• Kolom
  • Pagebluk Covid-19 dan Tugas Jurnalistik (2)

Pagebluk Covid-19 dan Tugas Jurnalistik (2)

Di masa pageblug, tekanan ekonomi telah melemahkan kemampuan media untuk menjalankan sejumlah fungsinya.

Mang Sawal

Warga desa di pinggiran Kota Bandung, bisa ditengok di akun instagram @mang_sawal

Seorang warga membaca koran di Cikapundung Riverspot, Bandung, Rabu (28/4/20201) siang. Sama seperti ruang-ruang publik lain, Cikapundung Riverspot juga dibatasi aksesnya selama pandemi Covid-19. (Foto: Virliya Putricantika)

18 Mei 2021


BandungBergerak.id - Indonesia mencatat kasus Corona pertama pada 2 Maret 2020. Pada saat itu, sejumlah negara tetangga sudah lebih dahulu mencatat ada kasus infeksi di negara masing-masing. Misalnya, Singapura 108 kasus dengan 0 kematian, Malaysia 29 kasus, 0 kematian, Thailand 43 kasus infeksi, 1 kematian. Sementara korban pertama yang wafat terkait dengan Covid-19 di Indonesia baru tercatat 11 Maret 2020. Seorang pasien COVID-19 berusia 53 tahun (warga negara asing) yang diidentifikasi sebagai “Kasus nomor 25” meninggal setelah hampir tiga hari menerima perawatan.

Selanjutnya, Indonesia terus mencatat lonjakan kasus. Di garda depan pageblug Covid-19, tenaga kesehatan yang setiap hari aktif berinteraksi dengan pasien Covid-19 mulai juga menjadi korban meski telah diproteksi dengan berbagai alat perlindungan diri (APD). Jumlah kematian tenaga kesehatan di Indonesia akibat infeksi Covid-19 per tanggal 27 Januari 2021 mencapai 647 nakes. Menurut data Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), jumlah itu terdiri dari 289 dokter, 27 dokter gigi, 221 perawat, 84 bidan, 11 apoteker, serta 15 tenaga laboratorium medik.

Jurnalis, sebagai pekerja media yang aktif setiap hari berinteraksi di lapangan mengumpulkan catatan peristiwa, juga mengalami risiko yang sama. Bedanya, para tenaga kesehatan diproteksi sedemikian rupa dengan APD, jurnalis tidak sama sekali. Narasumber tidak memberlakukan protokol kesehatan yang ketat saat berinteraksi dengan wartawan dan redaksi pun tidak membuat pedoman peliputan khusus di masa pageblug. Beberapa kali AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia mengecam tindakan lembaga negara yang menggelar konferensi pers tanpa protokol kesehatan ketat dan mengabaikan risiko kesehatan pada jurnalis yang bertugas di lapangan. AJI Indonesia bahkan menerbitkan pedoman peliputan di tengah pageblug Covid-19 yang dapat diunduh di website mereka karena banyak perusahaan media abai.

Berdasarkan rekapitulasi AJI Indonesia antara 27 Maret hingga 27 Juli 2020, jumlah pekerja media yang dinyatakan positif Covid-19 mencapai 74 orang dan 4 di antaranya meninggal dunia. Dua korban meninggal di antaranya adalah pegawai di Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (TVRI) Jawa Timur. Temuan ini memaksa TVRI Jawa Timur menutup total kantor antara 13 Juli 2020 hingga 12 Juli 2020.

Kasus TVRI Jawa Timur adalah salah satu saja klaster media selama pageblug. Klaster media yang lain adalah klaster SCTV. Sebanyak 13 kerabat kerja salah satu unit usaha SCTV, Indonesia Entertainmen Grup, dinyatakan positif Covid-19 setelah uji cepat (rapid) dan uji usap (swab) pada September 2020.

Secara umum, pageblug Covid-19 menekan pekerja pers pada dua aspek. Mengutip riset AJI Indonesia bersama International Federation Journalists (IFJ) yang berlangsung pada November 2020, pageblug berdampak pada aspek kesehatan dan aspek ekonomi. Selain  tidak ada standard protokol liputan, perusahaan media juga tidak menyediakan alat perlindungan diri untuk jurnalis lapangan. Pada saat yang sama terjadi pengurangan honor, pemotongan gaji, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), perumahan karyawan akibat terus memburuknya kondisi industri media.

Keputusan untuk mengurangi kegiatan liputan lapangan, dibenarkan Pemimpin Redaksi CNN Indonesia, Trans TV dan Trans 7, Titin Rosmasari dalam diskusi virtual Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) pada 28 Mei 2020. Merebaknya wabah Covid-19 membuat media harus beradaptasi dengan mengurangi liputan ke lapangan dan lebih banyak menggunakan teknologi informasi untuk mendapatkan materi berita maupun koordinasi kerja. Jurnalis cukup melaporkan dari kamarnya, dari depan rumahnya, hanya mengikuti virtual press conference. Program acara pun diproduksi secara virtual, dengan melakukan wawancara online.

Pada acara yang sama Agus Sudibyo dari Dewan Pers menyebut, berdasarkan data PRSSNI yang mencakup 600 perusahaan radio di Indonesia, 60 persen radio mengurangi jam siaran dan kehilangan kegiatan off air karena kegiatan mengumpulkan massa dilarang selama pageblug. Akibatnya, untuk mengurangi biaya, 30 persen perusahaan radio swasta melakukan pemotongan gaji dan hampir semua mengurangi daya pancar serta menunda investasi. Piutang membengkak karena biaya pemasangan iklan yang sudah jatuh tempo pada masa pageblug tidak dapat ditagih karena klien-nya tutup.

Media daring ternyata tidak bernasib lebih baik. Survei yang dilakukan Asosiasi Media Siber Indonesi (AMSI) terhadap para anggotanya memperlihatkan hampir 80 persen media menghentikan rencana rekrutmen tenaga baru redaksi.

Baca Juga: Pagebluk Covid-19 dan Tugas Jurnalistik (1)

Antara Tugas dan Kenyataan

Kovach dan Rosenstiel (2011) menyebut ada 8 tugas jurnalis di era meluapnya informasi saat ini. Di antaranya, jurnalis berperan sebagai authenticator informasi sehingga warga hanya menerima informasi yang telah terverifikasi, melalui proses pemeriksaan berulang-ulang. Kenyataan di tengah pageblug, sumber daya jurnalis menjadi sedikit berkurang potensinya akibat berkurangnya narasumber yang dapat didatangi secara door to door atau door stop oleh wartawan. Berkurang pula kemampuan jurnalis mengamati komunikasi non-verbal narasumber sebagai alat periksa integritas informasi karena wawancara melulu melalui teknologi komunikasi.

Peran berikutnya sebagai sense maker, yaitu menjadikan peristiwa-peristiwa yang nampak terpisah-pisah atau nampak tak terkait menjadi sebuah gambar besar yang utuh dan mudah dipahami, menjadikan narasi yang rumit menjadi mudah dimengerti, atau membuat informasi yang tidak masuk akal dapat dikenali.

Dalam kenyataan, meski hoax membanjiri kanal informasi warga, peran ini tidak terlalu terkendala oleh pageblug karena jurnalis masih dapat mengikuti sejumlah peristiwa terencana seperti konferensi pers secara daring atau memperoleh informasi tentang peristiwa tak terencana dari media sosial atau aplikasi berbagi pesan semacam Whatsapp, kemudian mengkonfirmasi melalui teknologi komunikasi pula. Dalam hal ini aktivitas jurnalisme warga amat membantu memberi tip, informasi awal, mengenai adanya sebuah peristiwa yang sedang atau baru saja terjadi.

Peran berikutnya sebagai investigator, dalam arti bukan sebagai polisi penyelidik, melainkan disiplinnya sama dengan penyelidikan polisi dalam menelisik sebuah peristiwa. Jurnalis tidak hanya melaporkan apa yang nampak, melainkan juga konteks serta peristiwa yang tidak kasat mata. Terutama di antaranya mengawasi penggunaan kekuasaan negara. Di Indonesia, tugas ini amat jarang memperoleh tempat di media massa. Hanya sedikit media massa yang memberi ruang untuk karya jurnalistik investigatif, apalagi di masa pageblug ketika perjalanan dan kontak fisik amat dibatasi.

Peran yang paling mendapat tantangan di masa pageblug adalah sebagai witness bearer. Karena pergerakan fisik jurnalis dibatasi atau membatasi diri, karya jurnalistik menjadi dikerjakan seadanya dan secara moral menjadi sulit digunakan sebagai perangkat untuk menilai sebuah peristiwa benar atau salah. Terutama karena tekanan ekonomi terhadap perusahaan media, redaksi diberi beban pula sebagai sarana memperoleh pembiayaan. Seperti terungkap dari pernyataan seorang pimpinan redaksi televisi nasional tentang adanya program siaran informasi yang dibiayai klien.

Begitu pula peran sebagai empowerer, smart aggregator, forum organizer, serta role model menjadi tantangan terberat. Bukan saja di masa pageblug, melainkan sejak lama karena pada kenyataannya ruang redaksi belum bergerak dari paradigma lama bahwa redaksilah yang memilih mana yang penting untuk publik. Sementara di era meluapnya informasi, menurut Kovach dan Rosenstiel kepemilikan informasi pada konsumen media sudah setara dengan wartawan dan editor. Sehingga redaksi seharusnya tidak lagi sibuk menjadi agenda setter atau gatekeeper, tetapi berperan untuk memberi perangkat kepada konsumen media dalam memanfaatkan informasi yang dimilikinya itu untuk menemukan solusi atas persoalannya sendiri, serta menjadikan media massa kembali sebagai media komunikasi di mana para pihak saling berbagi pesan secara egaliter tanpa distorsi.

Kelima peran terakhir yang gagal dilakukan media massa menjadi sebab mengapa warga banyak menggunakan media sosial sebagai saluran komunikasi. Ditambah perlakuan pengelola media terhadap pekerjanya yang menyebabkan ketidakpastian atas pekerjaan saat ini, minimnya perlindungan dalam bekerja dan tidak adanya jaminan masa depan. Kondisi pekerja media massa saat ini, seperti disitir banyak pihak, berada dalam kategori prekariat. Istilah yang berasal dari bahasa Latin, precor, yang merujuk pada orang-orang di abad pertengahan yang dipekerjakan dengan imbalan doa.

Khusus dalam masa pageblug ini, bagaimana media menjalankan fungsinya terbukti lewat kerja mendorong warga berperan dalam pengendalian wabah di tingkat lokal, regional, nasional, serta global.

Tekanan Ekonomi

Tekanan ekonomi, seperti halnya tekanan internal dan eksternal lain, terhadap operasi sehari-hari industri media adalah hal alamiah sebagai lembaga sosial. Namun di masa pageblug, tekanan ini telah melemahkan kemampuan media untuk menjalankan sejumlah fungsinya dan mengancam hak mendasar warga negara untuk memperoleh informasi. Tekanan tersebut makin sulit dikelola karena pilihan saat ini adalah bertahan hidup atau punah.

Kemandirian redaksi yang mendapat tekanan ekonomi berlebih ini bahkan mendatangkan kekuatiran terjadinya agenda cutting, sebuah tindakan sengaja pengelola media massa untuk bungkam, mengabaikan, agenda publik penting tertentu. Bisa saja sabotase terhadap hak mendasar warga ini disampaikan pengelola media dengan wajah memelas, “karena alasan ekonomi”. Walau mungkin saja menjadi indikasi awal hancurnya benteng jurnalisme.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//