Eksepsi Tahanan Politik di Persidangan Kasus Gelombang Demonstrasi, dari Salah Tangkap hingga Diperiksa di Bawah Tekanan
Hakim diminta menghentikan pemeriksaan, membebaskan dari tahanan, memulihkan hak terdakwa, dan membebankan biaya persidangan pada negara.
Penulis Awla Rajul26 November 2025
BandungBergerak.id - Delapan dari 42 orang tahanan politik yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dalam gelombang aksi Agustus-September lalu melanjutkan proses persidangan agenda pembacaan eksepsi, di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa, 25 November 2025. Empat terdakwa melalui kuasa hukumnya mengajukan eksepsi, sementara empat lainnya tidak.
Delapan orang tersangka ini didampingi penasihat hukum yang berbeda-beda dengan nomor perkara yang sama, yaitu Nomor 986/Pid.B/2025/PN Bdg. Mereka dituduh pasal berlapis 170, 214, dan 406 KUHP melakukan pelemparan batu ke arah petugas kepolisian yang dinilai menimbulkan kerugian sebesar dua milyar rupiah.
Tim Advokasi Bandung Melawan yang mendampingi satu orang tersangka dan LBH Bandung yang mendampingi tiga orang tersangka mengajukan eksepsi. Sementara empat orang lainnya, M. Subhan, Eli Yana, Mudahammad Rifa dan Jatnika Alan yang didampingi oleh tim hukum dari Peradi, Kongres Advokat Indonesia (KAI), dan tim Bantuan Hukum Jabar Istimewa tidak mengajukan keberatan atas dakwaan mereka.
Tim Advokasi Bandung Melawan membela Very Kurnia Kusumah bin Tatang Saripudin, tersangka yang diduga menjadi korban salah tangkap oleh aparat kepolisian. Salah satu tim hukum, Riefqi Zulfikar menerangkan, Very ditangkap pada 30 Agustus 2025 sekitar pukul 20.30–21.00 ketika hendak membeli tiga batang tokok di warung pinggir jalan Gedung Graha Telkom.
Hari itu ia tidak mengikuti aksi. Ia hendak berkumpul dan bersantai dengan teman-teman-temannya di Kedai Susu Murni di kawasan Dipatiukur. Ketika tengah menepi di depan warung, Very ditangkap dan diperiksa secara paksa dan diduga mengalami tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian.
“Penyiksaan dan Penangkapan sewenang-wenang menunjukkan gagalnya aparat penegak hukum khususnya kepolisian wilayah Jawa Barat dalam menjaga integritas, profesionalitas dan prinsip hak asasi manusia. Pencari Keadilan Very Kurnia Kusumah Bin Tatang Saripudin adalah korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, oleh karena itu wajib untuk mendapatkan perlindungan hukum di dalam persidangan ini,” terang Izul, demikian ia akrab disapa di dalam persidangan.
Dalam eksepsinya, penasihat hukum menyatakan mencabut BAP Very di tingkat penyidikan. Karena Very menjalani proses BAP dalam keadaan tekanan serta diduga mengalami penyiksaan. Di samping itu, tim Advokasi Bandung Melawan mendesak Very dialihkan dari jenis penahanan rutan menjadi tahanan kota. Alasannya, Very merupakan korban penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan berat.
“Penahanan rutan membuat Very kembali berada dalam kontrol aparat yang diduga menyiksanya, sehingga menimbulkan risiko nyata terhadap keselamatan dirinya,” jelas Izul.
Di samping itu, Very tidak punya risiko menghilangkan barang bukti karena perkara yang menimpanya diduga penuh rekayasa, serta tidak ada barang bukti terkait. Penahanan kota dinilai paling tepat dan merupakan kewajiban negara mencegah penyiksaan dan memastikan tahanan aman.
Selain poin itu, tim Advokasi Bandung Melawan juga mendorong majelis hakim untuk melakukan pemeriksaan secara langsung tempat kejadian pidana. Hal ini disebabkan ada kontradiksi lokasi kejadian antara dakwaan dan fakta para pihak, Very dipaksa mengaku dan diduga disiksa ketika di BAP, Very ditangkap ketika membeli rokok, dan jaksa membangun dakwaan alternatif yang tidak merinci perbuatan individual yang dilakukan Very.
Tim Advokasi Bandung Melawan berpendapat dakwaan jaksa terhadap Very kabur, tidak jelas, tidak lengkap, dan mengandung banyak kesalahan hukum. Menurut tim hukum, PN Bandung tidak berwenang mengadili kasus Very. Yang berwenang adalah Pengadilan HAM, karena Very adalah korban penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan. Atau justru Pengadilan Perdata maupun PHI. Karena akibat polisi meenangkapnya, ia mangkir dari pekerjaan.
Penangkapan Very juga melanggar prosedur karena tidak didampingi penasihat hukum. Dakwaan Jaksa bahwa Very melanggar Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP juga dinilai tidak memberikan gambaran secara utuh tentang fakta dalam dakwaan. Tim hukum memerintahkan penuntut umum untuk segera mengeluarkan Very dari tahanan rutan dan membebankan biaya perkara kepada negara.
Baca Juga: Peserta Aksi yang Ditangkap Polisi di Bandung Berhak Mendapatkan Pendampingan Hukum
LBH Bandung Khawatir Penetapan Tersangka Demonstrasi oleh Polisi akan Mengesampingkan Tuntutan Rakyat
Mengalami Kekerasan Fisik
Sementara LBH Bandung menjadi penasihat hukum bagi terdakwa M. Vanza Alfarizy, M. Jalaluddin Mukhlis, dan Joy Erlando Pandiangan. Dalam nota penolakannya, LBH Bandung menyebut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak memenuhi syarat formil dan non formil.
LBH Bandung menyatakan, ketiga terdakwa dimintai keterangan oleh aparat kepolisian diduga dengan kekerasan. Pemeriksaan dilakukan saat mereka dalam keadaan luka fisik dan terintimidasi. Belum lagi pemeriksaan BAP dilakukan tanpa kehadiran penasihat hukum. LBH Bandung menyatakan keberatan atas dakwaan JPU, lantaran dibangun melalui proses hukum yang tidak sah dan melanggar prinsip.
“Mereka mengalami penganiayaan ketika penangkapan oleh aparat kepolisian. Bahkan MJM mengalami luka sobek pada kepala akibat sabetan gesper,” ungkap Heri Pramono ketika membacakan nota eksepsi.
Lantaran dakwaan JPU dibangun dari keterangan yang diperoleh melalui kekerasan dan penyiksaan, serta pemeriksaan dilakukan di bawah tekanan, maka alat bukti pun tidak sah dan batal demi hukum. Selain itu, LBH Bandung memandang, penggabungan berkas perkara delapan tersangka ini tidak sah menurut hukum.
JPU mendakwa mereka berada pada waktu dan tempat yang bersamaan. Padahal delapan tersangka ini tidak berada di lokasi bersamaan. Mereka tidak saling mengenal dan tidak melakukan tindak pidana seperti yang disangkakan. JPU dinilai tidak menjelaskan keterkaitan apapun dengan peristiwa maupun dakwaan yang menjerat para terdakwa.
JPU pun tidak jelas menyebut perihal waktu tindak pidana yang dilakukan. Tempat disebutkan, namun tidak spesifik menyebut tindak pidananya. JPU hanya menyebut waktu aksi, bukan spesifik waktu beserta dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka. Sehingga LBH Bandung memandang dakwaan kabur karena sangkaan terhadap tersangka satu sama lain tidak ada keterhubungan.
Atas pertimbangan itu, LBH Bandung menuntut majelis hakim untuk menetapkan putus sela dengan menerima nota keberatan dan menolak dakwaan jaksa. Majelis hakim harus menetapkan tidak lagi melanjutkan pemeriksaan, membebaskan tersangka dari tahanan, memulihkan hak terdakwa, dan membebankan biaya persidangan kepada negara.
Setelah mendengar dua nota keberatan, jaksa menyebut akan memberikan tanggapan pekan depan, pada sidang yang dijadwalkan 2 Desember mendatang.
Tim hukum salah satu terdakwa dari Bantuan Hukum Jabar Istimewa, membeberkan, mereka tidak memberikan eksepsi karena setelah membaca dan menganalisa dakwaan, pihaknya tidak menemukan adanya kecacatan formil. Kliennya juga sudah mengakui tuduhan pidana yang disangkakan.
“Kita sudah baca dan memang kita tidak menemukan adanya kecacatan formil dalam dakwaan jaksa. Khusus di klien kita ya. Dan klien kita mengakui telah melakukan pelemparan. Jadi atas persetujuan klien dan keluarganya kita tidak mengajukan eksepsi,” kata Fazril, tim hukum Jabar Istimewa.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

