• Kolom
  • Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia

Legend of Aang, Museum Alexandria, dan Google Cendikia

Cendekiawan di kampus mendapat tugas moral menjaga integritas pengetahuan. Atau malah terjebak dalam kesibukan administrasi jabatan akademik?

Mang Sawal

Kandidat Doktor Pascasarjana Fikom Unisba, tinggal di pinggiran Bandung, bisa ditengok di akun instagram @mang_sawal

Ilustrasi. Ilmu pengetahuan mesti bermanfaat bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

16 Maret 2025


BandungBergerak.idTanggal 22 Februari 2024, para pelanggan layanan bioskop dalam jaringan yang dikelola perusahaan over the top Netflix di seluruh dunia, berbondong-bondong menyaksikan tayangan perdana versi hidup dari serial kartun “Avatar: The Last Air Bender” yang pernah populer Tahun 2005 silam. Situs goodstats.com mencatat, penonton tayangan perdana itu mencapai lebih 21 juta pengguna. Trailernya di platform youtube mencapai hampir 10 juta kali ditonton.

Dalam setting ceritanya, film ini mengisahkan dunia imajiner yang terbagi dalam 4 unsur dasar alam, yaitu negara api, negara air, negara angin, dan negara tanah. Masing-masing negara itu terdiri dari warga negara yang menguasai teknik pengendalian unsur alam secara maksimal. Jadi, di negara angin, warga negaranya memiliki kemampuan mengendalikan angin tapi tidak menguasai pengendalian unsur alam lainnya. Sebagai penyeimbang dari seluruh unsur dasar itu, ada kelompok pendeta yang dapat mengendalikan seluruh unsur alam itu. Mereka disebut Avatar.

Plot flim berpusat pada seorang remaja bernama Aang yang merupakan keturunan terakhir pendeta Avatar, setelah pendeta lainnya gugur dalam peperangan yang dilakukan oleh Negara Api. Aang yang masih remaja, hanya menguasai pengendalian udara, jadi mengembaralah ia mencari sumber-sumber ilmu, pengetahuan, dan keahlian untuk mengendalikan unsur-unsur alam ke seluruh penjuru dunia agar takdirnya sebagai penyeimbang alam semesta dapat ditunaikan. Para sumber ilmu yang disambangi Aang, digambarkan dengan senang hati berbagi ilmu. Mengetahui keberadaan Avatar terakhir, tentara negara api melakukan operasi perburuan terhadap Aang agar dominasinya terhadap negara-negara lain tetap terpelihara. Begitulah isi serial tersebut, yaitu perjalanan Aang berburu ilmu sambil mempertahankan diri dari perburuan pihak yang ingin membunuhnya (IMDb.com).

Film ini mengambil Cosmogony tentang Cinta dan Pertikaian sebagai dua elemen yang saling mengimbangi di alam semesta. Cosmogony dari Filsuf Yunani sebelum Sokrates, Empedocles, yang juga menyampaikan teori tentang empat unsur dasar alam: tanah, air, udara, dan api (Britannica, 2006:618). Secara umum, film serial Avatar berkisah tentang bagaimana keahlian, pengetahuan dan ilmu digunakan untuk mendominasi dunia.

Sejak lama pengetahuan disebut sebagai sumber kekuatan dan kekuasaan. Idiom ini dibukukan Francis Bacon dalam bukunya Novum Organum tahun 1620, dengan “knowledge is power” (Law, 2007:126). Tentu saja kekuatan itu datang bukan dari pengetahuan yang diperoleh dengan cara serampangan, melainkan menurut Bacon, pengetahuan hasil induksi, yang diperoleh melalui pengamatan dan pengujian berkali-kali (White, 2014:7).

Komunikasi Ilmu Pengetahuan

Seperti halnya perjalanan Aang mencari ilmu kepada para guru yang ikhlas berbagi, Robert K. Merton (dalam Bucchi, 2021:19), menyebut sudah seharusnya ilmu pengetahuan menjadi milik publik karena pengetahuan adalah hasil kerja kolektif dan kumulatif dari komunitas ilmuwan, dan ilmuwan tidak memperoleh rekognisi dari dirinya sendiri melainkan dari publikasi yang dapat diakses bebas oleh masyarakat. Juga karena melalui pengetahuanlah masyarakat membentuk dirinya. Prinsip ini merupakan salah satu dari apa yang disebut Etika Merton atau Empat Norma Kecendikiawanan Merton (Merton’s institutional imperative). Yang pertama, universalism, kecendikiawanan seharusnya dinilai dari hasil temuannya bukan dari ras, kebangsaan, atau posisi sosial ilmuwannya.

Yang ke dua, disinterestedness, fokus utama cendikiawan adalah membangun pengetahuan, pada kemajuan pemahaman, bukan keuntungan pribadi atau ketenaran. Prinsip ke tiga, organized scepticism, kecendikiawanan terbangun melalui pemeriksaan klaim secara kritis, mempertanyakan asumsi, menguji hipotesis dengan ketat. Karena keraguan dan penyelidikan mendorong kemajuan ilmiah. Yang ke empat, communism, bahwa pengetahuan merupakan milik bersama dan hasil kolaborasi kolektif. Alih-alih mengomodifikasi, para ilmuwan harus berbagi temuan mereka secara terbuka, menciptakan lingkungan kerja sama, daripada menyimpan informasi (Bucchi, 2021:19).

Praktik membuka lebar informasi tentang pengetahuan sudah menjadi tradisi sejak zaman Mesopotamia, 5000 tahun yang lalu, ketika pengetahuan dipahatkan dalam papan tanah liat. Kemudian berlanjut ketika Kaisar Yunani, Alexander Agung membangun sebuah tempat yang menampung naskah-naskah kajian akademik dari mana saja kemudian dikelompok-kelompokkan berdasarkan kesamaan isinya. Menurut White (2014:3), praktik ini adalah sebuah model pengembangan ilmu pengetahuan. Yaitu, mengelompokkan infomasi (classifications), memeriksa keaslian dan kebenaran sumber (provenance) membuka akses kepada semua orang (access) keragaman gagasan (universality). Model ini merupakan bagian dari praktik komunikasi ilmu pengetahuan agar mudah dicari, dipahami, dan menyebar seluas mungkin.

Di era digital dan internet ini, etika Merton mendapat tantangan besar. Bucchi (2021: 21) menyebut, secara tradisional, pengetahuan dinilai sebagai public goods (barang milik publik) namun saat ini pengetahuan telah bergeser menjadi private goods (barang milik pribadi) yang dilindungi skema Hak Kekayaan Intelektual. Bucchi menyebutnya science 1.0 sebagai fase tradisional, dan science 2.0 ketika terjadi pergeseran pandangan tentang kepemilikan pengetahuan dan penyebaran informasinya kepada publik.

Sebelum Bucchi, White (2014) telah mengeksplorasi dampak media digital pada berbagai aspek kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, politik, dan sosial, serta menyoroti peluang dan tantangannya. Dalam bukunya, White membahas bagaimana media digital mengubah komunikasi, perdagangan, dan norma-norma budaya. Menurut White, selain memungkinkan konektivitas global dan pengalaman yang unik untuk masing-masing penggunannya, digitalisasi juga menimbulkan kekhawatiran tentang ruang privasi, informasi yang salah, dan kecanduan gawai (adiksi).

Secara khusus, White membahas transformasi dunia akademik akibat digitalisasi, yaitu bagaimana penguasaan informasi ilmiah telah berpindah dari lembaga publik ke platform digital swasta, yang berdampak pada etos pembangunan pengetahuan. Serta pergeseran materi akademik ke organisasi komersial sehingga mengaburkan batas-batas antara ruang pengetahuan publik dan privat. Termasuk potensi risiko terhadap proses pemufakatan akademik seperti pemeriksaan (provenderence) dan klasifikasi ilmu (classification) serta menekankan perlunya informasi yang kredibel di era digital sebab setiap orang saat ini dapat memproduksi informasi.

Sinyalemen White dan Bucchi tentunya berdasar. Merujuk hasil riset Michael Gusenbauer (2019:177), Google Scholar diperkirakan menyimpan kurang lebih 389 juta jurnal dan artikel ilmiah dalam databasenya, sehingga menjadikannya sebagai mesin pencari informasi akademik yang paling komprehensif (idntimes.com). Jumlah ini mencakup berbagai disiplin ilmu dan sumber, termasuk artikel, tesis, buku, abstrak, dan opini pengadilan. Berdasarkan informasi yang dapat diperoleh melalui mesin pencarian Google, Google sendiri menyimpan sekitar 15 Exabyte data atau 15 juta Terabyte. Google memiliki 12 instalasi pusat data di Amerika Serikat (google.com). Data yang disimpan oleh Google mencakup berbagai jenis informasi, mulai dari permintaan pencarian di internet, video di YouTube, data email, rekaman perjalanan pengguna, isi media sosial, rekaman suara, video dan foto pribadi, dan lain-lain (google.com). Tidak ditemukan informasi terbuka tentang apakah google menerapkan model pembangunan pengetahuan yang diajukan White ke dalam mesin-mesinnya. Namun bisa diduga data besar itu telah menyokong mesin kecerdasan buatan serta menjadi dukungan terbesar dalam perlombaan penciptaan teknologi quantum computing.

Google saat ini telah mengembangkan artificial intelligence (AI) bernama Gemini yang dapat digunakan untuk banyak kebutuhan dari mulai merancang rute perjalanan liburan, membuatkan esai ilmiah, menggambar, editing audio atau video, serta analisis moneter sederhana. Tentunya fitur lengkap Gemini adalah fitur berbayar. Google juga melayani jasa kesehatan melalui Google Health yang menggunakan sumber daya data besar, data pengguna, serta perangkat cerdas di pergelangan tangan yang memonitor tanda-tanda vital penggunanya. Jika ditemukan ada petunjuk gangguan kesehatan, perangkat cerdas itu akan memberikan notifikasi kepada pengguna untuk menggunakan layanan konsultasi kesehatan Google Health yang juga dilayani oleh AI. Layanan AI, baru beralih kepada manusia petugas layanan kesehatan ketika kasus pengguna telah mencapai standar tegakan diagnosis tertentu (google.com). Tentu saja seluruh pelayanan itu tidak gratis meski data-data dikumpulkan perusahaan secara gratis, bahkan ditengarai “hasil mencuri data”.

Baca Juga: Obligasi Kaum Cendikiawan
Potret Model Bisnis Radio Swasta di Wilayah Bukan Perkotaan
Anak Keluarga Artis Rentan Jadi Korban Perundungan

Tanggung Jawab Moral Kampus

Tahun 2006, seorang ahli matematika Inggris, Clive Humby menyebut, “Data is a New Oil” (Arthur, 2013). Proyeksi ini meramalkan data akan menjadi komoditas perdagangan antarentitas swasta. Di era digital, kepakaran pun mati (the death of expertise) menurut Nichols (2017). Setiap orang dapat mencari informasi dan membangun pengetahuannya sendiri.

Ini adalah tantangan bagi kaum cendekiawan yang berada di dalam kampus yang secara tradisional mendapat tugas moral menjaga integritas pengetahuan, agar masyarakat dapat mengambil keputusan atas dasar pengetahuan yang sahih dan andal. Sebab pengetahuan yang berasal dari kaum cendekia itu telah melalui proses pemeriksaan dan pengujian yang ketat. Komunitas kampus sudah seharusnya menjadi sumber pengetahuan dan aktif melakukan komunikasi ilmu pengetahuan di era digital ini, tidak terjebak dalam industrialisasi atau komersialisasi peradaban. Atau terjebak dalam kesibukan administrasi jabatan akademik. 

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain dari Mang Sawal, atau artikel lain tentang Ilmu Pengetahuan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//