• Kolom
  • Obligasi Kaum Cendikiawan

Obligasi Kaum Cendikiawan

Orang-orang di institusi ilmu pengetahuan mesti menyuarakan kebenaran meski bertentangan dengan kekuasaan sekalipun. Cendikiawan tidak diam di menara gading.

Mang Sawal

Kandidat Doktor Pascasarjana Fikom Unisba, tinggal di pinggiran Bandung, bisa ditengok di akun instagram @mang_sawal

Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

11 Maret 2025


BandungBergerak.id - Sebagian warga negara Indonesia tentu pernah mendengar nama dokter Terawan sebagai menteri kesehatan pada saat awal pandemi covid19 menyerang Indonesia. Nama lengkapnya Letnan Jenderal TNI (purn.) Prof. Dr. Dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(k). Nama dokter Terawan menjadi sorotan publik karena bersikap meremehkan di awal kemunculan wabah Covid-19 di Indonesia. Tidak lama kemudian ia masuk daftar reshuffle kabinet. 

Sebelum menjadi menteri, Terawan sudah mendatangkan kontroversi seputar pemecatan dirinya sebagai dokter oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan tuduhan melakukan pelanggaran kode etik berat pada Februari 2018. Dokter Terawan dinilai telah menerapkan sebuah metode terapi medis tanpa melalui tahapan yang diatur negara. Metode yang disebut Terawan sebagai “cuci otak” itu adalah terapi terhadap penderita stroke atau gangguan pembuluh darah di kepala, menggunakan gabungan teknik radiologi yang disebut Digital Substraction Angiography (DSA) dengan terapi injeksi heparin ke pembuluh darah yang bermasalah. Untuk mempraktikkan terapi ini, dokter Terawan memakai 2 lantai Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta dan menyediakan 35 tempat tidur dengan tarif layanan minimal 30 juta rupiah per pasien [Kumparan, diakses 15 Oktober 2023)].

Nasib agak mirip dialami seorang akademisi ahli elektro terapan Dr. Warsito Purwo Taruno, M.Eng. Lulusan Universitas Shizuoka Jepang, yang mengembangkan terapi listrik untuk pasien kanker sejak 2004. Metode pengobatan kanker yang memanfaatkan medan listrik dengan sebutan Electro-Capacitive Cancer Therapy (UCCT) dinyatakan oleh Kementerian Keseharan RI tidak boleh digunakan karena tidak terbukti aman dan efisien. Klinik Warsito yang disebut klinik rompi antikanker ditutup oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan pada tahun 2016 atas dasar keputusan kementerian tersebut [Tempo, diakses 15 Oktober 2023].

Selain rompi, Warsito juga mengembangkan helm antikanker. Pada tahun 2019, metode ini disebut sebagai terobosan dan aman serta efektif ketika diterapkan pada kultur sel oleh seorang peneliti dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dalam disertasi doktoral ilmu fisika mediknya [ITS, diakses 15 Oktober 2023)]. Namun hingga tulisan ini dibuat, klinik Dr. Warsito Purwo Taruno M.Eng. secara resmi belum dibuka kembali. Meski dari situs web yang dikelola Dr. Warsito, yaitu ctech labs, dapat ditemukan sejumlah percakapan antara warga yang berkonsultasi mengenai terapi kanker payudara dengan admin pengelola web yang mempersilakan warga datang ke lab di Tangerang Selatan. Dari situs web itu pula ditemukan dokumentasi kegiatan rapat evaluasi uji coba ECCT terhadap hewan mencit bersama Kementerian Ristekdikti dan UGM bertanggal 13 februari 2023. Hasil uji coba itu disebut aman dan efisien untuk hewan percobaan. Rapat evaluasi terhadap hasil uji ecct 2016-2019 [c-techlabs.com, diakses 15 Oktober 2023].

Melompat setengah milenium ke belakang, ke daratan Eropa pada abad ke-16, seorang ahli fisika, matematika, astronomi, dan filsuf, Galileo Galilei, pun mengalami hal yang serupa. Ketika ia mulai mempublikasikan teorinya yang mendukung teori Copernicus, bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta melainkan hanya sebuah planet yang mengitari matahari, ia mulai dirundung. Pandangan itu bertentangan dengan pandangan lembaga kekuasaan negara saat itu, yaitu gereja, sehingga ia harus menjalani hukuman pengucilan (tahanan rumah) pada tahun 1637 sampai akhir hayatnya di tahun 1642 (Encyclopedia Britannica,1922). Sebelum mempublikasikan teori yang menentang kepercayaan utama saat itu, Galileo mengemukakan banyak teori baru di bidang matematika, fisika, kedokteran, dan filsafat.

Galileo meyakini bahwa bumi adalah planet yang mengitari matahari, setelah ia dapat mengembangkan alat yang kemudian disebut teleskop, dari alat kedokteran yang disebut mikroskop. Melalui teleskop, Galileo dapat melihat dengan jelas permukaan bulan, satelit bumi, yang saat itu dipercaya memiliki permukaan halus bulat, namun ternyata penuh lubang kawah. Dari teleskop itu pula Galileo dapat melihat satelit planet Jupiter dan cincin planet Saturnus. Sebelum menemukan fakta tentang permukaan bulan, dan melihat hingga sejauh planet Saturnus, Galileo bereksperimen terlebih dahulu dengan cahaya, lensa, dan mikroskop untuk mengembangkan teleskop refraksi (Britannica Concise Encyclopedia, 2006). Namun secanggih apa pun metode dan sekokoh apa pun teorinya, kebenaran pada saat itu ditentukan oleh otoritas agama, yaitu gereja.

Sejarah Otoritas Pengetahuan

Dalam sejarah, sikap manusia terhadap pengetahuan baru cenderung formalistik.  Pengetahuan baru harus melalui sejumlah tahap yang ditetapkan oleh lembaga ilmu pengetahuan pemegang mandat untuk menetapkan dan memberikan rekomendasi terhadap pengetahuan baru itu. Di abad pertengahan, millenium pertama, mandat tersebut dipegang oleh lembaga keagamaan. Pada abad milenium kedua ini, mandat tersebut dikuasai lembaga negara. Prinsip “jika nampak, maka itu benar”, tidak serta merta menjadi pengetahuan dan dapat diterapkan, tanpa izin lembaga pemegang kekuasaan atas apa yang dapat disebut sebagai pengetahuan. 

Apa yang terjadi dengan dokter Terawan dan Doktor Warsito adalah contoh pergulatan otoritas pengetahuan ketika seseorang menganggap dirinya menemukan pengetahuan baru kemudian berusaha meyakinkan orang lain tentang pengetahuannya itu. Ada relasi kuasa antara penemu pengetahuan baru dan pemeriksa pengetahuan itu. Juga ketika seorang perempuan ahli fisika dan kimia bernama Marie Curie, berusaha meyakinkan dewan guru besar di Paris Perancis, yang seluruhnya laki-laki, untuk menerima teorinya tentang unsur kimia baru bernama polonium dan kemudian radium. Otoritas pengetahuan pun dapat berselingkuh dengan ideologi patriarki, sehingga perempuan tidak mungkin membuat pengetahuan baru. Sejarah ini dapat dilihat dalam film produksi MGM berjudul “Madamme Curie” yang dibuat pada tahun 1943, beberapa tahun setelah wafatnya Marie Curie. Film yang kemudian di-remake oleh Amazon Film dengan judul “Radioactive” dan tayang di bioskop pada tahun 2020 [imdb, diakses 15 Oktober 2023].

Kontradiksi tidak terjadi ketika tidak ada yang mempertanyakan “jurnal mana dan terakreditasi apa” saat Plato dan Aristoteles menuliskan teori-teorinya. Kita harus mempercayai kata-kata mereka, seperti halnya ethos-pathos-logos dalam buku Rhetoric-nya Aristoteles, atau percaya saja penyataan Plato dalam manuskripnya Republic tentang “seorang raja haruslah seorang filsuf”. Tidak ada yang mencibirnya karena tidak jelas metode sampling dan uji validitas datanya, sebelum menyimpulkan hal itu. Kita cukup mengagumi cara kedua filsuf itu berargumentasi tanpa perlu memeriksa linearitas sekolah dan bidang keahlian mereka, serta scopus indexnya.

Ketika otoritas pengetahuan berada di bawah kendali otoritas keagamaan seperti yang dihadapi Galileo Galilei di abad pertengahan, maka tafsir ahli agama, menjadi sumber otoritas utama dalam memahami dunia. Pada saat itu justru disebut zaman kegelapan. Jauh sebelum abad pertengahan, di zaman Yunani Kuno, universitas sebagai otoritas pengetahuan sudah berkembang hingga era romawi. Pada era kekhalifahan Islam, majelis ilmu yang berbasis masjid kemudian berkembang menjadi madrasah dan akademi, sempat menjadi otoritas pengetahuan, di mana ilmu diklasifikasikan, didiversifikasi, dan para ahli (alim) memperoleh ijazah, sebelum zaman kegelapan tiba (Makdisi, 1981).

Kemudian muncul perubahan sosial di Eropa yang disebut dengan Pencerahan, renaissance, di mana otoritas pengetahuan mulai beralih dari otoritas keagamaan ke otoritas ilmiah yang bertumpu pada pengetahuan yang bersumber dari diri sendiri dan metode yang terukur. Selanjutnya di abad ke-19, revolusi industri menghadirkan lebih banyak penemuan teknologi mesin, termasuk mesin cetak kertas yang memungkinkan penyebaran pengetahuan dalam skala yang lebih luas. Pada saat itu, ensiklopedia memainkan peran penting dalam menghadirkan sumber pengetahuan yang terjangkau oleh banyak orang. Memasuki abad ke-20 metode ilmiah berkembang lebih canggih, dan institusi akademik semakin memainkan peran penting dalam mengukuhkan otoritas pengetahuan. Referensi ilmiah, jurnal akademik, dan lembaga penelitian menjadi sumber otoritas utama dalam banyak disiplin ilmu [Riiegg dan Ridder-Symoens, 2003].

Pada zaman Yunani Kuno, produksi dan penyebaran pengetahuan dilakukan secara sistematik melalui lembaga sosial yang disebut universitas. Kata universitas berasal dari bahasa latin “universitas magistrorum et scholarium”, yang berarti "komunitas guru dan akademisi". Universitas juga sudah ada lama di Asia dan Afrika (Makdisi, 1981), sementara sistem universitas modern berakar pada universitas abad pertengahan di Eropa yang didirikan di Italia dan pada dasarnya berakar pada sekolah Kristen untuk pendeta [Haskins, 1898].

Sementara di Indonesia, secara tradisional masyarakat berguru kepada “orang pintar”. Dalam sejumlah artefak naskah kuno, orang pintar itu disebut “Mpu”. Mereka memproduksi sejumlah catatan pengetahuan dan mendapat kepercayaan untuk “menyebarkan” kepintarannya kepada sejumlah murid. Pengetahuan mereka produksi berdasarkan intuisi, koleksi kisah leluhur, bahkan bisikan dewa yang disebut wangsit [Bahtiar dalam Mahasin dan Natsir, 1984].

Cara Manusia Menemukan Kebenaran

Sepanjang sejarahnya, manusia terus mengembangkan metode untuk menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Positivisme dikritik interpretivisme kemudian keduanya dikritik postmodernisme. Ada kritik yang menolak seluruhnya, ada yang membantah dan memperbaiki sebagian, ada yang berusaha memadukannya menjadi metode campuran. Metode ini disebut sebagai “cahaya di cakrawala ilmu sosial” [Cresswel, 2020].

Tidak banyak yang menyadari dampak jangka panjang ketika merayakan terbebasnya akal manusia dari dogma dan doktrin selama zaman kegelapan, bahkan untuk selebrasi kebebasan tersebut, disematkan label “masa pencerahan”. Masa pencerahan memang mendatangkan optimisme dan mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan serta semangat eksplorasi dan menguatnya otoritas akademisi serta teknokrat dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Namun beberapa abad kemudian barulah disadari, paradigma positivistik yang diagungkan oleh generasi masa pencerahan menyebabkan materialisme, egoisme, akibat penyembahan berlebih pada logika deduktif dan rasionalitas mutlak. Eksplorasi memang memajukan ekonomi tetapi sekaligus eksploitasi. Modernitas, akibat berkembang pesatnya ilmu dan teknologi, malah menempatkan manusia di ujung rantai makanan sebagai apex predator. Tidak ada lagi pemangsa manusia selagi ia hidup, selain manusia itu sendiri. Manusia menjadi satu-satunya yang dilayani oleh semesta. Kemudian terbentuklah hirarki akibat situasi itu. Yang sesuai dengan keinginan manusia disebut moderen, adi luhung, yang lain disebut primitif. Dalam dunia akademik, hirarki itu juga muncul, teori-teori besar, disebut grand theory dan sudah pasti ilmiah, yang bukan disebut teori lain-lain dan labelnya “pseudo ilmiah” [Azmi, 2013]. Cara rasional lebih ilmiah dibanding cara lain.

Akademisi menjadi bangsawan modern, menggantikan posisi raja-raja dan begawan. Seolah pengetahuan yang dihasilkannya tak terbantahkan, apalagi oleh kaum awam. Tom Nichols (2017) menyebut, sikap pongah para akademisi yang membangun jarak dengan kaum awam, pernah mendapat perlawanan bahkan dari seorang anak kecil yang membantah pernyataan seorang Profesor. Julian Benda (1927) menyebut sikap itu sebagai pengkhianatan kaum intelektual yang berakar dari cara berpikir objektif dan bebas nilai. Ilmu dikembangkan hanya untuk ilmu itu sendiri. Terinsipirasi oleh ideologi Benda, Moh. Hatta (1957) dalam pidatonya di peringatan Hari Alumni pertama Universitas Indonesia 11 Juni 1957 mengatakan:

“dengarkanlah jeritan Albert Einstein dalam bukunya Out of My Later Years. .. pikiran rasional saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kita. .. Pada suatu pihak ia menghasilkan pendapatan-pendapatan yang memerdekakan manusia dari pekerjaan badaniah yang berat, membuat penghidupan lebih mudah dan lebih kaya. Tetapi sebaliknya ia membawa kegelisahan besar ke dalam penghidupan, menjadikan orang budak dari lingkungan teknologinya dan lebih mencelakakan lagi dari gejala-gejalanya, membuat alat untuk memusnahkan sesama manusia secara besar-besaran”.

Menurut Hatta, pengetahuan harusnya berfungsi untuk membebaskan manusia, meningkatkan kemanusiaan dan itulah pula tugas kaum cendikiawan (akademisi). Bukan malah sibuk cari proyek dan bungkam terhadap ketidakadilan, kebohongan, keculasan kekuasaan. 

Baca Juga:Potret Model Bisnis Radio Swasta di Wilayah Bukan Perkotaan
Anak Keluarga Artis Rentan Jadi Korban Perundungan
Pagebluk Covid-19 dan Tugas Jurnalistik (2)

Cendikiawan di Menara Gading 

Bagi awam, dunia akademis bak dunia yang berada pada dimensi lain. Tak dipahami dan tak nampak. Kalaupun nampak, ia seperti bersembunyi di balik perhiasan gading, seperti yang disitir seorang sastrawan Prancis pertengahan abad ke-19, Victor Hugo dalam puisinya, Les Contemplations (1859) seabad setelah revolusi Prancis. Sebuah analogi untuk menggambarkan situasi di mana pada pemikir, pemimpin, kaum bangsawan, kaum elite, yang tidak peduli dengan kondisi rakyat jelata. Mereka seperti hidup dalam dunia mereka sendiri, terisolasi dari kenyataan kemiskinan akut dan wabah penyakit. Seperti diketahui, dalam konteks waktu, pada saat itu, gading gajah yang putih dan kuat, memiliki atribusi sosial sebagai perhiasan mewah, berbeda dengan nilai zaman sekarang ketika orang yang memiliki koleksi gading gajah malah merasa kuatir ditangkap polisi. Sementara di zaman itu, bentuk bangunan kaum bangsawan, ningrat serta sekolah-sekolah terkenal di Eropa, biasanya berupa kastil dengan menara-menara. Maka muncullah istilah menara gading, tempat bersembunyinya para intelektual di tengah kemewahan, menghasilkan pengetahuan yang tak menjawab persoalan rakyat jelata.

Ilmu pengetahuan sejatinya adalah alat untuk memahami dunia dan menjalankan tugas sebagai manusia di muka bumi. Namun nyatanya, hingga kini, masih digunakan sebagai alat kekuasaan. Alat penindasan. Bukan pembebasan. Bahkan di ruang-ruang kelas. Cara berpikir diseragamkan dan kebenaran mutlak digeneralisasi. Melawan hirarki tersebut menjadi tindakan negatif. Pemikiran alternatif menjadi disiden. Moh. Hatta mengingatkan, kaum cendikiawan memiliki kewajiban moral untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan bangsa, dan membangun peradaban. Jangan menjadi pengkhianat bangsa. Jika memiliki kuasa, hendaknya ia melayani, meski mereka bukan kelompok kebanyakan. Jika ia menjadi rakyat, hendaknya tidak ragu menyampaikan kebenaran, meski kebenaran tidak selalu berarti semua orang setuju atau berlawanan dengan kekuasaan. Waktu itu, Hatta kemungkinan belum mengenal potensi ekonomi tambang yang amat besar di Indonesia.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain dari Mang Sawal, atau artikel lain tentang ilmu pengetahuan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//