• Opini
  • Deepfake Gaji Guru Beban Negara: Bahasa Resmi vs Sentimen Masyarakat

Deepfake Gaji Guru Beban Negara: Bahasa Resmi vs Sentimen Masyarakat

Mengapa kata “beban” oleh pembuat video deepfake Sri Mulyani lebih dipercaya oleh publik daripada kata “tantangan” sebagai bahasa resmi pembuat kebijakan negara.

Mang Sawal

Kandidat Doktor Pascasarjana Fikom Unisba, tinggal di pinggiran Bandung, bisa ditengok di akun instagram @mang_sawal

Tangkapan layar Instagram Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah potongan video yang beredar yang menampilkan dirinya seolah-olah menyatakan guru sebagai beban negara. (Foto Sumber: Instagram @smindrawati)

25 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Tanggal 7 Agustus 2025, di depan Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung, Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati menyampaikan komunikasi publik terkait alokasi belanja untuk gaji dan tunjangan guru serta dosen yang saat itu masih dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Dalam kutipan resmi pidato yang disediakan Kementerian Keuangan, Sri Mulyani menyebut:

"Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, Oh, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?".

 

Komunikasi publik kebijakan strategis negara berupa kalimat singkat yang ambigu itu, akhirnya menjadi kontroversi, ketika sebuah video deepfake berdurasi tidak sampai 1 menit, beredar di media sosial, menampilkan yang tampak seperti potongan pidato Sri Mulyani yang menyebut “guru itu beban negara”. Untuk memperoleh kesan aktual dan faktual, Video deepfake itu diberi konteks acara di ITB. Video ini memicu kemarahan publik, karena pada saat yang bersamaan ada kontras antara keputusan untuk menaikkan take home pay anggota DPR dan sebutan “tantangan” fiskal untuk gaji guru dan dosen. Meskipun video tersebut dikonfirmasi sebagai manipulasi berbasis AI, diskusi tentang makna kata “tantangan” dan kecenderungan publik untuk menafsirkannya sebagai pengakuan atas “beban” gaji guru, tidak berhenti.

Pada saat itu, berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2026, total alokasi untuk DPR mencapai 9,9 triliun rupiah, naik drastis dari realisasi belanja DPR sebelumnya (pada 2024 mencapai 5,9 triliun rupiah). Salah satu komponen yang menuai kritik adalah tunjangan perumahan anggota DPR sebesar 50 juta rupiah per bulan untuk 580 anggota DPR selama lima tahun, mencapai 1,74 triliun rupiah. Dengan tunjangan ini, take home pay anggota DPR dilaporkan melebihi  100 juta rupiah per bulan, jauh di atas gaji rata-rata guru PNS (1,6 juta hingga 7,3 juta rupiah per bulan) atau penghasilan dosen yang menurut riset The Conversation Indonesia tahun 2023, hampir 50 persen di bawah 3 juta rupiah per bulan.

Dua pekan setelah kemarahan publik itu, pemerintah menetapkan anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2026 sebesar 757,8 triliun rupiah, meningkat 9,8 persen dari outlook anggaran tahun 2025 sebesar 690 triliun rupiah. Kenaikan ini disebut merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk menjaga alokasi 20 persen belanja negara untuk fungsi pendidikan sesuai amanat konstitusi. Dari laman Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR di Jakarta, Kamis 21 Agustus 2025, menyatakan, alokasi tersebut difokuskan pada tiga kelompok utama: siswa dan mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan, serta pengembangan sarana dan prasarana pendidikan. Sebanyak 401,5 triliun rupiah diarahkan kepada siswa dan mahasiswa, mencakup bantuan dan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan Bidikmisi sebesar 17,2 triliun rupiah untuk 1,2 juta mahasiswa, Program Indonesia Pintar (PIP) sebesar 15,5 triliun rupiah untuk 21,1 juta siswa SD hingga SMA, Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebesar 25 triliun rupiah untuk 4.000 mahasiswa, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar 223 triliun rupiah untuk 82,9 juta siswa.

Sementara alokasi anggaran untuk tenaga pendidik tahun 2026, juga meningkat signifikan menjadi 274,7 triliun rupiah. Alokasi ini meliputi Tunjangan Profesi Guru (TPG) Non-PNS sebesar 19,2 triliun rupiah bagi 754.747 guru, Tunjangan Profesi Dosen (TPD) Non-PNS sebesar 3,2 triliun rupiah untuk 80.325 dosen, TPG ASN Daerah sebesar 69 triliun rupiah untuk 1,6 juta guru, TPG PNS, TPD PNS, dan gaji pendidik sebesar 120,3 triliun rupiah.

Tidak diketahui apa yang menyebabkan kenaikan alokasi tenaga pendidik pada Agustus 2025, dari proyeksi sebelumnya yang dibahas bersama DPR Juli 2025. Apakah kemarahan publik telah menyebabkan perubahan kebijakan ini? Perlu riset mendalam tentang itu. Namun dalam tulisan ini, saya hanya ingin mengambil pelajaran dari aspek komunikasi publik kebijakan strategis negara yang mendatangkan kontroversi. Mengapa kata “beban” oleh pembuat video deepfake lebih dipercaya oleh publik daripada kata “tantangan” sebagai bahasa resmi pembuat kebijakan negara.

Baca Juga: Obligasi Kaum Cendikiawan
Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia
Raja Ampat dan Anatomi Komunikasi Krisis: Pertunjukan Dominasi Kekuasaan di Panggung Ruang Publik dengan Sutradara Tuan Kapital

Makna “Tantangan” dari Perspektif Fiskal Keuangan Negara

Dari perspektif fiskal, “tantangan” yang disebutkan Sri Mulyani merujuk pada kompleksitas mengelola anggaran negara untuk memenuhi kebutuhan strategis sambil menjaga stabilitas ekonomi. Alokasi untuk gaji dan tunjangan guru serta dosen menempati porsi signifikan dari anggaran pendidikan, yang harus diseimbangkan dengan program lain yang menjadi keinginan politik Presiden terpilih yaitu Makan Bergizi Gratis serta mandat konstitusi dalam anggaran kesehatan. Tantangan ini mencakup menjaga defisit anggaran pada level 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), memastikan distribusi dana melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) ke daerah berjalan lancar, dan menghindari inefisiensi dalam pengelolaan anggaran.

Dalam wacana ekonomi, istilah ekonomi makro yang digunakan dalam konteks kebijakan publik, sering kali dipengaruhi oleh agenda politik alias bias politik. Dalam paragraf di atas, ada istilah “defisit” anggaran sekian persen dari PDB, distribusi DAK “lancar”, dan “inefisiensi” pengelolaan anggaran. Pemerintah atau otoritas moneter cenderung memilih istilah yang terdengar optimistis untuk menenangkan pasar atau masyarakat, sekaligus memelihara legitimasi. Contoh lain, istilah "efisiensi anggaran" digunakan untuk merujuk pada perombakan yang menyakitkan seperti pemotongan anggaran, tetapi dengan nada yang lebih netral atau positif untuk membingungkan dan mengurangi penentangan publik. Otoritas keuangan tidak menggunakan “pemangkasan anggaran”. Padahal kebijakan itu berdampak domino di kemudian hari, seperti naiknya Pajak Bumi Bangunan di kota kabupaten dan memicu aksi demo rakyat.

Penggunaan istilah “pertumbuhan ekonomi” meski di Indonesia kerap diikuti kata “negatif”, masih terdengar optimistis karena ada kata “tumbuh”. Di masa krisis, pemerintah, bank sentral, atau laporan lembaga internasional seperti IMF terkait ekonomi Indonesia, memakai istilah "tantangan fiskal" untuk merujuk pada masalah keuangan yang kompleks, ketika suatu negara menghadapi defisit anggaran yang besar. Penggunaan istilah ini dapat mencerminkan upaya untuk mempertahankan kepercayaan investor atau masyarakat, sehingga memberikan nada yang lebih optimistis dibandingkan realitas yang mungkin lebih sulit. Frasa "tantangan fiskal" menggunakan kata "tantangan" yang secara linguistik menyiratkan sesuatu yang dapat diatasi dengan usaha atau strategi yang tepat. Berbeda dengan istilah "krisis fiskal" atau "kegagalan fiskal," yang lebih mudah menggambarkan realitas sebenarnya, namun memiliki konotasi lebih negatif. "Tantangan" cenderung memberikan kesan bahwa otoritas memiliki kendali.

Seperti kata teori semiotika Ferdinand de Saussure dalam buku Course in General Linguistics (1916), dalam berkomunikasi, manusia memilih-milih kata secara arbitrer untuk mempermudah pembentukan makna, yang diakhiri dengan pemahaman. Misalnya, kata “Meja”, bagi orang berbahasa Indonesia, terdiri dari rangkaian huruf “m-e-j-a” dan rangkaian bunyi “mɛja” untuk menunjuk “benda datar berkaki yang digunakan untuk meletakkan barang”. Tidak ada alasan intrinsik mengapa bunyi “mɛja” atau tulisan "meja" merujuk pada benda berkaki untuk meletakkan barang. Bisa saja dikaitkan dengan pola pembentukan kata bahasa Indonesia yang mengadaptasi (mengambil lalu mengubah) kata dari bahasa lain, dalam contoh ini, kata “mesa” dari bahasa Portugal diadaptasi menjadi “meja”. Sifat arbitrer ini pula, yang menghasilkan perbedaan kata dalam sistem bahasa yang berbeda, karena dalam bahasa Inggris, benda yang sama disebut "table," dalam bahasa Jerman "tisch", dalam bahasa Samoa “laulau”. Makna "meja" hanya ada berdasarkan kesepakatan komunitas penutur bahasa Indonesia.

Bahasa adalah produk sosial dari tindakan komunikasi pada komunitas penutur bahasa itu. Sebagai produk sosial, kata-kata memiliki makna langsung seperti yang tertulis atau terdengar, tetapi juga makna tersembunyi yang terikat konteks waktu, ruang, dan situasi. Atau sebaliknya, benda yang disebut “meja” juga dapat digunakan untuk membentuk makna tertentu, yang juga terikat konteks waktu, ruang dan situasi. Itu sebabnya, teori Saussure lebih memusatkan perhatiannya pada sistem bahasa kolektif yang dimiliki bersama oleh komunitas penutur bahasa (langue) daripada penggunaan bahasa oleh individu-individu (parole). Contohnya "meja" : dalam konsep langue, "meja" adalah bagian dari sistem bahasa Indonesia yang dipahami secara kolektif sebagai tanda untuk benda tertentu. Dalam parole, seseorang mungkin menggunakan "meja" dalam konteks spesifik, misalnya, kata “meja cantik”, atau meletakkan meja kaca di tengah ruang tamu untuk memberi kesan terbuka dan luas. Atau menggunakan meja besar dari kayu tebal untuk menunjukkan kedudukan sosial seorang raja atau bos sebagai komunikasi non-verbal.

Analisis Semiotika Saussure: “Tantangan” versus “Beban”

Saussure menekankan bahwa bahasa harus dipelajari sebagai sistem yang berfungsi pada satu titik waktu (sinkronis), pada saat itu dipakai, bukan hanya sebagai perkembangan historis (diakronis) seperti asal usul kata atau apa arti kamusnya. Karena, makna yang dihasilkan dari bahasa dibentuk dengan kaitan (relasi) sintagmatik antarkata yang digunakan. Misalnya, “meja itu tidak cukup kuat untuk menahan beban tumpukan buku itu”. Secara sintagmatik meja dimaknai sebagai benda yang lemah, tidak kuat. Namun makna juga bisa memiliki kaitan (relasi) paradigmatik, yaitu ketika pemahaman yang sama dibentuk dengan mengganti kata tertentu. Misalnya, “meja” diganti dengan “kursi”, atau bahkan “anak”. Meski maknanya berubah, namun pemahaman kita tetap sama, yaitu benda-benda itu “tidak kuat menahan beban tumpukan buku itu”.

Menggunakan kerangka semiotika Saussure, khususnya konsep  langue  dan  parole, serta relasi sintagmatik dan paradigmatik, kita dapat menganalisis pemilihan kata “tantangan” oleh Sri Mulyani, penafsirannya sebagai “beban” dalam video deepfake, dan kecenderungan publik untuk mengaitkannya dengan prioritas anggaran untuk anggota DPR.

Dalam  langue  wacana keuangan negara, “tantangan” (signifier) merujuk pada konsep (signified) situasi yang memerlukan solusi strategis, seperti pengelolaan anggaran yang besar untuk mencapai tujuan pembangunan. Kata ini memiliki konotasi positif, menunjukkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen sebagai investasi jangka panjang. Sebaliknya, “beban” dalam langue yang sama berkonotasi negatif, mengacu pada pengeluaran yang dianggap tidak produktif atau membebani keuangan negara. Dalam konteks ini, alokasi 274,7 triliun rupiah untuk 2,2 juta guru dan dosen dianggap sebagai investasi, sedangkan tunjangan perumahan DPR 1,74 triliun rupiah untuk 580 anggota sering dikritik sebagai “beban” karena dianggap tidak sebanding dengan kinerjanya.

Dalam parole, kata “tantangan” dipilih untuk menyampaikan optimisme dan tanggung jawab fiskal. Penggunaan kata ini juga digunakan dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR, menunjukkan upaya untuk merangkul pemangku kepentingan dengan narasi positif, bahwa anggaran pendidikan adalah prioritas, meskipun menimbulkan tekanan fiskal. Parole ini kontras dengan video deepfake yang memasukkan kata “beban,” yang mengubah makna secara drastis dan memicu kemarahan publik, terutama karena pada garis waktu yang sama, muncul wacana tunjangan perumahan anggota DPR sebesar 50 juta rupiah per bulan, dibandingkan gaji guru yang tidak mencukupi untuk seluruh kebutuhan keluarga sebulan.

Dalam pidato lengkapnya, kata “tantangan” muncul dalam rangkaian kalimat yang membahas alokasi anggaran pendidikan, keseimbangan fiskal, dan amanat konstitusi. Secara sintagmatik, “tantangan” diperkuat oleh konteks positif tentang investasi pendidikan, bukan pengeluaran sia-sia. Sebaliknya, dalam video deepfake, kata “beban” ditempatkan dalam konteks yang memutus hubungan sintagmatik dengan narasi positif, menciptakan persepsi negatif bahwa guru dianggap membebani APBN.

Dalam sistem bahasa Indonesia, “tantangan” bisa digantikan oleh kata lain seperti “kendala” atau “beban” dalam konteks tertentu. Namun, “beban” tidak sesuai dengan langue wacana resmi keuangan negara, karena bertentangan dengan nilai tanda yang ingin disampaikan pemerintah. Sebaliknya, publik cenderung menafsirkan “tantangan” sebagai pengakuan terselubung atas “beban” karena kontras antara alokasi besar untuk DPR dan gaji guru yang relatif kecil. Kecenderungan ini diperparah oleh persepsi bahwa pemerintah lebih responsif terhadap keinginan DPR untuk menambah tunjangan baru daripada menaikkan gaji guru dan dosen, yang masih jauh dari kata sejahtera. Kesenjangan ini menciptakan narasi bahwa pemerintah lebih memprioritaskan kenyamanan anggota DPR daripada kesejahteraan guru dan dosen, sehingga kata “tantangan” dianggap eufemisme untuk menyamarkan tekanan fiskal yang sebenarnya, alias “beban”.

Penutup

Pemilihan kata “tantangan” oleh Sri Mulyani sudah mencerminkan strategi komunikasi publik yang hati-hati untuk menyeimbangkan realitas fiskal dengan narasi positif tentang investasi pendidikan. Namun, adanya kontras dengan tunjangan DPR yang memicu persepsi ketidakadilan. Video deepfake memperburuk situasi dengan memanipulasi signifier untuk menciptakan narasi negatif. Kecenderungan publik untuk menafsirkan “tantangan” sebagai “beban” mencerminkan adanya ketidakpuasan terhadap prioritas anggaran dan kurangnya transparansi dalam komunikasi kebijakan. Habermas (The Theory of Communicative Action,1984) menyebut transparansi dan partisipasi bermakna atau komunikasi deliberatif, dapat membangun konsensus dalam kebijakan publik.

Komunikasi publik yang bersifat spontan dan sepenggal, harus diikuti penyampaian tentang tersedianya data tentang kebijakan secara terbuka dan mudah diakses, dengan konteks yang jelas untuk menghindari penafsiran ambigu. Juru bicara pemerintah harus lebih sensitif dalam memilih istilah dalam komunikasi publik, menghindari kata-kata yang rentan disalahartikan seperti “tantangan” jika konteksnya tidak dijelaskan dengan baik. Alternatifnya, gunakan istilah seperti “investasi pendidikan” untuk memperkuat narasi positif. Pelatihan komunikasi publik bagi pejabat juga diperlukan untuk memahami relasi sintagmatik dan paradigmatik dalam wacana publik. Teori semiotika Saussure (1916) menegaskan bahwa makna tanda bergantung pada konteks dan relasi dalam sistem bahasa, sehingga pemilihan istilah yang tepat, sangat krusial dalam komunikasi publik kebijakan strategis.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//