• Berita
  • Api di Ruang Publik, Diskusi Buku Karya Ucok Homicide

Api di Ruang Publik, Diskusi Buku Karya Ucok Homicide

Melalui Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan, Ucok menunjukkan bahwa esainya bukan sekadar tentang musik, melainkan cermin kehidupan sosial yang tumbuh bersama warga.

Diskusi buku Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan karya Herry Sutresna alias Ucok Homicide di Taman Pramuka, Bandung, Minggu, 23 November 2025. (Foto: Insan Radhyan/BandungBergerak)

Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 27 November 2025


BandungBergerakDiskusi buku Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan dibuka oleh penulisnya, Herry Sutresna alias Ucok Homicide, dengan pernyataan simbolik tentang pilihan lokasi acara. Ia sengaja menggelarnya di ruang publik—Taman Pramuka, Bandung—bukan di kafe atau ruang tertutup, pada Minggu, 23 November 2025. Bagi Ucok, ruang publik adalah ruang kewargaan yang harus terus dihidupkan lewat kegiatan kolektif. Pandangannya sekaligus menegaskan bahwa warga memiliki hak penuh atas ruang-ruang publik.

Ucok kemudian menjelaskan posisi bukunya dalam konteks perjalanan penulisannya. Buku ini kebanyakan berisi kumpulan tulisan yang ia hasilkan selama satu hingga dua tahun terakhir, ditambah beberapa tulisan lama yang dianggap relevan untuk dimasukkan kembali. Isinya bukan sekadar esai musik, melainkan catatan-catatan sosial yang berangkat dari dunia musik namun melampaui musik itu sendiri. Karena itu, Ucok tidak memposisikan buku ini sebagai “buku musik” semata, ia menyebutnya sebagai tulisan-tulisan yang lahir dari tubuh yang tumbuh selama ia bermasyarakat.

Dalam diskusi tersebut, Aliyuna dari Antimateri membaca buku ini lewat kacamata estetika politik dan hermeneutika bahwa musik bukan hanya hiburan, tetapi gugahan hati dan penafsiran kita terhadapnya. Musik yang baik menggugah kesadaran, memicu rasa, dan menggerakkan imajinasi politik pendengarnya.

Aliyuna menyoroti satu paragraf dalam buku yang berbicara tentang waktu pada halaman 56 yang berbunyi: “Mungkin kita tak pernah benar-benar mengukur waktu dengan kalender. Kita mengukurnya dengan album yang kita dengarkan, jalan yang kita blokade dan wajah-wajah yang masih kita rindukan".

Menurut Aliyuna, kalimat mengajak pembaca masuk ke ruang-ruang masa lalu namun dengan pemaknaan yang baru. Ia melihat buku ini sebagai teks yang mengandung keresahan, patah hati, dan ketegangan antara harapan progresif dan kenyataan sosial yang berulang seolah sejarah terus memukul balik harapan generasi sebelumnya.

Ucok kemudian menanggapi, terutama soal bab yang membahas kekecewaan terhadap figur idolanya Chuck D dari Public Enemy. Ia mengungkapkan kecewa sekaligus marah ketika Chuck D justru menjadi duta musik global oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, lembaga yang menandatangani miliaran dolar bantuan militer untuk Israel.

Bagi Ucok, isu Palestina hari ini bukan ranah yang abu-abu, tetapi hanya ada dua sikap: pro atau kontra. Karena Chuck D-lah yang membawanya ke politik radikal, ke Malcolm X, ke Black Panther, ke berbagai bacaan dunia kiri, maka pengkhianatan moral itu terasa personal. Ia bahkan membatalkan rencana besar dalam hidupnya untuk berkolaborasi musik dengannya.

“Ada titik-titik yang tidak bisa ditolerir dan ini salah satunya,” ujar Ucok.

Tamansari dan Simpang Dago

Tri Joko dari BandungBergerak yang menjadi penanggap peluncuran buku Ucok, memperluas pembacaan diskusi ke konteks kewargaan Bandung. Ia mengingat pertemuan pertamanya dengan Ucok saat liputan di reruntuhan Tamansari pada 2018, ketika warga bertahan melawan penggusuran. Dari sana ia menyadari bahwa Ucok selalu membicarakan solidaritas bukan sebagai jargon aktivisme, tetapi sebagai pengalaman warga yang turun ke lapangan melihat realitas.

Joko menyebut buku Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan sebagai arsip personal karena menaruh beberapa kesedihan dan mungkin pesimismenya terhadap kondisi saat ini. Ucok membuka isi buku dengan Tamansari dan ditutup dengan Simpang Dago bukan tanpa alasan, tetapi ini adalah buku pengingat kembali peristiwa yang terluka tetapi harus terus dikontemplasikan.

Menurut Joko, cara Ucok memandang kesedihan adalah sebagai “melankolia” yang merupakan metode reflektif. Dengan begitu Ucok berusaha memahami apa yang pernah terjadi, lalu menggunakan pemahaman itu sebagai landasan untuk langkah ke depan. Tamansari, misalnya, menjadi simbol masa lalu yang terus beresonansi dengan berbagai peristiwa-peristiwa serupa di Bandung.

Sikap itu terlihat pula dari respons Ucok terhadap kekecewaannya pada Chuck D, sosok yang ia kagumi sejak kecil. Bukannya berlama-lama kecewa, Ucok mengambil tindakan tegas, menghapus arsip atau file musik dan jejak digital bersama figur tersebut.

“Dia sedih hati, iya. Tapi dia lalu melakukan sesuatu,” ujar Joko.

Baca Juga:Heri 'Ucok' Sutresna, Homicide, Musik, dan Akar Rumput
Album Barisan Nisan Homicide Lahir Kembali, Menagih Reformasi yang Mati Suri

Buku Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan karya Herry Sutresna alias Ucok Homicide, Minggu, 23 November 2025. (Foto: Insan Radhyan/BandungBergerak)
Buku Setiap Api Butuh Sedikit Bantuan karya Herry Sutresna alias Ucok Homicide, Minggu, 23 November 2025. (Foto: Insan Radhyan/BandungBergerak)

Penulis Musik

Dari sisi editorial, Ilham dari Consumed Media menjelaskan, proses penyuntingan buku ini. Menurutnya, tulisan-tulisan Ucok datang sebagai manuskrip siap terbit, tugas tim hanyalah menerbitkannya. Ia juga menekankan bahwa pentingnya regenerasi penulis musik. Menurutnya, generasi muda hari ini lebih memilih medium video ketimbang tulisan. Padahal dokumentasi tertulis jauh lebih lestari, lebih komprehensif, dan lebih personal untuk pembaca.

Bagi Ilham, pengarsipan skena adalah kerja kebudayaan yang tak bisa ditawar, terutama di tengah ekosistem musik independen yang cepat berubah dan sering kali luput dari dokumentasi formal. Ia menilai banyak kolektif, band, hingga gerakan kecil di berbagai kota hanya hidup di permukaan dan mudah hilang tertimbun algoritma. Karena itu, arsip menjadi penahan ingatan.

Ia bahkan melihat lahirnya zine-zine baru di Bandung dan inisiatif dokumentasi dari generasi muda hari ini sebagai tanda baik bahwa kebutuhan untuk menulis, mencatat, dan mengabadikan jejak bukan hanya soal nostalgia, tetapi fondasi penting agar sebuah skena dapat dipelajari, dikritik, dan tumbuh secara berkelanjutan.

Anarki Pop Chumbawamba

Selesai acara diskusi, Saya menghampiri Ucok dan bertanya apa definisi api sendiri dan bagaimana jika api tidak pernah menyala. Dengan senyuman dan mata haru yang berbinar, Ucok berujar bahwa api bukan sekadar metafora belaka. Api bisa bermakna kebalikan dari kegelapan, api berarti sesuatu yang menerangi dan membuka jalan. Bahkan ketika api itu belum ada, ia tetap bisa dinyalakan oleh bantuan kecil seperti oksigen, gesekan, bahan bakar, kesempatan, atau sentuhan tangan lain. Begitu pula dengan solidaritas dan kesadaran, ia tidak muncul sendiri, tetapi lahir dari pertemuan, percakapan, dan tindakan kecil yang dilakukan bersama. Buku ini kata Ucok, adalah salah satu percikan itu.

Beberapa hari setelah acara diskusi tersebut saya membuka lembaran demi lembaran tulisan pada buku Ucok. Alih-alih membaca dari awal halaman, saya langsung tertuju pada halaman 325 yang berjudul “Merayakan 3 Dekade Anarki Pop Chumbawamba”. Alasan saya membaca bagian ini sangat jelas, yaitu karena inspirasi judul buku ini diambil dari lagu Chumbawamba yang berjudul “Give the Anarchist a Cigarette”. Butuh waktu satu jam untuk saya mendengar dan mengulang lagu-lagu mereka dari album “Anarchy” ini.

Sungguh terkejut dan kagum melihat bagaimana penafsiran ucok akan album musik ini, karena menurut Millie Warwick dalam distortedsoundmagazine, album ini kurang diminati oleh khalayak umum tapi sangat tersimpan di hati bagi para penggemar Chumbawamba sejati. Setelah saya coba mendengarkan dan menyelaminya ternyata banyak hal-hal kecil yang sarat makna dan penuh teriakan pesan yang lantang tapi dibalut dengan musik pop, reagge, rap, rock, folk, elektronik, punk, dan sentuhan musik unik lainnya.

Ucok memulai bab ini dengan konteks penting tentang “Anarchy” yang bukan lahir dari kehampaan, melainkan dari Kota Leeds dan tradisi anarcho-punk Inggris dan dekat dengan band Crass yang menyuarakan perlawanan dan gagasan antiotoritarianisme. Pada tahun 1994-an, Inggris sedang bergeser menuju semacam pesta identitas baru. Britpop naik daun, Oasis, Blur, Pulp, Suede muncul sebagai wajah baru dalam dunia musik. Media menamakan masa itu sebagai “Cool Britannia” dengan narasi bahwa Inggris kembali keren, bergaya, dan layak dirayakan.

Tetapi Ucok menunjukkan bagaimana pesta itu hanyalah kedok semata. Di balik musik kencang dan penuh perayaan itu sebenarnya Inggris sedang menata ulang represi. Ada nasionalisme baru Tony Blair yang merayakan pub, sepak bola, nostalgia kekaisaran, dan dinyanyikan lantang dengan band band tersebut. Tapi mereka tidak pernah menyinggung isu rasisme, pembabatan hak-hak warga, atau ketimpangan kelas yang membusuk.

Setelah saya menyelami band ini, ternyata mereka pernah melakukan tindakan pro terhadap kaum akar rumput dengan cara yang unik. Chumbawamba menggunakan royalti dari kesuksesan komersial "Tubthumping", yaitu lagu dengan royalti tertinggi mereka untuk mendanai berbagai gerakan akar rumput, termasuk perjuangan ekologi dan organisasi buruh. Mereka membalikkan logika kapitalis. Uang dari sistem yang mereka kritik justru dialirkan kembali untuk membiayai perlawanan terhadap sistem itu sendiri.

Tindakan Chumbawamba menunjukkan sebuah model aktivisme yang unik karena sumber daya dari industri kapitalis dimanfaatkan untuk memperkuat suara mereka yang selalu melawan kapitalis. Dilansir dari Guardian, Band ini menjual lagu kepada General Motors sebuah raksasa otomotif seharga $70.000 tetapi memberikan uang itu untuk kampanye para aktivis melawan perusahaan tersebut.

Seperti biasanya setiap membaca tulisan Ucok saya mendapatkan katalog refrensi musik yang baru, dan ini hanya permulaan. Masih banyak katalog musik yang Ucok hadirkan di buku ini dan membuat para pembacanya penasaran akan tafsir yang ia tulis. Semua tafsir itu Ucok hadirkan juga dengan relevansi dan kondisi saat ini. Entah apa saja kehidupan yang Ucok mimpikan pada tahun-tahun lampau itu dan kini ia tetap menghadapi realitas Kota Bandung yang selalu penuh dengan konflik fisik dan batin. Tentang kegaduhan, kerapuhan, atau mungkin generasi sekarang mengenalnya dengan frasa kegalauan.

Ucok berhasil mengekspresikan sepenuhnya perasaannya sebagai penulis. Cara ia bercerita tentang kegalauannya menjadi pengingat bagi kita bahwa laki-laki pun wajar mengungkapkan kerapuhan. Sudah saatnya kita meninggalkan stereotip bahwa kesedihan adalah kelemahan dan bahwa kejantanan hanya diukur dari kekuatan, ketangguhan, atau kewibawaan.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//