• Berita
  • LBH Bandung Khawatir Penetapan Tersangka Demonstrasi oleh Polisi akan Mengesampingkan Tuntutan Rakyat

LBH Bandung Khawatir Penetapan Tersangka Demonstrasi oleh Polisi akan Mengesampingkan Tuntutan Rakyat

Sebanyak 42 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi terkait demonstrasi akhir Agustus sampai awal September 2025. Mereka dijerat dengan pasal berbeda-beda.

Aksi solidaritas untuk Affan Kurniawan dari ojol Bandung, mahasiswa, dan masyarakat sipil di sekitar Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jumat, 29 Agustus 2025. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam19 September 2025


BandungBergerakPolisi Daerah (Polda) Jawa Barat menetapkan 42 orang sebagai tersangka terkait demonstrasi akhir Agustus sampai awal September 2025. Mereka diduga membuat kerusuhan, penghasutan, dan perusakan sejumlah fasilitas umum di Kota Bandung. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menilai penetapan tersangka ini dikhawatirkan mengaburkan tuntutan rakyat yang diusung demonstrasi besar-besaran tersebut.

Melalui konferensi pers, Polda Jabar juga merilis pasal-pasal yang dikenakan kepada para tersangka beserta ancaman hukumannya, dan sejumlah barang buki mulai dari molotov hingga buku-buku.

Rafi Syaiful Ilham, Kepala Advokasi dan Jaringan LBH Bandung yang juga pendamping untuk beberapa tersangka, mengungkapkan tuntutan rakyat selama demonstrasi seharusnya menjadi fokus negara dalam menyikapi gelombang demonstrasi Agustus - September.

“Negara justru sibuk mencari kambing hitam peristiwa kemarin,” ujar Rafi, saat dihubungi BandungBergerak, Kamis, 18 September 2025.

Hingga kini LBH Bandung masih kesulitan memberikan bantuan hukum kepada para kliennya karena keterbatasan akses. Rafi mengingatkan bahwa warga yang tersangkut masalah hukum berhak mendapatkan bantuan hukum, sesuai UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Menurut Rafi, menghalangi akses kepada kuasa hukum merupakan bentuk perampasan hak atas fair trial dan proses peradilan yang jujur. Dia juga menyayangkan sejumlah massa aksi yang dijadikan tersangka merupakan pelajar. Menurutnya, pelajar adalah bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak untuk menyampaikan pendapat.

Rafi menerangkan, proses hukum terhadap pelajar memiliki dampak psikologis dan masa depan yang sangat serius. Ia berharap pendekatan terhadap pelajar lebih mengutamakan aspek edukatif dan preventif bukan represif dengan pasal-pasal pidana.

“Ini adalah bentuk kegagalan negara dalam melindungi kepentingan terbaik bagi anak,” imbuhnya.

Menanggapi hukuman yang dikenakan kepada para tersangka, Rafi menilai bahwa pasal-pasal tersebut tidak proporsional dan terkesan dipaksakan sehingga akan berbeda dengan fakta di lapangan.

"Kami sering menemukan penggunaan pasal-pasal yang tidak sebanding dan terlalu dibesar-besarkan dalam kasus unjuk rasa, seperti Pasal 187 KUHP tentang penghancuran barang," ujarnya.

Rafi juga mengomentari penyitaan buku yang dijadikan barang bukti oleh polisi. Penyitaan buku, spanduk kritik, atau atribut lainnya dinilai sebagai tindakan yang absurd dan berlebihan. Menurutnya, buku dan tulisan adalah wujud dari kebebasan berpikir dan berekspresi yang dilindungi oleh konstitusi.

"Menyita barang-barang tersebut seolah negara berusaha membungkam pikiran dan gagasan," tegasnya.

Dalam konteks pembuktian, Rafi menjelaskan sangat sulit menghubungkan buku, spanduk, atau bendera dengan unsur tindak pidana yang dituduhkan.

"Kecuali jika memang berisi hasutan untuk kekerasan yang jelas dan spesifik," terangnya.

Dijerat Pasal Berbeda-beda

Sebelumnya, dalam konferensi pers Polda Jabar merilis ada 39 yang diamankan saat unjuk rasa. Tiga orang lainnya ditangkap dari hasil pengembangan. Sementara barang bukti yang disita meliputi bom molotov, bom pipa, petasan, batu, hingga buku. Barang-barang tersebut dipakai untuk merencanakan dan melakukan tindak kerusuhan, seperti merusak, membakar, serta meledakan fasilitas umum, dan kantor pemerintahan.

“Total pelaku yang dijadikan tersangka dan dilakukan penahanan di klaster 1 sebanyak 26 orang,” ungkap Kepala Polda Jabar Rudi Setiawan.

Untuk tersangka klaster kedua, mereka adalah massa aksi yang terhasut dalam ajakan untuk melakukan unjuk rasa. Mereka disebut turut melakukan perekaman, memposting, merencanakan, dan melakukan perusakan. Pada klaster kedua ini polisi penetapkan 13 tersangka.

Di klaster ketiga, polisi melakukan pengembangan dan menetapkan tiga orang tersangka. Mereka diduga menjadi penghasut melalui informasi elektronik lewat media sosial.

Tersangka klaster 1 dijerat Pasal 187, Pasal 170, Pasal 406, dan/atau Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara. Klaster 2 dikenakan Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU ITE 2024, Pasal 170, Pasal 406 KUHP, Pasal 66 UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Pasal 55 dan/atau Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara. Klaster 3 dikenakan Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU ITE 2024 dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp 1 miliar.

Polisi juga mengumumkan bahwa zine dan buku-buku termasuk yang disita dari tangan tersangka. Barang cetakan tersebut dianggap bermuatan paham anarkisme.

“Barang bukti yang diamankan antara lain puluhan bom molotov siap pakai, bahan peledak rakitan, ratusan buku dan artikel bermuatan ideologi anarkis, hingga perangkat elektronik yang digunakan untuk menyebarkan konten provokatif,” ujar Kapolda.

Baca Juga: Mahasiswa Bandung dan Massa Ojol Kembali Turun ke Jalan, Bawa Tuntutan 17+8
Peserta Aksi yang Ditangkap Polisi di Bandung Berhak Mendapatkan Pendampingan Hukum

Tuntutan Rakyat

Demonstrasi besar-besaran melanda Indonesia sejak 25 Agustus 2025 di Jakarta yang dilakukan buruh, mahasiswa, ojek online (ojol), dan masyarakat sipil lainnya. Mereka memprotes kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, termasuk tunjangan jumbo anggota DPR. Puncaknya terjadi tragedi yang menewaskan pengemudi ojol Affan Kurniawan akibat dilindas mobil Brimob pada Kamis, 28 Agustus 2025.

Demonstrasi semakin meluas pada awal September. Massa demonstran kemudian menyerukan tuntutan yang dikenal 17+8 yang isinya:

Tuntutan untuk Presiden Prabowo Subianto, yaitu tarik TNI dari pengamanan sipil dan pastikan tidak adak kriminalisasi demonstrasn. Kedua, bentuk tim investigasi independen kasus Affan Kurniawa maupun semua korban kekerasan aparat selama demonstrasi 28-30 Agustus;

Tuntutan untuk DPR; bekukan kenaikan gaji atau tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiun). Keempat, publikasikan transparan anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR). Kelima, dorong bada kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).

Tuntutan untuk ketua umum partai politik; pecat atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik; libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat sipil.

Tuntutan untuk kepolisian; bebaskan seluruh demonstran yang ditahan. Kesepuluh, hentikan tindakan kekerasan polisi dan taati SOP pengendalian massa yang sudah tersedia.

Tuntutan untuk TNI; segera kembali ke barak, hentikan keterlibatan dalam pengamanan sipil.

Tuntutan untuk kementerian sektor ekonomi; pastikan upah layak untuk seluruh angkatan kerja (tidak terbatas pada guru, buruh, nakes, dan mitra ojol) di seluruh Indonesia. Keenam belas, ambil langkah darurat untuk mencegah PHK massal dan lindungi buruh kontrak. Ketujuh belas buka dialog dengan serikat buruh untuk solusi upah minimun dan ousourcing.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//