• Opini
  • Hari Guru: Tentang Organisasi yang Mulai Jauh dari Guru

Hari Guru: Tentang Organisasi yang Mulai Jauh dari Guru

Guru hebat hanya bisa tumbuh jika ia bekerja dalam lingkungan yang melindunginya. Pendidikan kuat hanya bisa terwujud jika keberadaan guru dijaga sungguh-sungguh.

Dava McCabal

Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA di Kabupaten Bandung. Aktif di pelbagai kegiatan kepenulisan. Anggota Komunitas Kawah Sastra Ciwidey.

Guru bukan sekadar mengajar pelajaran di kelas, ia mengajarkan tentang kehidupan bagi murid-muridnya. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

25 November 2025


BandungBergerak.id – Setiap kali Hari Guru tiba –dan tahun ini dengan tema “Guru Hebat, Pendidikan Kuat, Indonesia Maju”– saya kembali merenung di ruang guru yang sempit namun hangat. Aroma kopi hitam, tumpukan berkas yang menua sebelum selesai, dan percakapan lirih para guru selalu menjadi latar dari sebuah kegelisahan yang tak pernah sepenuhnya pergi. Dari ruang kecil inilah lahir pertanyaan yang semakin hari semakin sulit diabaikan: siapa sebenarnya yang melindungi kami?

Sebagai guru di sebuah SMA swasta di Bandung, saya ingin percaya bahwa PGRI adalah ruang aman pertama bagi kami. Bahwa organisasi yang selama puluhan tahun membawa nama “persatuan guru” benar-benar berdiri bersama anggotanya saat ancaman muncul. Namun kenyataan di lapangan sering kali jauh lebih rumit. Bagi banyak guru honorer maupun guru swasta, PGRI lebih sering dikenang sebagai lembaga penarik iuran daripada organisasi yang hadir ketika persoalan hukum, tekanan orang tua, atau konflik internal mulai mengancam.

Padahal, keberadaan PGRI tidak pernah dimaksudkan sekadar untuk administratif. Organisasi ini lahir dari kebutuhan untuk melindungi martabat guru dan memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk perlindungan dari kriminalisasi yang kini semakin sering muncul dalam berbagai bentuk. Salah menegur murid, salah memilih kata, atau salah mengambil tindakan disiplin bisa berujung pada laporan kepolisian. Guru yang sudah kelelahan oleh pekerjaan administratif kini juga dihantui ketakutan akan ancaman hukum. Ini bukan sekadar gambaran suram; ini adalah realitas sehari-hari.

Baca Juga: Arah Pendidikan Indonesia di antara Kebijakan, Kurikulum, dan Guru
Hari Kemerdekaan, Kata Sejahtera, dan Guru Honorer
Deepfake Gaji Guru Beban Negara: Bahasa Resmi vs Sentimen Masyarakat

Perlindungan Profesi Guru

Menurut laporan Kompas pada Februari 2025, PGRI telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Guru kepada DPR. Dalam laporan itu disebutkan bahwa perlindungan guru dalam Undang-Undang Guru dan Dosen dinilai belum memadai. Bahkan ada satu kabupaten yang mencatat 97 kasus kekerasan terhadap guru dalam satu tahun. Angka itu mencerminkan sebuah kondisi yang membuat saya terdiam: jika perlindungan itu benar ada, mengapa angka kasusnya tetap tinggi?

PGRI memang menyampaikan bahwa mereka telah menandatangani nota kesepahaman dengan Polri mengenai perlindungan profesi guru. Di atas kertas, kerja sama ini mencakup pendampingan hukum, pencegahan intimidasi, sampai penyelesaian kasus secara proporsional. Namun banyak guru di lapangan tidak mengetahui bagaimana prosedur meminta bantuan, kepada siapa melapor, atau seberapa cepat respons dapat diberikan. Saat seorang guru ditekan orang tua murid, ia tidak mungkin menunggu alur administrasi dari ranting ke cabang lalu ke provinsi. Ketika sebuah ancaman datang, bantuan seharusnya hadir seketika.

Kementerian Pendidikan pun pernah menyampaikan bahwa penyelesaian masalah di sekolah seharusnya dilakukan melalui pendekatan damai dan restoratif. Sebuah pemikiran yang terdengar indah, tetapi sayangnya tidak selalu menemukan jalannya di sekolah-sekolah kecil. Banyak sekolah tidak memiliki pedoman jelas tentang bagaimana menangani konflik, sehingga guru sering menjadi pihak yang paling mudah disalahkan.

Masalah perlindungan hukum ini juga bersinggungan dengan persoalan iuran. Banyak guru mengaku tidak pernah benar-benar merasakan manfaat iuran yang dipotong setiap bulan. Ada yang keberatan dengan kenaikan iuran yang tidak disosialisasikan. Ada pula yang merasa terbebani dengan biaya kartu anggota. Pertanyaan sederhana pun muncul: ke mana sebenarnya dana iuran itu kembali? Guru-guru honorer yang berjuang dengan gaji terbatas berhak mengetahui bahwa uang yang mereka serahkan tidak berhenti sebagai angka di laporan administrasi.

Di tengah situasi ini, PGRI sebenarnya memiliki modal kuat untuk menjadi organisasi yang benar-benar dekat dengan guru. Jaringannya luas, anggotanya banyak, dan legitimasi sejarahnya kuat. Tetapi struktur organisasi yang masih sangat vertikal, minimnya digitalisasi layanan, dan alur pendampingan yang berbelit membuat banyak guru merasa PGRI adalah rumah yang pintunya berat untuk diketuk. Guru-guru yang berada di daerah pinggiran atau sekolah kecil sering merasa sendirian –tak ada perwakilan yang datang, tak ada nomor yang bisa dihubungi, tak ada respons cepat saat mereka paling membutuhkan perlindungan.

Refleksi Hari Guru

Tema “Guru Hebat, Pendidikan Kuat, Indonesia Maju” yang diusung tahun ini memang penuh harapan. Namun tema itu mengandung ironi tersendiri. Kehebatan seorang guru tidak mungkin lahir jika ia terus-menerus dibayangi ketakutan. Pendidikan yang kuat tidak mungkin dibangun di atas pundak guru yang rapuh secara perlindungan. Dan Indonesia tidak akan maju jika gurunya harus menanggung beban moral, administratif, sosial, dan hukum –tanpa adanya sistem perlindungan yang memastikan mereka tidak berjalan sendirian.

PGRI perlu hadir dengan cara yang lebih jelas dan konkret. Guru memerlukan jalur bantuan yang cepat, mudah, dan tidak berlapis. Digitalisasi pengaduan, kanal resmi yang responsif, pendampingan yang tidak tergantung jarak, transparansi iuran, serta keberadaan kader atau tim hukum yang bisa diakses di tingkat kabupaten, adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang. Guru tidak membutuhkan janji besar; guru hanya membutuhkan kehadiran nyata.

Hari Guru seharusnya menjadi ruang refleksi untuk seluruh lapisan pendidikan. Perayaan dan seremoni hanya akan menjadi hiasan kosong jika kita tidak menengok persoalan inti: rasa aman. Guru hebat hanya bisa tumbuh jika ia bekerja dalam lingkungan yang melindunginya. Pendidikan kuat hanya bisa terwujud jika keberadaan guru dijaga secara sungguh-sungguh. Dan Indonesia maju hanya mungkin tercapai jika negara dan organisasi profesinya benar-benar berdiri bersama mereka yang setiap harinya berdiri di depan kelas.

Selamat Hari Guru. Semoga perlindungan bagi guru tidak lagi berhenti sebagai slogan tahunan, tetapi menjadi kenyataan yang hadir pada saat kami benar-benar membutuhkannya.

Rancabali, November 2025

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//