• Opini
  • Banjir di Pangalengan, Penggundulan Kebun Teh, dan Mengapa Kita Butuh Uang

Banjir di Pangalengan, Penggundulan Kebun Teh, dan Mengapa Kita Butuh Uang

Kita sudah terlalu lama hidup dalam sistem yang membuat kita lupa bahwa manusia pernah dan mungkin bisa hidup lagi tanpa berlutut pada uang.

Taufiq Rizky Kawitan

Warga Pangalengan

Suasana luapan air sungai di kawasan kebun teh dan permukiman warga di Pangalengan, Kabupaten Bandung. (Foto: Taufiq Rizky Kawitan)

1 Desember 2025


BandungBergerak – Hujan deras yang mengguyur kawasan Pangalengan, Kabupaten Bandung pada suatu sore pekan lalu segera diikuti luapan air yang membanjiri sebagian kebun yang ada di tepi sungai. Di media sosial tersiar kabar tentang rumah-rumah warga yang juga tergenang. Bencana di kawasan yang berada di ketinggian sekitar 1400 meter di atas permukaan laut (Mdpl) ini menegaskan bahwa alam masih memegang kuasa, meski manusia sibuk mengelola setiap jengkal tanah demi kebutuhan hidupnya.

Dalam sebuah video yang viral, seorang pemilik rumah mengutuk para penebang kebun teh yang mengalihfungsikan lahan menjadi kebun sayur. Air yang seharusnya meresap ke dalam tanah, tertahan di permukaan gundul lalu mengalir ke permukiman. Melihat itu, saya bergumam: Bandung sedang berjalan kembali menjadi danau purba.

Namun bukan soal lingkungan yang ingin benar-benar dibahas di sini. Saya bukan ahli hidrologi dan tidak yakin apakah penggundulan kebun teh secara langsung menyebabkan banjir sedrastis itu. Di desa lain, fenomena tebang-tebas serupa sudah terjadi bertahun-tahun tanpa banjir hebat. Alam punya logikanya sendiri—yang tidak sepenuhnya sejalan dengan dugaan manusia.

Nilai Tukar dan Pasar

Beberapa hari setelah banjir, muncul video lain: sekumpulan ibu-ibu pemetik teh menangis dan protes. Mereka tidak memperdebatkan akar tanaman atau daya serap tanah. Mereka bukan sedang mengeluhkan kerusakan lingkungan. Kekhawatiran mereka adalah soal penghasilan: jika kebun teh habis, kepada siapa lagi mereka bekerja? Apa yang akan dijual dari hasil kerja tangan mereka?

Air banjir memang mengalir dari bukit, tetapi kecemasan mereka mengalir dari perut yang harus diisi. Bagi mereka, hilangnya kebun teh berarti hilangnya ruang hidup. Tanpa pekerjaan, kehidupan terputus. Sering kita menganggap banjir sebagai ancaman terbesar. Padahal ada banjir lain yang lebih sunyi: banjir nilai tukar.

Kenapa kebun teh ditebang? Kenapa petani beralih menanam sayur yang cepat panen? Kenapa lahan berubah mengikuti musim harga, bukan musim alam? Jawabannya sederhana: harga.

Ketika daun teh murah dan kol mahal, maka teh ditebang dan kol ditanam. Tidak ada sentimentalitas untuk mempertahankan lanskap hijau yang cantik. Alam kehilangan ruang karena alasan ekonomi, bukan karena kebodohan manusia. Keputusan diambil bukan berdasarkan nilai ekologis, tetapi nilai tukar.

Ironisnya, pasar tidak hadir saat air meluber. Pasar tidak peduli sungai tercemar atau rumah terendam. Pasar hanya peduli pada satu hal: apakah suatu barang bisa dijual.

Hidup kita tidak lagi dijalankan oleh kebutuhan manusia, melainkan oleh kebutuhan uang. Ritme hidup bukan mengikuti alam, tetapi mengikuti naik-turunnya harga. Salah satu ironi besar kehidupan modern adalah: uang yang awalnya diciptakan untuk mempermudah hidup, kini justru mengatur hidup manusia. Ia bukan lagi alat, tetapi tuan. Pencipta tunduk pada ciptaannya sendiri.

Padahal, dalam sejarah panjang manusia, uang tidak selalu menjadi pusat kehidupan. Ellen Meiksins Wood pernah menulis bahwa uang sudah hadir ribuan tahun sebagai alat tukar dan penanda nilai. Namun umur uang sebagai modal yang mengatur hidup manusia, baru ratusan tahun. Jika sejarah manusia berusia sekitar 300.000 tahun, maka kehidupan yang segalanya ditentukan uang hanyalah bab yang sangat singkat: sekitar 300–400 tahun terakhir. Perbandingan itu sangat jomplang: ratusan ribu tahun manusia hidup tanpa terbelenggu uang dan ratusan tahun terakhir kita hidup sepenuhnya tunduk pada uang.

Dulu manusia berburu, bertani, bertukar barang, berbagi hasil, atau hidup dari produksi langsung tanpa perantara nilai tukar. Kini, kita tidak bisa makan, minum, atau bertahan hidup tanpa uang. Jika dulu manusia bisa hidup tanpa bekerja demi uang, mengapa sekarang tidak?

Ini bukan nostalgia masa lalu, tetapi pertanyaan jujur tentang sistem hidup yang kita jalani. Sistem ini tidak alami. Sistem ini adalah ciptaan sejarah tertentu: perubahan tanah, perubahan cara kerja, perubahan cara hidup. Kini sistem itu seperti udara—tak terlihat tetapi menentukan hidup-mati manusia.

Baca Juga: Hutan dan Pertanian Bandung Selatan Dicabik Alih Fungsi Lahan, Bencana Ekologi Dikhawatirkan Meningkat
Banjir Bandung Selatan Merendam Permukiman dan Memutus Akses Jalan-jalan Desa

Ketidakadilan dalam Sistem

Kembali ke Pangalengan, kita melihat dua kengerian sekaligus: rumah yang terancam terendam dan hidup yang terancam terputus. Yang satu takut air, yang lain takut kemiskinan. Namun keduanya berbicara tentang hal yang sama: ketidakadilan dalam sistem yang menentukan siapa berhak hidup layak.

Sistem itu tidak peduli siapa yang menanam, siapa yang memetik, siapa yang tenggelam. Yang penting kebutuhan uang terpenuhi. Kita bisa menyalahkan alam, petani, pemetik teh, atau pemerintah desa, tetapi pada akhirnya kita sedang memukul angin. Aktor utamanya bukan satu orang, melainkan struktur yang lebih besar daripada semua itu. Dan struktur itu telah mengubah cara kita melihat dunia: tanah menjadi investasi, air menjadi ancaman jika tidak menghasilkan uang, pekerjaan menjadi syarat untuk hidup.

Betapa aneh: manusia tunduk pada benda mati bernama uang. Jika uang sudah ada ribuan tahun tetapi uang sebagai kekuatan yang mengatur hidup manusia baru berumur ratusan tahun, kita pantas bertanya: apakah kita harus hidup seperti ini selamanya? Apakah tidak mungkin membayangkan dunia di mana manusia hidup berdasarkan kebutuhan, bukan harga? Di mana pekerjaan bukan syarat untuk makan, melainkan bagian dari hidup bersama?

Sering orang menyebut ini utopis. Mungkin justru karena kita sudah terlalu lama hidup dalam sistem yang membuat kita lupa bahwa manusia pernah dan mungkin bisa hidup lagi tanpa berlutut pada uang. Ketika ibu-ibu pemetik teh menangis, mereka bukan hanya menangisi hilangnya pekerjaan. Mereka menangisi dunia yang memaksa mereka hidup berdasarkan nilai tukar, bukan nilai hidup. Ketika air meluap ke rumah warga, itu bukan sekadar karena hujan. Itu adalah cermin dari sistem yang mengatur ruang hidup berdasarkan logika pasar.

Mungkin Pangalengan sedang mengajarkan sesuatu kepada kita. Bukan tentang banjir, bukan tentang kebun teh, bukan tentang sayuran, tetapi tentang siapa sebenarnya yang mengatur hidup kita, dan apakah kita ingin terus hidup di bawah aturan itu. Pertanyaan paling jujur untuk hari ini adalah: jika manusia dulu pernah bisa hidup ratusan ribu tahun tanpa tunduk pada uang, mengapa sekarang tidak?

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//