Pekerja Rumah Tangga itu Mitra Kerja, bukan Budak
Perlakuan buruk terus menimpa Pekerja Rumah Tangga (PRT ) di Indonesia. Salah satunya akibat pendefinisian pekerjaan yang belum juga jelas.
Penulis Sherani Soraya Putri19 Juli 2023
BandungBergerak.id – Aminah (49 tahun), seorang pekerja rumah tangga (PRT), pernah punya mimpi besar untuk mengubah nasib dan membantu keluarga. Namun kenyataan tidak seperti yang dibayangkan. Selama tujuh tahun, sejak tahun 1988 ketika usianya masih 13 atau 14 tahun, dia harus bekerja sebagai PRT demi membantu keuangan keluarga.
Keinginan bersekolah disimpan rapat-rapat. Aminah mulai membantu tetangga, mulai dari mencuci pakaian, mengepel, hingga menyapu. Upahnya hanya cukup untuk uang jajan. Namun itu toh setidaknya meringankan beban orang tua.
Kemudian datang tawaran dari kakak Aminah yang sudah lebih dulu bekerja sebagai PRT di Tasikmalaya. Dia dipekerjakan sekaligus disekolahkan oleh majikannya itu, dengan mengandalkan ikatan persaudaraan. “Padahal sebetulnya dibilang saudara itu agar dibayar murah,” ujarnya, Rabu (15/2/2023) lalu.
Aminah biasanya mendapat upah satu tahun sekali. Kala itu paling besar 30 ribu rupiah per bulan, dan bertambah 5 ribu rupiah setiap tahunnya. Tidak ada libur atau cuti. Pulang ke rumah hanya mungkin ketka Lebaran saja.
Masih di usia belia, Aminah memilih untuk bertahan sekuat tenaga. Dia membutuhkan uang itu untuk memenuhi biaya sekolah adik-adiknya, selain sedikit memperbaiki perekonomian keluarga.
Semua pekerjaan dilakukan oleh Aminah, termasuk mengurus anak majikannya. Ketika datang waktu makan, majikannya tidak memperbolehkan dirinya untuk makan bersama, dan baru diperbolehkan makan setelah mereka semua selesai. Jika ada hasil pekerjaan yang tidak disukai majikan, Aminah pasti mendapat omelan. Tiga tahun berselang, Aminah baru mendapatkan kepercayaan untuk bekerja sebagai PRT.
“Namun dengan itu, malah dijadikan alat agar dirinya dapat dimanfaatkan tenaga kerjanya secara berlebihan," ujarnya. "Mereka inginnya sesuai dengan keinginannya.”
Aminah pernah dimarahi gara-gara melakukan kesalahan. Kala itu dia baru pertama kali datang bulan, bingung menyimpan celana bekas datang bulannya, dan akhirnya dia taruh di ember. Dia harus bergegas mengepel lantai. Di tengah pekerjaannya itu, Aminah diminta sang majikan menjemput anaknya. Majikannya meneruskan pekerjaan Aminah mengepel lantai. Mencelupkan pel di ember, dia mendapati celana kotor sang PRT.
“Kagetnya, ketika datang, saya langsung dimarahi habis-habisan. Pokoknya saya sampai tidak terbayang, apalagi waktu itu saya kerja sendirian,” kenang Aminah.
Perilaku tidak mengenakkan terus berlanjut menimpa Aminah. Salah satunya ketika dia jatuh sakit. Mirisnya, dia harus menahan rasa sakitnya, dan baru diperiksakan ke dokter ketika sudah parah. Sedangkan saat itu sulit juga untuk berkomunikasi dengan keluarga karena keterbatasan teknologi informasi.
Cerdiknya Aminah, di tengah kerentanan yang dialami olehnya sebagai PRT, dia tidak berhenti belajar, meski secara sembunyi-sembunyi. Pengetahuannya terkait dengan para pekerja di luaran sana semakin bertambah. Dia juga membaca informasi tentang pembantu yang mendapatkan kekerasan fisik. Termasuk kejadian Marsinah, seorang buruh yang dipaksa meregang nyawa.
Suatu waktu Aminah berkata kepada majikannya tentang kabar seorang pembantu yang hidungnya dipukul dengan ulekan. Namun majikannya merespons dengan berkata “Kamu mau diperlakukan begitu?" Aminah merasa takut dan khawatir dengan kata-kata dari majikannya itu.
Belajar Prihatin
Engkar Karwati (67 tahun) punya ceritanya sendiri. Bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) sejak usia 10 tahun, tidak ada peningkatan upah yang layak baginya. Perempuan yang memiliki empat anak ini harus memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan upah 50 ribu rupiah per hari, atau sekitar 1,2 juta rupiah per bulan.
Sistem pengupahan yang diterima Engkar pernah berubah. Dari bulanan ke mingguan. Ketika tidak masuk kerja, secara otomatis dia tidak akan mendapatkan upah.
“Dari dulu sudah mandiri. Kalau sudah tua, aku mah mau kerja. Aku pengen punya uang sendiri, jadi dari dulunya udah belajar prihatin,” kata Engkar.
Engkar mengenyam pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD), dan berujung memilih bekerja. Mulanya sebagai cadangan, sebelum berlanjut sebagai tenaga utama.
Hingga usia senja kini, Engkar sudah bekerja di banyak daerah. Saat ini dia menjadi PRT di kawasan Baleendah, Kabupaten Bandung.
Pengalaman bekerja paling lama sebagai PRT di satu keluarga dilakoni Engkar di Cijerah. Lima tahun, tepatnya. Dari anak majikannya masih TK (Taman Kanak-kanak) sampai kelas 6 SD. Majikannya pasangan suami istri yang bekerja di kepolisian. Saat anak majikannya sudah memasuki SMP (Sekolah Menengah Pertama), Engkar diberhentikan sepihak.
Pernah di suatu waktu Engkar merasa bosan bekerja sebagai PRT. Dia memutuskan berhenti, lantas mencoba berjualan buah-buahan. Namun usahanya tidak berhasil. Akhirnya, Engkar kembali menjadi PRT. Satu-satunya pekerjaan yang bisa dia lakukan.
Engkar memperoleh pekerjaan sebagai PRT dengan mengandalkan kenalan atau tetangga. Tidak pernah lewat yayasan penyalur.
“Dulu pernah ditawari masuk yayasan, tapi gak mau, karena banyak potongannya,” jelas Engkar yang pernah juga menolak tawaran bekerja di luar negeri.
Meskipun berada di usia senja, Engkar masih bersemangat untuk bekerja. Dia merasa masih cukup bugar. Lagipula, dia tidak mau membebani anak-anaknya.
Baca Juga: Aksi Solidaritas Koalisi Masyarakat Sipil Bandung Mendesak DPR Segera Sahkan RUU PPRT
May Day 2023 di Bandung: Persoalan Buruh masih Laten, Kelas Pekerja Harus Bersatu
Ironi Pemidanaan Buruh Tani Garut dan Petani Milenial Jawa Barat
Memperpanjang Ketidakadilan
Selama bertahun-tahun ketiadaan pengakuan dan perlindungan hukum bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam konteks sebagai pekerja, memperpanjang ketidakadilan bagi mereka. Adanya Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 02 tahun 2015, nyatanya belum bisa dijadikan payung hukum. Perlu suatu regulasi yang komprehensif untuk mengakomodasi hak-hak PRT. Salah satunya berupa Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang diharapkan dapat melindungi kepentingan hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja.
“Kekerasan terhadap PRT sudah dari dulu, tapi responsnya sangat parsial dan terpisah-pisah. Setelah itu ada kebutuhan untuk mengkoordinasi ini, dan menyelesaikan secara struktural. Jadi kita tidak menyelesaikan seperti pemadam kebakaran,” tutur Staff Capacity Building & Monitoring Evaluation JALA PRT Ari Ujianto, Sabtu (24/6/2023).
Berdasarkan data Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT dan Universitas Indonesia, diketahui jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang pada 2015 dan menjadi 5 juta orang tahun 2022. Merujuk survei JALA PRT, dari tahun 2017 sampai 2023 tercatat sebanyak 3.416 kasus kekerasan terhadap PRT. Di sepanjang 2023 ini saja, terdapat 600 kasus yang dilaporkan. Termasuk di antaranya adalah penyekapan, perampokan akses komunikasi, penyiksaan, penghapusan gaji, dan penyitaan dokumen penting seperti KTP dan ijazah.
Ari melihat, PRT sekarang ini masih dilihat sebagai manusia kelas dua. Pekerjaannya tidak ditetapkan sebagai pekerja sesungguhnya. Secara perekonomian, mereka juga berada di kelas bawah, dengan lingkungan kerja yang eksploitatif, patriarkis, dan feodal. Lewat kampanyei dan pengorganisasian, JALA PRT ambil bagian dalam perjuangan agar RUU PPRT segera disahkan menjadi undang-undang.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jabar Rachmat Taufik Garsadi mengakui bahwa para pekerja rumah tangga (PRT) berada di pihak yang lemah, dan sangat rentan mendapatkan kekerasan. Sala satunya karena tidak ada kejelasan, baik secara lisan maupun tertulis, tentang tugas pokok mereka. Tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi faktor yang mengawetkan lingkaran kekerasan kepada PRT secara struktural.
“Nah yang berat itu mereka yang tidak punya pendidikan dan akhirnya bekerja ke luar negeri,” tuturnya, Kamis (22/7/2023).
Walaupun Permenaker Nomor 02 tahun 2015 sudah mengatur hubungan kerja sama antara pemberi kerja dan pekerja, serta aturan perlindungan dari penyalur kerja, Rachmat menyebut sanksinya tidak begitu kuat karena hanya mengikat secara administrasi saja. Peraturan ini juga belum optimal melindungi PRT yang bekerja tanpa lembaga. Posisi mereka masihlah rentan sekali.
Pekerjaan Rumah Bersama
Pembela Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jawa Barat, yang bergaung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Deti Sopandi mengungkapkan bahwa PRT perlu memiliki tempat mengadu yang bisa memberikan perlindungan. Jangan sampai semakin banyak dari mereka yang akhirnya bertahan kerja semata karena takut tidak akan memperoleh pekerjaan di tempat lain.
“Karena kalau mereka tidak bergaul dengan kawan-kawan yang lain, ketika merasa sedih, sakit, apa pun itu, mereka sendirian. Apalagi lagi sakit aja, mereka harus terus bekerja,” ucapnya, Rabu (15/2/2023).
Deti menyoroti upah PRT yang umumnya masih di bawah Upah Minimum Provinsi Jawa Barat yang besarnya 1.986.670,17 rupiah. Tidak terkecuali mereka yang sudah bekerja selama bertahun-tahun tanpa mendapatkan kenaikan upah. Di tambah lagi kerentanan akibat tinggal di rumah majikan. Para PRT kehilangan lingkungan sosial mereka akibat jam kerja yang tidak diatur.
Malangnya, di kawasan Bandung, belum ada serikat yang fokus menaungi PRT. Baru di Jakarta ada serikat pekerja untuk PRT, seperti JALA PRT. “Perlindungan untuk para PRT ini sendiri, masih belum familiar,” kata Deti.
Deti miris menyaksikan RUU PRT tidak kunjung disahkan setelah 19 tahun lamanya. Dia membandingkan dengan UU Omnibus Law atau RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang dengan cepat disahkan. Padahal RUU PRT dibutuhkan untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan PRT.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengatakan, selama ini PRT belum terdefinisikan secara hukum, dan ini memperkuat ketidakadilan dalam ruang kerja mereka. Sebagian besar PRT terjebak dengan sistem kerja informal. Bahkan sebagian menitipkan dirinya untuk mendapatkan tempat tinggal dengan bekerja sebagai PRT.
Dalam kenyataannya, terdapat perbedaan antara PRT Indonesia di luar negeri yang memiliki regulasi hukum merujuk aturan di negara penerima dan PRT dalam negeri yang belum dianggap secara resmi sebagai kategori pekerja formal dalam persepsi pemerintah atau umum. Akibatnya, perlakuan hukum yang konkret tidak menyentuh para PRT di negeri sendiri. Contohnya adalah terjadinya praktik pemberian upah yang lambat serta perlakuan kasar secara fisik maupun psikis.
“Dengan konsensus yang tidak terjadi di atas kertas, seringkali menimbulkan pelanggaran-pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya kekerasan kepada mereka,” ujar Usman (15/2/2022).
Sistem penyaluran juga sering merugikan PRT. Para makelar hanya menjadi penghubung antara yang membutuhkan dan yang mencari pekerjaan, tidak mencakup perlindungan secara komprehensif. Makelar nakal tidak akan memedulikan faktor keamanan tempat kerja PRT demi mengejar komisi.
Menurut Usman, salah satu penyebab terpeliharanya praktik buruk yang menimpa PRT adalah belum terdefinisikannya secara jelas pekerjaan PRT itu sendiri. Dia membandingkan dengan pekerjaan di pabrik yang sudah jelas jam, tugas, serta fungsinya. Berbeda dengan PRT yang tidak memiliki kesepakatan volume kuantitas dan kualitas pekerjaan. “Celah-celah itu yang menyebabkan banyaknya terjadi kekerasan,” ujarnya.
Kerentanan berikutnya muncul karena ketiadaan lembaga yang menjadi tumpuan jika terjadi kekerasan. Kalau bekerja di pabrik, setidaknya ada mandor. Di sini tidak ada, sehingga praktik kekerasan terakumulasi.
Usman berpendapat, setelah RUU PPRT nantinya ditetapkan, pekerjaan rumah bukan berarti selesai. Banyak hal harus dituntaskan. Harus ada indikator yang jelas agar tidak terjadi pembiaran praktik menyalahi peraturan perundangan-undangan. Setiap PRT juga perlu memahami adanya indikasi-indikasi kekerasan yang menimpa mereka, dan tahu apa yang kemudian harus dilakukan.
“Pemerintah harus hadir dengan adanya perlindungan," kata Usman. "Mereka (para PRT) harus ada pengakuan dulu, dilindungi oleh regulasi.”
Satu Kanal untuk Penempatan PRT
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jabar Rachmat Taufik Garsadi berharap agar UU PPRT segera ditetapkan. Ia juga berharap muncul pelibatan berbagai lembaga dalam pelaksanaan aturan tersebut, mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, hingga Dinas Pemberdayaan Perempuan. Tanggung jawab ini mesti dipikul bersama oleh semua pemangku kepentingan.
“Karena sangat susah sekali untuk mengubah pola pikir terhadap pekerja rumah tangga, bahwa PRT itu mitra kerja, bukan budak,” tuturnya.
Rachmat membandingkan pengelolaan PRT dengan peraturan Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Kerajaan Arab Saudi melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK). Regulasi tersebut menjamin keamanan dalam penempatan PMI karena dibatasi boleh dilakukan oleh perusahaan Indonesia dan Arab Saudi yang sudah terklasifikasi dan sudah memenuhi persyaratan yang ada dalam sistem. PMI juga memperoleh jaminan untuk mendapatkan berbagai macam pelatihan untuk meningkatkan keterampilan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
“Ini juga harus jadi catatan para anggota dewan," tuturnya. "Kita seharusnya malu juga terus menuntut negara-negara penerima TKI harus taat terhadap peraturan tersebut, sementara di dalam negeri kita tidak punya aturan yang melindungi PRT.”
Rachmat mengusulkan pembuatan satu kanal yang bisa diterapkan kepada PRT. Semua informasi tetang pekerjaan disampaikan secara jelas. Setelah bekerja, mereka juga tidak perlu tinggal di tempat majikannya, melainkan di tempat penyalur. Alhasil, PRT bisa memiliki cukup waktu pribadi dan bebas beraktivitas.
Staff Capacity Building & Monitoring Evaluation JALA PRT Ari Ujianto mengungkapkan bahwa sekarang ini adalah tahapan yang paling maju dalam pembahasan RUU PRT dibandingkan sebelum-sebelumnya. Rancangan ini sudah menjadi RUU Inisiatif DPR, sementara pemerintah sudah menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah diserahkan pula kepada DPR. Tahapan berikutnya adalah pembahasan di dalam Panitia Kerja (Panja), sebelum dibawa ke rapat paripurna.
“Kita terus mendesak, sebelum reses Juli dan pertengahan Juli itu sudah diputuskan, dan sudah berlaku,” tutur Ari.