Sidang Enam Warga Sukahaji, Pengadilan Pertanyakan Tahun Kepemilikan Tanah
Saksi pelapor mengaku lahan Sukahaji tanah warisan kliennya.
Penulis Yopi Muharam26 November 2025
BandungBergerak.id – Enam warga Sukahaji RJG, PS, AS, WY, S, YR, dan CS menghadapi sidang kelima di Pengadilan Negeri Kota Bandung, Selasa, 25 November 2025. Sidang kali ini menghadirkan tiga saksi dari pihak penggugat yang terdiri dari, satu saksi dari pihak pelapor yakni Ahmad Boma serta dua saksi dari warga yang tinggal di Sukahaji yakni Dadan Ramdani dan Asep Djuheri atau Heri Coet.
Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Novian Saputra dimulai sekitar pukul 11.20 hingga 13.30 siang. Puluhan warga dan keluarga terdakwa juga turut menghadiri sidang ini untuk memberi dukungan.
Sidang ini dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama mendengarkan kesaksian Ahmad Boma. Pada sesi selanjutnya, giliran pemeriksaan saksi Dadan dan Heri. Selama persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) serta kuasa hukum warga Sukahaji mempertanyakan soal kepemilikan tanah, batas wilayah, hingga masalah penyerobotan lahan.
Saksi Ahmad Boma di persidangan mengatakan bahwa tanah Sukahaji yang diklaim kliennya, Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar, adalah tanah warisan. Saat ditanya oleh JPU mengenai tahun kepemilikan, Ahmad tak menyebut tahunnya secara pasti.
“Tahun 1900-an,” ujar Ahmad singkat. Ahmad mengklaim kepemilikan tanah itu dibuktikan 91 sertifikat hak milik (SHM) yang ada di Sukahaji seluas tujuh hektar lebih yang meliputi sebagian besar dari RW 1, 2, 3, dan 4.
Ahmad mengaku tidak mengetahui kapan warga Sukahaji mulai mendirikan bangunan di tanah milik kliennya itu. Namun warga Sukahaji yang tinggal lebih dari 20 tahun di lahan tersebut, diklaimnya tidak pernah meminta izin pada Junus ataupun Juliana.
Lalu, pada 24 Februari 2025, pihaknya melakukan sosialisasi di balai RW 4 untuk memberitahukan warga bahwa tanah tersebut milik kliennya. Sosialisasi juga pernah dilakukan tanpa didampingi Ahmad atau firma hukumnya.
Beberapa hari berikutnya, pihaknya menawarkan uang kerohiman rata-rata sebesar Rp5 juta per rumah agar warga bersedia meninggalkan lahan tersebut. Tetapi tidak semua warga menerima uang kompensasi itu.
Ahmad mengklaim sudah 70 persen warga menerima uang kerohiman dan bersedia meninggalkan rumahnya. Sementara sisanya menolak dan tetap bertahan. Hitungannya, tersisa 300-an lagi warga yang enggan menerima uang kerohiman. “Ya, orang-orang yang menolak tetap mau tinggal di situ,” katanya.
Sementara itu, Hakim Anggota, Tongani mempertanyakan alasan enam orang warga Sukahaji saja yang diseret ke pengadilan dalam perkara tersebut. “Karena mereka membentuk Sukahaji Melawan,” jawab Ahmad. Enam orang warga ini dianggap mengorganisir warga yang menolak meninggalkan rumah mereka.
Tongani juga mempertanyakan sertifikat tanah yang didiami oleh enam terdakwa hingga luas tanahnya. “Okelah ada sertifikat. Sertifikat tanda bukti hak. Tapi dia (Junus dan Juliana) benar enggak punya hak? Itu harus dibuktikan,” kata Tongani. Dari 91 sertifikat itu, Ahmad tak mengetahui. “Kurang tahu,” jawabnya singkat.
Di sisi lain, kuasa hukum warga mempertanyakan batas wilayah yang diklaim oleh Junus dan Juliana. Menurutnya batas wilayah itu sangat penting untuk menentukan tanah yang diklaim, mulai dari sisi selatan, utara, barat, dan timur. Bahkan harus melibatkan pihak BPN dan warga sekitar untuk menjadi saksi.
Ahmad mengaku pihaknya sudah mengajukan pengecekan batas wilayah ke BPN. “Sudah (mengajukan) tapi belum dicek,” tutur Ahmad.
Baca Juga: Api Kembali Menyala di Sukahaji, Kebakaran yang Ketiga Sepanjang Tahun Ini
Sidang Enam Orang Warga Sukahaji, Kuasa Hukum Menyebut Dakwaan Jaksa tidak Jelas
Penjelasan Saksi dari Warga
Setelah pemeriksaan saksi pertama selama kurang lebih 1 jam, giliran saksi kedua dan ketiga, yakni Dadan serta Heri. Mereka berdua adalah warga Sukahaji yang menerima uang kerohiman dari pihak Junus dan Juliana.
Dadan sendiri mengaku sudah tinggal selama enam tahun di Sukahaji. Sementara Heri sudah tinggal di Sukahaji sejak tahun 2001. Adapun soal uang kerohiman tersebut, Dadan mengaku hanya menerima 5 juta rupiah. Sementara Heri menerima lebih besar yakni 20 juta rupiah. “Karena ada empat pintu Yang Mulia,” ujar Heri.
Namun mereka mengakui bahwa tanah yang tinggali itu merupakan milik Junus dan Juliana. Mereka mengetahui setelah acara sosialisasi yang terjadi pada bulan Februari 2025 lalu.
“Sekarang saya ketahui setelah (advokat Junus dan Juliana) memperlihatkan fotokopi (sertifikat) dan SKPT (surat keterangan pendaftaran tanah) yang sudah dilegalisir,” ujar Dadan diamini oleh Heri.
Saat sosialisasi itu, Dadan mengatakan bahwa para terdakwa meminta diperlihatkan sertifikat asli tanah tersebut. “Terus waktu itu karena ada yang sedikit ricuh, jadi bubar (sosialisasinya),” tuturnya. Ketika ditanya siapa yang memulai kericuhan, Dadan menyebut WY dan RJG.
Selanjutnya disinggung terkait perkumpulan tentang yang menolak uang kerohiman. Dadan mengaku dirinya tak mengetahui siapa ketua dari perkumpulan itu. “Untuk ketuanya saya kurang tahu,” jelasnya.
Tujuan dari perkumpulan itu menurut Dadan untuk mengumpulkan warga yang menolak untuk minggat dari rumahnya. “Mereka ingin tetap di sana (Sukahaji),” ungkap Dadan.

Warga yang Bertahan
Heri Pramono, kuasa hukum warga dari LBH Bandung menyayangkan kualitas kesaksian Ahmad selaku pelapor yang banyak tak mengetahui ketika ditanya oleh hakim, jaksa, dan kuasa hukum berkaitan dengan kepemilikan lahan Junus dan Juliana. Sebagai kuasa hukum Junus dan Juliana, Ahmad seharusnya bisa memaparkan kesaksian dengan detail. “Harusnya dia mengetahui sebagai pelapor ini malah ya tidak ada kejelasan,” ujarnya pada BandungBergerak.
Seharusnya dengan bukti 91 sertifikat, Ahmad bisa menunjukkan batas wilayah rumah yang ditempati oleh para terdakwa. Sebab penjelasan itu harus dirincikan secara spesifik dan objektif. “Ini menyangkut hak orang soalnya,” kata Heri.
Sementara itu Yudi (bukan nama asli), suami dari salah satu terdakwa berharap agar para terdakwa segera dibebaskan. Yudi menganggap mereka tak melakukan tindak kejahatan. “Pengen cepet beres, kasihan ada anak yang masih kecil nanyain emaknya terus,” ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Widya (nama samaran), yang berharap kasus ini cepat selesai. Dua di antara para terdakwa tersebut adalah ayah dan kakak Widya. “Kita minta keadilannya saja, karena keadilan itu memang ada di Indonesia sesuai sila ke lima Pancasila,” harapnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

