• Berita
  • Hutan dan Pertanian Bandung Selatan Dicabik Alih Fungsi Lahan, Bencana Ekologi Dikhawatirkan Meningkat

Hutan dan Pertanian Bandung Selatan Dicabik Alih Fungsi Lahan, Bencana Ekologi Dikhawatirkan Meningkat

Jumlah sawah dan hutan di Kabupaten Bandung atau Bandung Selatan terus berkurang. Mengancam bencana ekologi di Cekungan Bandung (Bandung Raya).

Gunung di Bandung selatan, terlihat dari kawasan Ibun, Kabupaten Bandung, Jumat (24/9/2021). Salah satu kekayaan Indonesia adalah hutan tropisnya yang luas, kedua di dunia setelah Brazil. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana28 April 2025


BandungBergerak.id - Bandung Selatan di ambang krisis ekologis. Alih fungsi lahan terjadi secara masif, mengikis resapan air dan menghancurkan ekosistem hutan. Konversi lahan pertanian menjadi permukiman, eksplorasi panas bumi, hingga lonjakan aktivitas pendakian gunung mempercepat kehancuran yang sulit dibendung.

Di balik semua itu, faktor-faktor sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan pun turut dalam mempercepat degradasi ini. Minimnya lapangan pekerjaan di bidang pertanian atau di luar hutan mendorong munculnya masalah ekonomi dan sosial yang merundung masyarakat.

Kerusakan Hutan Semakin Nyata

Kerusakan hutan di Kabupaten Bandung semakin nyata dari waktu ke waktu. Dari total luas hutan sebesar 89.331,19 hektare, tercatat 16.613 hektare telah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, digarap oleh 34.740 kepala keluarga. Wahyu Eridiana, dosen Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS UPI, dalam makalahnya "Peningkatan Pendidikan pada Masyarakat Sekitar Hutan di Kabupaten Bandung", mengingatkan akan bahaya ini.

"Penanganan melalui program PHBM, baru menyentuh satu sisi yaitu mengantisipasi kerusakan hutan. Sedangkan akar permasalahan seperti andalan hidupnya hanya didapatkan dari pertanian dengan lahan sempit, tidak memiliki keterampilan lain, tingkat kesadaran lingkungan rendah, yang mendorong tindakan perambahan, belum dilakukan pemecahan yang seksama," ungkap Wahyu, diakses dari jurnalnya, Senin, 28 April 2025.

Sebagai respons, pemerintah menggulirkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sejak tahun 2000, mengizinkan petani menanam kopi di lahan garapan. Program ini berkembang ke beberapa kecamatan seperti Pangalengan, Kertasari, dan Pacet, dengan total perluasan mencapai 889 hektare hingga tahun 2005. Namun, program ini hanya menahan laju kerusakan, bukan menyelesaikan sumber masalah utamanya.

Wahyu menekankan, akar persoalan tetaplah ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap lahan hutan, sempitnya peluang kerja di luar sektor pertanian, serta lemahnya kesadaran ekologis. Jika tidak disertai peningkatan pendidikan dan keterampilan, ancaman terhadap hutan akan tetap ada.

Di sisi lain, eksplorasi panas bumi di kawasan pegunungan mempercepat deforestasi. Pepep DW, dalam bukunya "Manusia dan Gunung", mencatat bagaimana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu di kaki Gunung Gambungsedaningsih mempercepat hilangnya hutan.

"Sebelum adanya geothermal, kawasan ini demikian asri dan terjaga, salah satunya karena mitologi yang dipercaya oleh masyarakat. Saat eksplorasi geothermal dimulai, saat kendaraan-kendaraan besar membelah hutan, terjadilah demitologi. Seperti sebuah pembuktian bahwa Aul hanyalah mitos belaka. Tapi demitologi inilah yang menjadi penyebab deforestasi," tulis Pepep DW [BandungBergerak, diakses 28 April 2025].

Kerusakan ini bukan hanya berdampak pada hilangnya tutupan hutan, tetapi juga pada kerentanan bencana. Bencana longsor yang menghilangkan Kampung Cibitung pada 2015 menjadi bukti nyata bahwa degradasi hutan mengundang malapetaka.

Maraknya aktivitas pendakian di kawasan pegunungan juga memperparah kerusakan. Gunung Gede Pangrango, yang dulunya asri, kini berubah menjadi kawasan ramai seperti pasar. Warung-warung menjamur di jalur pendakian hingga puncak, mengikis nilai konservasi gunung. Pepep kembali menegaskan, "Sekali lagi, menghentikan kerusakan di cagar alam sama sekali bukan hanya untuk mereka yang ada di dalam hutan, melainkan untuk kita dan masa depan umat manusia."

Fenomena ini memperlihatkan betapa pentingnya pendekatan budaya lokal dalam menjaga kelestarian alam. Kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap mitos pelindung hutan, seperti konsep "Aul", turut membuka jalan bagi perusakan ekosistem yang sebelumnya terjaga secara alami.

Baca Juga: Banjir Bandung Selatan Merendam Permukiman dan Memutus Akses Jalan-jalan Desa
Salah Arah Pembangunan akan Menuai Bencana di Bandung Selatan
Banjir Bandung Selatan di Tengah Ketidaknormalan Musim

Warga mengungsi keluar kampung saat banjir menerjang Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot,  Kabupaten Bandung, 12 Januari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Warga mengungsi keluar kampung saat banjir menerjang Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, 12 Januari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Permukiman

Tidak hanya hutan yang tergerus, lahan pertanian di Bandung Selatan pun kian terdesak oleh laju urbanisasi. Dalam skripsinya "Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Arahan Penggunaan Lahan Wilayah di Kabupaten Bandung" (IPB, 2014), Rani Nuraeni mengungkapkan pola perubahan penggunaan lahan yang mencemaskan.

"Penggunaan lahan tersebut mengalami perubahan dengan pola perubahan dominan yaitu hutan menjadi lahan terbangun, perkebunan menjadi lahan terbangun, TPLB (tanaman pertanian lahan basah) menjadi lahan terbangun, TPLB menjadi TPLK (tanaman pertanian lahan kering) dan TPLK menjadi lahan terbangun," jelas Rani, diakses Senin, 28 April 2025. https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/68505/1/A14rnu.pdf

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat mencatat, perubahan penggunaan lahan ini tidak bisa dilepaskan dari pertumbuhan kebutuhan ruang akibat urbanisasi dan pembangunan infrastruktur. Data KLHS Tata Ruang dan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung memperlihatkan lonjakan kawasan permukiman sebesar 8.743,34 hektare dibanding RTRW sebelumnya (2016-2036). Total kawasan permukiman kini mencapai 42.201,87 hektare, dengan dominasi kawasan perkotaan [Walhi Jabar, diakses Senin, 28 April 2025].

Sebaliknya, lahan pertanian menyusut dari 39.422,96 hektare menjadi hanya 34.068,35 hektare. Alih fungsi lahan ini mengorbankan resapan air alami yang dulunya disediakan oleh lahan pertanian dan sawah. Bahkan, kawasan pertanian pangan kini tinggal 18.560,31 hektare, sedangkan hortikultura 15.508,04 hektare.

Perubahan ini membawa dampak serius terhadap keseimbangan hidrologis. Seburuk-buruknya, wilayah pertanian masih mampu meresapkan air ke dalam tanah. Tetapi lahan permukiman, dengan dominasi beton dan aspal, memperparah limpasan permukaan dan mengurangi infiltrasi air tanah.

Krisis ini paling terasa di wilayah-wilayah tangkapan air mikro DAS seperti di Mikro DAS Cipelah, Kelurahan Wargamekar, Kecamatan Baleendah. Berdasarkan data KLHS RTRW 2023-2043, ketersediaan air di Baleendah kini sudah dalam kondisi minus. Akumulasi alih fungsi ini menciptakan risiko kekeringan dan kelangkaan air bersih untuk kebutuhan penduduk.

Lebih jauh, alih fungsi ini juga berpotensi meningkatkan kerentanan terhadap bencana banjir di wilayah hilir. Dengan semakin minimnya daerah resapan, beban aliran air hujan akan langsung menumpuk ke sungai-sungai utama, mempercepat luapan banjir di kawasan dataran rendah Cekungan Bandung.

Fenomena ini mencerminkan kegagalan kolektif dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan kelestarian lingkungan. Lemahnya kontrol atas pemanfaatan ruang, pengabaian terhadap prinsip keberlanjutan, serta ketidakseriusan dalam memperhitungkan dampak ekologis menjadi penyebab utama.

Selain itu, hilangnya nilai-nilai budaya lokal yang menghormati alam mempercepat laju kehancuran. Seperti yang diungkap Pepep DW, gunung dan hutan dalam kebudayaan Sunda memiliki tempat sakral, bukan sekadar lokasi rekreasi atau eksploitasi.

Alih fungsi lahan Bandung Selatan adalah peringatan keras akan harga yang harus dibayar jika pembangunan mengabaikan keseimbangan ekologis. Tanpa langkah korektif yang tegas, termasuk memperketat perlindungan ruang terbuka hijau, merevitalisasi nilai budaya lokal, serta meningkatkan pendidikan lingkungan, Bandung Selatan akan menghadapi masa depan suram yang diwariskan kepada generasi mendatang.

 

*Kawan-kawan silakan membaca artikel lain tentang Bandung Selatan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//