• Kolom
  • Pagebluk Covid-19 dan Tugas Jurnalistik (1)

Pagebluk Covid-19 dan Tugas Jurnalistik (1)

Jauh sebelum pandemi Covid-19 media massa sedang mengalami tekanan luar biasa akibat disrupsi teknologi komunikasi. Selama pagebluk, sejauh apa ia bisa berperan?

Mang Sawal

Warga desa di pinggiran Kota Bandung, bisa ditengok di akun instagram @mang_sawal

Seorang warga membaca koran di Cikapundung Riverspot, Bandung, Rabu (28/4/20201) siang. Sama seperti ruang-ruang publik lain, Cikapundung Riverspot juga dibatasi aksesnya selama pandemi Covid-19. (Foto: Virliya Putricantika)

18 Mei 2021


BandungBergerak.id - Jauh sebelum pandemi Covid19 merebak, di seluruh dunia industri media (komunikasi) massa sedang mengalami tekanan luar biasa akibat disrupsi teknologi komunikasi telepon pintar (smartphone). Industri media massa cetak bahkan sudah divonis sebagai “sunset industry”. Di ambang kepunahan.

Tak luput, Indonesia pun mengalami hal serupa. Menurut data Serikat Pekerja Pers (SPS) Indonesia yang dipublikasikan pada akhir tahun 2018, jumlah media massa cetak yang pada tahun 2011 tercatat mencapai 1.361, tinggal 793 pada akhir tahun 2017. Sementara media penyiaran, meski jumlahnya tidak banyak berubah, selama kurun 2016-2017 sudah banyak melakukan pengurangan karyawan dengan alasan penurunan pendapatan iklan. Di sisi lain, menurut data Dewan Pers, jumlah media massa daring (online) meningkat hingga mencapai 47 ribu pada awal tahun 2018.

Tekanan terhadap kinerja media massa akibat berkurangnya pendapatan iklan, terbukti dari kecenderungan alokasi belanja iklan untuk media massa Indonesia yang tercatat pada akhir tahun 2019 oleh lembaga pemeringkatan media, Nielsen Media untuk Indonesia (NMI). Menurut NMI, pertumbuhan total belanja iklan dan spot iklan di media televisi, media cetak, dan radio siaran swasta mengalami perlambatan pada Juli 2018 hingga Juni 2019. Pada periode itu, pertumbuhan tercatat sebesar 2 persen (senilai Rp 156 triliun). Pada periode yang sama tahun sebelumnya pertumbuhannya senilai Rp 152,4 triliun, sementara pada periode yang sama dua tahun sebelumnya di angka 9 persen. Hilangnya sumber utama pendapatan industri media massa ini menyebabkan terjadinya sejumlah aksi korporasi untuk menutup usaha penerbitan media cetak dan beralih ke media daring atau gelombang pemutusan hubungan kerja.

Sepanjang sejarah media massa, gejala disrupsi teknologi adalah alamiah. Media cetak terganggu oleh hadirnya radio, kemudian radio terganggu oleh hadirnya televisi. Seperti terjadi pada industri radio siaran di Indonesia tahun 1990-an. Industri radio terus melemah akibat kalah bersaing dengan industri televisi, yang lebih menarik perhatian khalayak dan pengiklan. Pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-46 Organisasi Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) pada tanggal 17 Desember 2020, Ketua PRSSNI Erick Thohir menyebut data Radio Expenditure (Radex) memperlihatkan industri radio masih bernafas di tengah pageblug Covid-19, meski dengan alokasi belanja iklan selama Januari-Oktober 2020 untuk 580 radio anggotanya tidak sampai satu triliun rupiah.

Bandingkan dengan industri televisi, meski juga mengalami penurunan pendapatan iklan akhir-akhir ini, yang masih meraup 60 persen total belanja iklan nasional. Menurut Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, televisi masih akan memperoleh  porsi  terbesar  dari  belanja iklan  nasional,  namun  porsi  belanja  akan beralih ke media digital dengan ragam platform terutama yang memungkinkan adanya direct action.5) Seperti layanan platform video on demand yang dikategorikan sebagai over the top.

Dari situasi itu, muncul pertanyaan, bagaimana media massa berfungsi di tengah tekanan ekonomi terhadap industrinya. Terutama di masa pandemi Covid-19, ketika seluruh sistem dalam masyarakat mengalami tekanan. Wacana ekonomi politik media menjadi tema penting dalam wacana kinerja media komunikasi massa. Reese dan Shoemaker menyebut, kinerja media terpengaruh oleh sejumlah elemen internal dan eksternal, di antaranya pendapatan iklan. Namun selaras dengan perspektif fungsi komunikasi, McQuail (2010) menyebut, media komunikasi massa harus memiliki taraf kemandirian ekonomi yang cukup untuk menghadapi tekanan agar redaksi dapat memproduksi karya jurnalistik yang akuntabel demi kepentingan publik.

Fungsi Komunikasi Massa

Telah hampir satu abad, wacana tentang fungsi komunikasi massa mengemuka seiring dengan wacana etika komunikasi. Wilbur Schramm dalam buku bunga rampai Proses dan Efek Komunikasi Massa yang pertama kali terbit tahun 1957, menyebut media massa membedakan dengan tegas antara komunikasi antarpribadi dengan komunikasi massa. Dengan media massa, komunikasi menjadi mampu menjangkau lebih luas wilayah dan melipatgandakan pesan dalam waktu singkat, tinimbang media personal, serta memberi dampak signifikan. Karenanya media massa harus memiliki fungsi tertentu.

Croteau dan Hoynes mengatakan, media massa adalah jendela dunia tempat warga dunia belajar tentang segala hal tentang dunia. Media berfungsi sebagai agen sosialisasi. Karenanya, bagi yang jarang menengok ke jendela akan mengalami gegar budaya (cultural shock). Media juga menjadi jembatan yang menghubungkan individu dalam masyarakat. Sebagai wahana relasi sosial, perekat sosial. Sementara menurut Lazarsfeld and Merton, wacana fungsi media yang dikemukakan banyak ahli hanyalah daftar tugas (responsibilities) yang seharusnya dikerjakan dan bukan apa yang didapat oleh masyarakat sebagai hasil dari kegiatan jurnalistik (accountability). Menurut mereka, kegiatan jurnalistik harus dapat menghasilkan perubahan sosial, memelihara norma masyarakat, serta aktifnya warga negara berperan dalam kehidupan bernegara.

Begitu pentingnya fungsi media, Undang-undang Pers Republik Indonesia nomor 40 Tahun 1999 menyebut, selain berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, serta lembaga ekonomi, pers nasional melaksanakan peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia (HAM), serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Baca Juga: Dalam Kepungan Hoax dan Pesimisme, Komunikasi Publik Negara Harus Berubah (1)
Dalam Kepungan Hoax dan Pesimisme, Komunikasi Publik Negara Harus Berubah (2)

Peran Media Massa di Masa Pageblug

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menyejajarkan peran media dengan peran tenaga kesehatan di masa pageblug Covid-19. Media harus menjadi bagian dari sistem pengendalian pageblug. Karena informasi salah (misinformasi) dan informasi bohong (disinformasi) tentang Covid-19, baik di media massa maupun media sosial, dapat menyebabkan ketakutan, ketidakpercayaan, perpecahan sosial, bahkan kematian.

Direktur Jenderal WHO Ghebreyesus, dalam pidatonya di depan Konferensi Keamanan Internasional di Munich Jerman, 15 Februari 2020, menyebut, dunia tidak saja sedang berperang melawan pandemi Covid-19, tetapi juga berperang melawan infodemik. Pernyataan itu kemudian diperkuat dalam resolusi Dewan Musyawarah WHO Tanggal 18 Mei 2020 yang menyebut negara-negara anggota WHO wajib menyediakan informasi yang benar tentang Covid-19.

Pernyataan WHO tersebut bukan tanpa alasan. Infodemik adalah gejala mendunia. Di Indonesia, pada masa awal merebaknya wabah, terjadi masalah sosial akibat merebaknya informasi yang tidak lengkap dan informasi bohong. Contohnya, tidak lama setelah pengumuman adanya kasus pertama Covid-19 di Indonesia (03/2020), warga Jakarta berbondong-bondong memborong barang kebutuhan pokok karena beredar kabar melalui media sosial, akan ada lockdown. Sejumlah perawat Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Jakarta terpaksa pindah dari tempat kosnya karena warga sekitar ketakutan. Ada pula pasien positif Covid-19 yang ditolak oleh warga sekitar lokasi karantina di Meulaboh, Aceh.

Berdasarkan riset lembaga swadaya masyarakat Mafindo (Masyarakat Antifitnah Indonesia), pada masa awal merebaknya wabah Covid-19 di Indonesia, 85 persen informasi salah dan informasi bohong (hoax) beredar melalui media sosial dengan penampakan seperti tampilan media massa. Riset Juditha, Oktober 2020, menunjukkan polanya tidak berubah.

Masalahnya, bagaimana jika media massa tidak bisa berperan karena lembaga media serta para pekerjanya justru terempas oleh pageblug setelah sebelumnya limbung terpukul keras oleh disrupsi teknologi?

(bersambung)

Editor: Redaksi

COMMENTS

//