Raja Ampat dan Anatomi Komunikasi Krisis: Pertunjukan Dominasi Kekuasaan di Panggung Ruang Publik dengan Sutradara Tuan Kapital
Kasus tambang nikel Raja Ampat Papua bukan anomali, melainkan manifestasi dari kontradiksi struktural yang lebih dalam. Ini bukan sekadar konflik lingkungan biasa.

Mang Sawal
Kandidat Doktor Pascasarjana Fikom Unisba, tinggal di pinggiran Bandung, bisa ditengok di akun instagram @mang_sawal
30 Juni 2025
BandungBergerak.id – Penangkapan aktivis Greenpeace di Jakarta saat membela Raja Ampat mengungkap paradoks kekuasaan: negara yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat justru lebih keras kepada pembela lingkungan ketimbang perusak ekosistem. Empat aktivis Greenpeace Indonesia sempat diamankan polisi pada 3 Juni 2025 setelah melakukan aksi damai menolak hilirisasi nikel dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference di sebuah hotel di Jakarta. Di tengah acara, mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”. Mereka tidak ditahan, hanya dimintai keterangan dan setelah menjalani proses Berita Acara Wawancara (BAW) selama sekitar 2,5 jam serta didampingi kuasa hukum, mereka dipulangkan pada hari yang sama. Polisi menyatakan tidak ada unsur tindak pidana dalam aksi tersebut.
Meski tidak ditahan, saya melihat kasus ini sebagai laboratorium sempurna untuk membedah bagaimana kekuasaan menggunakan komunikasi sebagai alat dominasi. Ini bukan sekadar konflik lingkungan biasa. Ini adalah pertarungan wacana antara logika kapital dan logika ekologis, di mana negara memilih memihak yang pertama sambil menggunakan strategi komunikasi untuk melegitimasi pilihan tersebut.
Baca Juga: Menyuarakan Pencemaran Lingkungan Dikriminalisasi, Kisah Pilu dari Karimun Jawa
Mahasiswa Papua di Bandung Mengajak Memetik Pelajaran dari Bahaya Tambang Nikel di Raja Ampat
Seruan dari Bandung tentang Pencabutan Semua Izin Tambang Nikel di Raja Ampat
Konteks: Ketika Kapital Bertemu Ekologi
Raja Ampat, yang disebut sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia, kini menjadi arena kontestasi antara dua paradigma pembangunan. Di satu sisi, ada logika ekstraktif yang melihat alam sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi untuk pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, ada logika ekologis yang memandang alam sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga kelestariannya.
Maret 2025, masyarakat adat Suku Betew dan Maya mulai terbuka menolak operasi tambang nikel PT Gag Nikel. Greenpeace melaporkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan sedimentasi laut yang mengancam ekosistem terumbu karang. Namun yang lebih menarik untuk dianalisis adalah bagaimana negara merespons kritik ini, bukan dengan bukti ilmiah atau dialog terbuka, melainkan dengan strategi komunikasi yang cenderung hegemonik.
Membedah Strategi Wacana: Analisis Komunikasi Krisis Pemerintah
Manusia adalah makhluk yang kompleks karena kesanggupannya mengolah bahasa, sehingga simbol yang tampak dapat memiliki makna berganda. Apa yang terbaca, terdengar, terlihat, bisa jadi bukan itu yang dimaksud. Dalam ilmu komunikasi pernyataan-pernyataan manusia yang tersurat dapat dianalisis maksud yang tersirat dibaliknya menggunakan kerangka analisis wacana kritis, di antaranya model analisis van Dijk. Begitu pula pernyataan-pernyataan yang mewakili pemerintah dan dapat ditemukan di sejumlah media online terkait kontroversi tambang nikel di kawasan Raja Ampat dapat dianalisis makna tersiratnya. Kerangka analisis ini dapat melihat bagaimana kekuasaan menggunakan bahasa tidak hanya untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membentuk realitas. Dengan membedah struktur narasi dan mencari kata kunci dari sejumlah pernyataan yang ada, kemudian melihat ideologi dibalik pernyataan itu, serta menemukan apa tujuan pelontaran pernyataan itu.
Dengan model analisis van Dijk itu kita dapat menemukan lima pernyataan kunci pemerintah dan strategi komunikasi di baliknya.
1. "Sesuai AMDAL" - Teknokratisasi Politik Lingkungan
Menteri ESDM berulang kali menegaskan bahwa PT Gag Nikel beroperasi "sesuai AMDAL." Ini adalah contoh klasik teknokratisasi, di mana persoalan politik dan ekologis direduksi menjadi urusan teknis administratif. Strategi ini efektif karena menciptakan ilusi objektivitas: seolah-olah keputusan diambil berdasarkan sains, bukan kepentingan politik-ekonomi. Padahal, AMDAL bukanlah dokumen netral, ia adalah produk negoisasi antara perusahaan, konsultan, dan birokrat yang tidak selalu mengutamakan kepentingan ekologis. Selain itu, pemerintah juga tidak membuka dokumen AMDAL itu untuk evaluasi publik. Transparansi, prinsip fundamental demokrasi, diabaikan.
2. "Bukan Karena Viral" - Depolitisasi Partisipasi Publik
Pernyataan bahwa evaluasi pemerintah yang kemudian mencabut sejumlah izin tambang "bukan karena isunya viral" mengungkap mentalitas anti-demokrasi. Pemerintah melihat mobilisasi warga dunia maya (netizen) sebagai "gangguan" ketimbang bentuk partisipasi politik yang sah. Ini adalah strategi depolitisasi, mengabaikan dimensi politik dari isu publik dengan menyebutnya sebagai "sensasi media" atau "viral." Padahal, kampanye digital adalah salah satu cara masyarakat sipil mengorganisir diri dalam demokrasi di era media sosial saat ini. Toh pemerintah pun menggunakan saluran yang sama untuk propagandanya di jaman sekarang. Dengan mendiskreditkan "viralitas," pemerintah sedang menolak legitimasi bentuk-bentuk baru partisipasi politik.
3. "Pencemaran Itu Hoaks" - Politik Post-Truth
Labelisasi klaim kerusakan lingkungan sebagai "hoaks" seperti yang disampaikan beberapa kali oleh pejabat pemerintah adalah strategi berbahaya yang menunjukkan adopsi politik post-truth. Ketika bukti empiris (foto satelit, laporan nelayan, dokumentasi LSM) didiskreditkan sebagai "informasi palsu," yang terjadi adalah relativisme epistemologis, tidak ada lagi kebenaran objektif, yang ada hanya versi pemerintah versus versi oposisi. Strategi ini mengikis dasar-dasar diskursus demokratis yang mensyaratkan adanya fakta bersama sebagai titik tolak debat publik. Ketika fakta dipolitisasi, yang menang bukan argumen terkuat, melainkan kekuatan yang paling dominan.
4. "Terumbu Tetap Lestari" - Kontradiksi Performatif
Klaim bahwa terumbu karang "tetap lestari" sambil mengizinkan aktivitas yang jelas-jelas merusak adalah contoh kontradiksi performatif, ketika pernyataan bertentangan dengan tindakan yang memungkinkan pernyataan itu ada. Ini menunjukkan pemerintah lebih memprioritaskan konsistensi dongeng ketimbang konsistensi faktual. Yang penting bukan realitas lapangan, melainkan realitas diskursif yang bisa diatur-atur jalan ceritanya oleh penguasa.
5. "Status Hijau-Biru" - Greenwashing Institusional
Klaim Kementerian LHK bahwa PT Gag Nikel berstatus "hijau dan biru" adalah greenwashing tingkat institusional. Dengan menggunakan simbolisme warna yang diasosiasikan dengan kelestarian, pemerintah mencoba menciptakan legitimasi ekologis bagi aktivitas yang secara fundamental anti-ekologi. Greenwashing adalah strategi komunikasi korporat yang kini diadopsi negara untuk melegitimasi kebijakan yang merusak lingkungan dengan retorika pelestarian lingkungan.
Hegemoni Komunikasi dan Perlawanan Counter-Hegemonic
Analisis di atas menunjukkan bahwa pemerintah tidak sekadar "salah berkomunikasi" dalam krisis Raja Ampat. Yang terjadi adalah penggunaan strategi komunikasi untuk mempertahankan hegemoni, dominasi yang diterima sebagai common sense, sebuah cara pemaksaan tanpa menggunakan kekerasan.
Antonio Gramsci mengajarkan, hegemoni bekerja melalui konsensus, bukan koersi. Di antaranya melalui pembentukan dukungan (consent) melalui media. Pemerintah berusaha menciptakan konsensus bahwa pembangunan ekstraktif adalah satu-satunya jalan menuju kemakmuran, bahkan diperkuat dengan dukungan ulama, dan kritik terhadapnya adalah "hoaks" atau "gangguan" terhadap rencana meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Namun hegemoni tidak pernah total. Selalu ada ruang untuk counter-hegemoni, perlawanan terhadap wacana dominan. Kampanye Greenpeace, perlawanan masyarakat adat, dan mungkin apa yang menjadi pikiran Anda saat ini, adalah bagian dari strategi counter-hegemonik yang berusaha merebut kembali ruang diskursus yang deliberatif.
Implikasi Struktural: Beyond Raja Ampat
Kasus Raja Ampat bukan anomali, melainkan manifestasi dari kontradiksi struktural yang lebih dalam. Indonesia, seperti negara-negara lain yang gak tahan digelari negara miskin, terjebak dalam paradoks ekstraktif: ketergantungan pada eksploitasi sumber daya alam untuk mengongkosi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sambil mengangguk-angguk terhadap nilai kelestarian lingkungan. Dalam konteks ini, komunikasi krisis pemerintah bukan sekadar masalah teknis, melainkan cermin dari krisis model pembangunan itu sendiri. Ketika model pembangunan tidak berkelanjutan, komunikasi tentangnya pun akan selalu problematis.
Sebenarnya sudah sejak lama banyak pihak mempertanyakan asumsi-asumsi dasar tentang pembangunan. Mengapa pertumbuhan ekonomi selalu diutamakan di atas kelestarian ekosistem? Mengapa suara masyarakat adat yang bergantung pada alam dianggap kurang legitimate dibanding suara perusahaan?
Alternatif terhadap komunikasi hegemonik pemerintah adalah komunikasi demokratis-ekologis, model komunikasi yang mengutamakan partisipasi, transparansi, dan keberlanjutan. Pertama, transparansi radikal. Semua dokumen terkait izin tambang, AMDAL, dan dampak lingkungan harus dibuka untuk evaluasi publik. Transparansi bukan hanya soal akuntabilitas, tetapi juga prasyarat untuk debat publik yang bermakna. Kedua, partisipasi substantif. Masyarakat yang terdampak, terutama masyarakat adat, harus menjadi subjek dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar objek konsultasi. Ini mensyaratkan pengakuan terhadap bentuk-bentuk pengetahuan lokal yang berbeda dari pengetahuan teknokratis. Bagi masyarakat kepulauan, laut adalah lahan hidup mereka, lapangan tempat anak-anak bermain menghabiskan petang. Ketiga, prinsip precautionary. Dalam situasi ketidakpastian ilmiah, kebijakan harus mengutamakan kehati-hatian, bukan eksploitasi. Prinsip komunikasi deliberatif harus benar-benar dipatuhi agar setiap wacana dibahas dengan terbuka dan mendalam serta mengambil keputusan secara berhati-hati. Keempat, keadilan intergenerational. Komunikasi publik harus mempertimbangkan dampak jangka panjang, bukan hanya keuntungan jangka pendek. Generasi mendatang, cucu cicit bangsa Indonesia memiliki hak atas lingkungan hidup yang layak.
Penutup: Komunikasi sebagai Praksis Emansipatoris
Kasus tambang nikel di kawasan Raja Ampat mengingatkan kita bahwa komunikasi bukanlah aktivitas netral. Komunikasi adalah praksis, tindakan yang membentuk realitas sosial. Komunikasi bisa menjadi alat dominasi atau alat emansipasi, tergantung pada siapa yang mengendalikannya dan untuk tujuan apa.
Demi menjaga keberadaan bangsa Indonesia hingga akhir jaman, maka komunikasi harus menjadi alat emansipasi, membebaskan masyarakat dari dominasi politik maupun ekologis. Kasus Raja Ampat adalah ujian bagi kita semua: apakah kita akan membiarkan aksi pertunjukan dominasi Kekuasaan di atas panggung wacana publik dengan sutradara Tuan Kapital? Ataukah kita akan merebut kembali ruang komunikasi untuk kepentingan kemanusiaan dan kelestarian planet bumi? Pilihan ada di tangan kita. Dimulai dari cara kita berbicara tentang isu ini.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB