• Opini
  • Lagu Goong Renteng Embah Bandong dan Sejarah Sesar Lembang

Lagu Goong Renteng Embah Bandong dan Sejarah Sesar Lembang

Lagu-lagu gamelan Goong Renteng Embah Bandong milik situs Bumi Alit Kabuyutan menyajikan pengetahuan lokal masyarakat terkait sejarah terbentuknya Sesar Lembang.

Anna Joestiana

Ketua Relawan Penanggulangan Bencana Lembang

Lembah Kota Bandung sekitar Dago terlihat dari gawir Sesar Lembang di kawasan wisata Tebing Keraton, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, 11 September 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

1 Desember 2025


BandungBergerak.id – Selain legenda Sangkuriang, pengetahuan lokal yang menggambarkan peristiwa bumi di wilayah Cekungan Bandung adalah lagu gamelan Goong Renceng Embah Bandong yang berasal dari Situs Bumi Alit Kabuyutan, Desa Batukarut, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Gamelan Goong Renteng Embah Bandong merupakan salah satu jenis gamelan yang sudah cukup tua, paling tidak sudah dikenal sejak abad ke-16. Berdasarkan keterangan dari buku Nyucruk Galur Mapay Raratan Riwayat Lebakwangi-Batukarut (1994), diketahui bahwa sejak dahulu Gamelan Goong Renteng Embah Bandong selalu disajikan dalam setiap acara pelantikan atau peringatan besar kenegaraan. Mulai dari pelantikan Bupati Bandung I Tumenggung Wira Angun-angun di Krapyak (Dayeuhkolot) tahun 1641-1681, sampai pada pelantikan Bupati Bandung XIV R. T. E. Suriaputra di Bandung tahun 1945-1947. Kemudian undangan pertunjukan dari Bupati Bandung Sani Lupias (1980-1985), pelantikan Aang Kunaefi menjadi gubernur Jawa Barat (1975-1985), serta undangan pertunjukan dari Presiden Soekarno.

Menurut Budi Rahayu Tamsyah (2020), Baheula mah goong rénténg téh sok ditabeuh pikeun ngareuah-reuah pésta kanagaraan di kabupatén. Goong rénténg Embah Bandong ogé kungsi ditabeuh dina acara Congres Java Institut di Bandung, tanggal 17 Juni 1921. Hanjakal ayeuna mah goong rénténg téh geus kurang dipikawanoh. Malah bisa jadi kalolobaanana urang Sunda teu apal, yén goong rénténg téh gamelan has Sunda”.

Hari ini sangat penting lagu tersebut untuk dihadirkan kembali terutama bagi generasi muda sebagai pewaris budaya Sunda yang sangat berharga terutama untuk memperkaya literasi mitigasi bencana. Beberapa lagu Gamelan Goong Renteng Embah Bandong menggambarkan peristiwa meletusnya Gunung Sunda, terbentuknya Danau Bandung Purba, gempa bumi, tanah retak dan terbelah, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Menurut Penasihat Lembaga Sasaka Waruga Pusaka, Wawan Suherman (2019), gamelan Goong Renceng Embang Bandong memiliki sebanyak 14 lagu. Lagu nomor 1 sampai 7 lebih banyak menceritakan keadaan daerah Lebakwangi-Batukarut pada masa lampau. Sedangkan lagu 8 sampai lagu 14 lebih banyak menceritakan tentang cerita sejarah datangnya Goong Rénténg Embah Bandong ke wilayah Lebakwangi-Batukarut.

Tulisan ini mencoba mengintegrasikan dua buah lagu, yaitu Gonjing Patala dan lagu Galumpit sebagai pengetahuan lokal dengan beberapa pendapat dari ahli kebumian. Dengan demikian diharapkan dapat memudahkan pemahaman masyarakat terkait sejarah terbentuknya Sesar Lembang.

Baca Juga: Memetakan Sesar Aktif Jawa Barat setelah Guncangan Gempa dari Bandung hingga Bekasi
Menyoal Informasi di Media Sosial tentang Ancaman Gempa Bumi Sesar Lembang yang Meresahkan

Lagu Gonjing Patala

Berdasarkan cerita lisan yang secara turun-temurun berkembang di masyarakat Lebakwangi-Batukarut, lagu Gonjing Patala  nyaeta lagu anu ngagambarkeun oyagna lemah dina keur bituna gunung anu gede nyaeta Gunung Sunda (Menggambarkan peristiwa gempa bumi pada saat meletusnya Gunung Sunda). Seperti yang dikatakan salah satu tokoh masyarakat, H. Uko Rukanda (1997). Bahwa lagu ini menggambarkan daerah Bandung berasal dari letusan  gunung yang sangat besar, yaitu Gunung Sunda. Letusannya sangat besar sehingga menyebabkan gempa vulkanik (genjlong), sehingga mengakibatkan terbentuknya danau Bandung purba yang kini kalderanya  jadi permukiman di kawasan Bandung Raya. Gunung tersebut meledak satu kali, namun mengakibatkan bencana alam yang dahsyat dan kerusakan berat, tanah-tanah bergeser, bahkan ombak laut menyemburkan airnya ke daratan, sehingga tanah-tanah tersebut terendam oleh air laut.  

Terjadinya peristiwa gempa bumi (genjlong) dalam lagu Gonjing Patala memiliki kesesuaian dengan istilah “penyesaran kesatu” yang dikatakan R. P. Koesoemadinata (1981). Bahwa saat itu telah terjadi peristiwa runtuhnya Gunung Sunda dan pembentukan kaldera pada sekitar 100-200 ribu tahun yang lalu. Kemudian terjadi “penyesaran kesatu” di Sesar Lembang bagian timur di sekitar Palintang-Desa Cipanjalu sampai ke Batureok-Desa Gudangkahuripan. Daerahnya meliputi Palintang, Gunung Palasari, Batu Lonceng, Pasir Pangukusan, Pasir Babagongan, Tebing Keraton, Maribaya, Pasir Malang, Dago Giri, Gunung Batu, Pagerwangi, Pasir Handap, Pangjebolan, Sinapeul, dan Batureok.

Lagu tersebut juga sesuai dengan yang dikatakan Awang Harun Satyana (2021), bahwa runtuhnya Gunung Sunda tersebut mengakibatkan terbentuknya Sesar Lembang segmen timur dari hasil aktivitas vulkanis dari dua gunung api di dekatnya. Jadi Sesar Lembang adalah sesar lama, dulunya terjadi karena collapse (runtuhan) Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Parahu yang terjadi pada sekitar 105 ribu hingga 24 ribu tahun yang lalu.

Referensi lainnya dari Haryanto (2006) yang mengatakan bahwa Gunung Sunda meletus dan menyisakan material runtuhan yang cukup sedikit dan berkembang menjadi wilayah tampungan magmatis akibat kekosongan ruang pada gunung tersebut. Hal ini mengakibatkan material batuan hasil erupsi Gunung Sunda patah berbentuk memanjang sejajar dari timur-barat dan mengalami penurunan pada bagian timurnya. Pada saat inilah Sesar Lembang segmen timur terbentuk antara 200.000 105.000 tahun yang lalu, lebih awal dari segmen barat yang masih terbentuk pada 27.000 tahun yang lalu.

Jadi dapat dikatakan bahwa lagu Gonjing Patala merupakan pengetahuan lokal yang memiliki kesesuaian dengan peristiwa kebumian yaitu “penyesaran kesatu” atau terbentuknya Sesar Lembang bagian timur.

Lagu Galumpit

Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat Lebakwangi-Batukarut, lagu Galumpit nyaeta lagu anu ngagambarkeun lemah di kiduleun Gunung Sunda rarengat, barejad, malah anu neundeut ngajadi jurang anu jarero ngagarupit, malah ambles jadi gawir-gawir nu lungkawing. Kaayaan lirih, simpe sabada bituna Gunung Sunda. (menggambarkan terjadinya gempa bumi di bagian selatan Gunung Sunda, tanah retak dan terbelah, bahkan membentuk celah-celah lembah yang curam, bahkan terjadi penurunan tanah sehingga tercipta jurang-jurang yang dalam. Kemudian situasi menjadi sunyi sepi setelah Gunung Sunda meletus).

Seperti yang dikatakan salah satu tokoh masyarakat H. Uko Rukanda (1997), bahwa lagu ini menceritakan permukaan tanah bagian selatan Gunung Sunda retak bahkan amblas menjadikan tebing-tebing yang curam dan dalam, sehingga keadaan permukaan tanah seperti celah-celah bukit. Keadaan sunyi senyap (simpe) setelah Gunung Sunda meletus.

Terjadinya peristiwa tanah retak dan terbelah sehingga membentuk jurang-jurang yang curam dalam lagu Galumpit tersebut memiliki kesesuaian dengan istilah “penyesaran kedua” serta pergeseran sesar, baik pergeseran sesar mendatar atau pergeseran sesar turun-naik seperti yang dikatakan para ahli kebumian.

Menurut R. P. Koesoemadinata (1981), sekitar 3.000 tahun yang lalu di sekitar Gunung Burangrang dan utara Gunung Tangkubanparahu telah terjadi “penyesaran yang kedua”. Sedangkan kemudian yang dikatakan oleh Tjia (1968), bahwa pergeserannya selain menunjukkan arah gerak patahan normal (dip-slip), juga memiliki komponen gerak patahan geser-jurus/strike-slip yang berarah sinistral. Juga pendapat dari Mudrik R. Daryono (2025) yang menjelaskan bahwa terjadi pergeseran di Sesar Lembang baik yang pergeseran mendatar ataupun pergeseran turun-naik (vertical).

Kemudian Mudrik Daryono (2017) menjelaskan bahwa secara keseluruhan pergerakan Sesar Lembang didominasi oleh pergeseran mendatar, yaitu sekitar 80 sampai 100 persen dan pergeseran naik-turun sekitar 0 sampai 20 persen. Pergeseran Sesar Lembang lebih banyak mendatar ke arah kiri, sehingga bagian utara dan selatan sesar bergerak saling berlawanan. Buktinya adalah pergeseran Sungai Cimeta sejauh 120 meter, bahkan di beberapa lokasi mencapai 460 meter (Sungai Cimahi). Di kilometer 0 sampai kilometer 6, permukaannya masih datar, lalu naik hingga sekitar 90 meter sebelum kembali mengecil ke arah timur. Akibat pergerakan sesar secara vertikal tersebut kemudian menyebabkan sungai terbendung sehingga membentuk lima danau yang menyebar di sepanjang sisi atas/utara sesar, beberapa di antaranya adalah Situ Umar, Situ Cibeureum, Situ Cihideung, dan Situ Ciwaruga.

Di sekitar zona Sesar Lembang bagian barat banyak ditemukan gawir-gawir (tebing), air terjun (curug), sungai, dan bukit (pasir). Penampakannya dapat dilihat memanjang mulai dari Pasir Jati, Sungai Cihideung, Pasir Wangi, Sungai Cibeureum, Sungai Cigugur, Pasir Sereh, Pasir Nyampay, Pasir Panjang, Sungai Cimahi, Curug Cimahi (Curug Pelangi), Curug Anom, Pasir Halang, Gunung Leutik, Leuwi Dulang, Curug Cimanggu sampai menghilang di dekat Situ Ciburuy.

Peristiwa “penyesaran kedua” tersebut menurut Rasmid (2014), terjadi sekitar 27.000 tahun yang lalu. Jadi segmen timur umurnya lebih tua dibandingkan segmen barat. Kedua segmen tersebut bertemu di wilayah bagian tengah sekitar perbukitan Gunung Batu-Bosscha. Kedua segmen ini tidak tepat segaris, tetapi membentuk offset sekitar 200 – 300 meter.

Sebelumnya dapat dikatakan bahwa lagu Gonjing Patala merupakan istilah lokal untuk “penyesaran kesatu”, sedangkan lagu Galumpit merupakan istilah lokal untuk “penyesaran kedua”.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//