• Berita
  • Salah Arah Pembangunan akan Menuai Bencana di Bandung Selatan

Salah Arah Pembangunan akan Menuai Bencana di Bandung Selatan

Banjir bandang Sungai Ciwidey, Kabupaten Bandung, terjadi karena minimnya resapan air hujan. Setiap tahun, luas hutan di Subdas Ciwidey berkurang.

Jembatan penghubung antardesa Tenjolaya ke Desa Ciwidey roboh tersapu banjir bandang di Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/6/2022). BPBD melansir data 9 unit rumah rusak serta terdampak banjir termasuk 1 rumah ibadah dan jembatan putus. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana9 Juni 2022


BandungBergerak.idBanjir bandang melanda Sungai Ciwidey, Kabupaten Bandung, Senin (6/6/2022) lalu. Tidak ada korban jiwa dalam bencana ini, namun dikhawatirkan bencana serupa bisa terulang jika pembangunan di Kabupaten Bandung lebih memintingkan sektor pariwisata daripada pertanian.

Banjir bandang yang memutuskan jembatan penghubung antara perkampungan di Desa Ciwidey itu memang dipicu karena hujan lebat dalam durasi lama. Tetapi ada faktor lain yang membuat bencana ini patut menjadi perhatian khusus bagi pemegang kebijakan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Meiki W Paendong, pada peristiwa banjir bandang kemarin, Sungai Ciwidey tidak sanggup menerima tingginya volume air hujan. Lebar dan dalam sungai tidak mampu menerima debit air yang tiba-tiba meningkat.

“Kalau melihat kejadian kemarin masih fenomena alam, karena curah hujan tinggi, di tambah fisik Sungai Ciwidey yang dangkal jadi peluang meluapnya sangat tinggi,” kata Meiki W Paendong.

Bencana alam, banjir maupun yang lainnya, erat kaitannya dengan keberadaan manusia. Tanpa keberadaan manusia, banjir bandang tersebut tidak akan disebut bencana. Sudah menjadi budaya di Indonesia permukiman banyak berdiri di pinggir sungai. Sehingga permukiman yang mendekati sungai menjadi rentan terkena banjir.

Budaya itu telah berlangsung lama, sebelum muncul regulasi yang melarang permukiman didirikan di bantaran sungai. Meiki mengatakan, tidak mungkin merelokasi semua warga di pinggir Sungai Ciwidey. Salah satu pencegahan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi terulangnya bencana serupa dengan menjalankan mitigasi bencana.

“Kita lakukan mitigasi pencegahan, banyak tindakan seperti mengurangi alih fungsi lahan, mengurangi pembukaan kawasan hutan menjadi pertanian, meningkatkan penanaman pohon,” kata Meiki, saat dihubungi BandungBergerak.id, Kamis (9/6/2022).

Meiki melihat saat ini Sungai Ciwidey yang menjadi subdas Citarum, menghadapi banyak perubahanberupa alih fungsi. Subdas Ciwidey merupakan hamparan yang terdiri dari beberapa kecamatan.

Banyak lahan yang tadinya terbuka kini mengalami tutupan secara fisik dengan tembok atau beton. Hal ini berdampak pada tingginya larian air hujan yang tidak terserap tanah, sehingga langsung mengalir ke sungai. Volume air Sungai Ciwidey pun meningkat.

Faktor perubahan iklim juga turut mendorong terjadinya banjir bandang di Sungai Ciwidey. Menurutnya, BMKG sudah merilis bahwa bulan April lalu sebenarnya masa peralihan dari musim hujan ke musim kering atau kemarau. Artinya, Juni ini seharusnya musim panas.

Namun hingga memasuki pekan kedua bulan Juni, daerah di Bandung Raya masih mengalami hujan ekstrem, salah satunya di Ciwidey. “Jadi di balik faktor alam, ada faktor manusia. Perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia,” katanya.

Baca Juga: Duit 1,4 Miliar Rupiah APBD Kota Bandung untuk Belanja Jasa Tenaga Ahli
Informasi A sampai Z Seputar PPDB Kota Bandung 2022
PAYUNG HITAM #1: Suara-suara Baru di Pekan Penghilangan Paksa

Hutan Bandung Selatan Berkurang

Menurut penelitian yang dilakukan Unpas yang bertajuk Kajian Tingkat Lahan Kritis Di Subdas Ciwidey -Kabupaten Bandung, Subdas Ciwidey berada di bagian selatan Kabupaten Bandung dan merupakan bagian hulu dari DAS Citarum.

Luas Subdas Ciwidey adalah 520,01 kilometer persegi yang terdiri dari 8 kecamatan, yaitu Rancabali, Pasirjambu, Ciwidey, Cililin, Soreang, Katapang, Cangkuang, dan Sindangkerta. Subdas ini meliputi 58 desa.

Secara keseluruhan, topografi Subdas Ciwidey merupakan wilayah bergelombang dengan ketinggian antara 500 - 2.000 meter di atas permukaan lain. Kontur ini membuat daerah-daerah di Subdas Ciwidey berada pada ketinggian dan kemiringan, berbukit dan berlembah, sehingga rawan bencana tanah longsor.

Penelitian memotret terjadi pengurangan hutan di Subdas Ciwidey, yakni dari 21.642,48 hektare pada 1994 menjadi 14.810,27 hektare pada tahun 2004. Artinya jumlah hutan di Subdas Ciwidey berkurang seluas 6.832,21 hektare.

Sejalan dengan perkembangan penduduk dan perkembangan ekonomi, kawasan terbangun khususnya pemukiman tumbuh relatif sangat cepat. Antara 1994 sampai tahun 2004 pertumbuhan permukiman seluas 11.595,29 hektare, yaitu dari 1.933,64 hektare (1994) menjadi seluas 13.528,93 hektare pada 2004.

Sejalan dengan itu, jumlah penduduk di Subdas Ciwidey pada tahun 2003 adalah 384.032 jiwa, pada tahun 2004 terjadi kenaikan menjadi 419.835 jiwa (sebanyak 29.046 jiwa), pada tahun 2005 meningkat menjadi 403.222 jiwa, kemudian pada tahun 2006 terus meningkat menjadi 487.595 jiwa.

Salah Arah Pembangunan Bandung Selatan

Baik bencana banjir maupun bencana lingkungan lainnya bisa semakin sering terjadi di kawasan Bandung selatan jika arah pembangunan tidak berpihak pada lingkungan dan budaya setempat. Saat ini. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung lebih menonjolkan sisi pariwisata yang dampaknya bisa memicu alih fungsi lahan dari hutan atau pertanian menjadi sarana wisata.

Walhi Jawa Barat mencatat sudah banyak hotel, penginapan, restoran dan pariwisata berkonsep alam yang dibangun di Bandung selatan. Padahal menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong, pembangunan yang tepat untuk Bandung selatan adalah pertanian.

Pembangunan di Bandung selatan seharusnya menonjolkan pertanian, karena mata pencaharian ini sudah menjadi budaya yang turun temurun. Pembangunan yang mengutamakan sektor pariwisata akan menimbulkan masalah sosial, selain lingkungan.

Sebagai gambaran, mayoritas warga Bandung selatan berpencaharian pertanian. Saat pariwisata digalakkan, para petani akan menjual lahan mereka kepada investor pariwisata. Setelah tidak memiliki lahan garapan, para petani akan berusaha membuka lahan baru dari hutan. Lebih buruk lagi, mereka akan menganggur.

“Seharusnya pembangunan di Bandung selatan lebih didominankan pertanian, bukan berarti membuka lahan-lahan lahan baru, tetapi mempertahanan dan melindungi kawasan pertanian yang sudah ada saat ini. Sekarang pertanian sudah mulai terancam beralih fungsi menjadi tempat wisata, restoran, penginapan,” katanya.

Walhi Jawa Barat juga terus mengkaji rencana Pemkab Bandung membangun jalan tol Ciwidey-Pangalengan yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan lingkungan. Pembangunan tol akan menimbulkan ancaman serius pada Cagar Alam Gunung Tilu, memicu pembebasan lahan milik perkebunan, hutan dan petani.

“Terlepas si pemiliknuya rela untuk melepaskan tanahnya, bahkan ada fenomena senang terkena proyek., tapi dampak sosialnya harus dipikirkan,” katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//