat yang jinak, yang sibuk bekerja tanpa bertanya, yang patuh pada aturan tanpa membaca alasannya sehingga tidak mengganggu legitimasi kekuasaan. Padahal, kebebasan berpikir adalah fondasi kebebasan hidup.

Sejarah menunjukkan, pembatasan bacaan selalu menjadi instrumen kontrol kekuasaan. Dari rezim kolonial Hindia Belanda hingga Orde Baru, pelarangan buku kerap dipakai untuk membungkam pemikiran kritis. Kini, di era yang disebut demokrasi, pola itu diulang dengan wajah yang tak jauh berbeda, rakyat diberi hak untuk memilih, tetapi tidak diberi ruang untuk berpikir.

Penyitaan buku sebagai barang bukti bukan hanya persoalan teknis hukum, melainkan sinyal kemunduran demokrasi. Negara yang menakuti rakyatnya agar tidak membaca adalah negara yang sesungguhnya takut kehilangan kendali.

Selama negara masih berdiri di atas fondasi kekerasan dan ketakutan, kata keamanan hanyalah dusta yang dipoles agar represi terlihat wajar. Dan selama itu pula, melawan dengan membaca, menulis, dan mengorganisir diri adalah bentuk paling nyata dari keberanian.

Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.” Begitu pula kondisi hari ini, penguasa boleh berkuasa setinggi langit, tapi selama ia membenci buku, ia akan dikenang sebagai musuh pengetahuan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//