Tiga Rezim Berganti, RUU PPRT tak Kunjung Disahkan
Serikat buruh mendesak pemerintah segera melakukan pengesahan RUU PPRT. Pekerja rumah tangga di Indonesia tidak dilindungi payung hukum.
Penulis Retna Gemilang28 November 2025
BandungBergerak – Rezim penguasa terus berganti, jutaan pekerja rumah tangga (PRT) Indonesia bekerja tanpa payung hukum yang melindunginya. Bekerja di sektor domestik sangat rentan bagi para pekerja—mayoritas perempuan—karena umumnya tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas, jam kerja berlebihan, upah rendah, tanpa jaminan kesehatan atau ketenagakerjaan, serta berisiko tinggi mengalami kekerasan dan pelecehan.
Menurut catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), sebanyak 2.641 pekerja rumah tangga mengalami kekerasan yang beragam selama periode 2018-2023. Sehingga diperlukan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang berperan menjadi payung hukum resmi dalam melindungi pekerja rumah tangga.
Padahal, pada peringatan May Day 1 Mei 2025 lalu, Presiden Prabowo menjanjikan untuk mengesahkan RUU PPRT dalam kurun waktu tiga bulan. Tapi sudah terhitung enam bulan lamanya, tidak terdengar diskusi terkait RUU PPRT di pemangku kebijakan. Melihat hal itu, seluruh serikat buruh di Indonesia mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PPRT.
Jumisih, staf JALA PRT menyebut bahwa selama 21 tahun, RUU PPRT telah mengalami proses revisi sebanyak 66 kali dari draf awal tahun 2004 lalu. Pembahasan terkait pasal-pasal tentang upah, hari libur, hingga BPJS untuk pekerja rumah tangga mestinya sudah terjawab pada Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU), sehingga sudah memasuki pembahasan tingkat satu yang diparipurnakan dan diketok palu. Tapi hingga hari ini, ia tidak melihat komitmen pemerintah untuk segera mengesahkannya menjadi undang undang.
Nasibnya tak jelas, bahkan dalam tempo yang singkat, tersalip oleh pengesahan RUU lain, seperti RUU KUHAP, UU TNI, hingga RUU BUMN yang tak sampai satu bulan sudah disahkan menjadi UU BUMN.
“Kita merasa dipinggirkan, belakangan kita tahu KUHAP disahkan dalam tempo singkat, sementara kami sudah meminta kepada presiden dan DPR sejak lama namun belum juga disahkan,” ujar Jumisih, di konferensi pers Serikat Buruh Dukung Pengesahan RUU PPRT, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, 21 November 2025.
Dalam menagih janji presiden dan DPR, Jumisih bersama JALA PRT meminta dukungan kolektif untuk pengesahan RUU PPRT kepada serikat buruh dan lapisan masyarakat.
"Kalau PRT dinyatakan sebagai pekerja, maka secara hukum negara wajib melindungi, nah selama ini PRT belum diakui sebagai pekerja, jadi pengakuan di dalam hukum itu penting sekali," paparnya.
Baca Juga: Aksi Solidaritas Koalisi Masyarakat Sipil Bandung Mendesak DPR Segera Sahkan RUU PPRT
Pekerja Rumah Tangga itu Mitra Kerja, bukan Budak

Kerentanan PRT Tanpa Payung Hukum
Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan pekerja rumah tangga merupakan fondasi ekonomi nasional. Ia menyebut kontribusi ekonomi PRT diperkirakan mencapai 20-27 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa jutaan pekerja formal saat ini tidak akan bekerja secara produktif tanpa ditopang oleh para pekerja rumah tangga.
"Mereka yang menopang pekerjaan-pekerjaan formal yang sering kali dihitung dalam PDB itu diabaikan, tidak pernah diperhatikan, dan bahkan disiasatkan konteksnya terhadap PDB jurnal," ungkap Cahyono.
Cahyono memaparkan, sebanyak 50 persen pekerja rumah tangga mengalami kekerasan fisik dan psikis di tempat kerja. Bahkan 90 persen lebih dari mereka tidak memiliki perjanjian kerja dan tidak memiliki jaminan sosial. Pengabaian hak-hak pekerja rumah tangga dapat melanggengkan eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja, serta tidak memiliki payung hukum dari permasalahan yang mereka hadapi.
Oleh karena itu, Cahyono menyatakan sikap bahwa pekerja rumah tangga bukanlah pembantu, tetapi pekerja yang harusnya memiliki sistem dan perlindungan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Dia mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PPRT.
"Kami meminta agar DPR dan pemerintah itu berpihak secara tegas kepada rakyat, dalam hal ini adalah dalam mengesahkan Undang-undang PPRT," tegasnya.
Dian Yudianingsih dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) memiliki pendapat yang sama dengan Cahyono. Ia menegaskan, pekerja rumah tangga merupakan setara dengan profesi lain. Hadirnya RUU PPRT dapat mematahkan stigma "pembantu" dari pekerja rumah tangga dan pengakuan profesi yang layak.
Menurut International Labour Organization (ILO), pada tahun 2012 pekerja rumah tangga di Indonesia berjumlah 4,2 juta dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahunnya.
Dian juga memaparkan mayoritas pekerja rumah tangga adalah perempuan yang rentan terhadap eksploitasi, kekerasan verbal, fisik hingga pelecehan seksual. Sehingga, perlu adanya perlindungan hukum untuk menjamin hak-hak mereka dalam bekerja. Hal ini termasuk upah, jam kerja, tunjangan hari raya, jaminan sosial tenaga kerja, kompensasi PHK, hak istirahat, cuti, dan standar kerja yang layak.
"Wilayah kerja PRT yang bersifat domestik, membuat mereka kurang terkontrol dan kurang diawasi oleh pemerintah," jelasnya.
Senada dengan Dian, Angga Saputra dari Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (FSPBI) menyatakan pentingnya pengesahan RUU PPRT bagi seluruh lapisan kelas pekerja di Indonesia. Karena pekerja rumah tangga sering kali diasosiasikan bekerja di ruang-ruang privat bahkan di wilayah yang sangat domestik. Sehingga mereka sering mendapat stigma sebagai kelompok pekerja di kelas dua. Mereka tidak menjadi prioritas bagai negara dalam memberikan perlindungan secara utuh.
Pembiasaan ruang-ruang ini, ujarnya, berpotensi merambah ke seluruh sektor pekerjaann lainnya. Angga mengartikan, perjuangan RUU PPRT pada dasarnya memiliki irisan kuat terhadap sektor pekerjaan lain. Ia mengajak seluruh serikat buruh untuk terus mendorong opini publik dan mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU PPRT di tahun ini.
"Penguatan narasi publik bersama menjadi penting, aksi kolektif bersama, menyatukan agenda perjuangan secara bersama-sama, konsolidasi rutin secara terbuka bersama-sama, menjadi hal yang sangat strategis bagi koalisi ini untuk terus mendorong pengesahan RUU PPRT," jelas Angga.

Perlindungan Konkret yang Diatur RUU PPRT
Emilia Yanti Siahaan dari Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyatakan, upaya pengesahan RUU PPRT dilakukan selama 21 tahun dan melewati tiga rezim pergantian rezim pemerintah. Tapi RUU PPRT tidak kunjung disahkan bahwa pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius terhadap isu pekerja rumah tangga.
Padahal, kata Emilia, dengan adanya payung hukum yang resmi pekerja rumah tangga dapat terlindungi dan diakui sebagai pekerja. Bahkan menurutnya, perlu ada edukasi masif kepada para pekerja rumah tangga agar mereka menyadari akan peran dan hak-haknya dalam bekerja.
"Bahkan serikat buruh sendiri itu juga perlu diedukasi soal RUU PPRT, kenapa dia harus misalnya didukung dan diakui menjadi bagian pekerja, jadi tidak ikut dengan definisi yang salah," papar Emilia.
Pendapat lain datang dari Abdul Gofur dari SERBUK. Menurutnya, saat ini masih berlaku penyebutan pembantu dari pekerja rumah tangga yang dikategorikan sebagai pekerja informal. Hal ini membuat mereka rentan tidak mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum.
Padahal secara aktivitas, pekerja rumah tangga sudah memenuhi kategori pekerja dalam Undang-undang 13 Tahun 2003. Di mana pekerja adalah setiap orang yang bekerja menerima upah imbalan dan dalam bentuk lain.
"Padahal secara unsur-unsur, pekerja sudah terpenuhi, di mana ada pekerjaan, upah, dan perintah. Karena tidak termasuk dalam mendapatkan perlindungan secara undang-undang, sangat rentan dari pekerja rumah tangga ini mendapatkan pelanggaran-pelanggaran haknya baik di Indonesia maupun di luar negeri," jelasnya.
Dengan adanya pengakuan dan perlindungan hukum, paparnya, pekerja rumah tangga mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Karena selain itu, hukum resmi juga dapat melindungi pemberi kerja, khususnya mengenai keseimbangan dan kewajiban yang menguntungkan kedua belah pihak.
Selama 21 tahun RUU PPRT mandek, semua konfederasi menyatakan dukungan kolektif dan menyatukan tuntutan buruh formal dan pekerja rumah tangga dalam satu gerakan kelas pekerja.
Karena, menyamakan isu pekerja rumah tangga sebagai bagian dari perjuangan keadilan sosial seluruh kelas pekerja. Tidak ada pembebasan rakyat, tanpa adanya pembebasan perempuan
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

