Menyingkap Payung Hukum yang Mempertebal Stigma, Kelompok Rentan semakin Dipinggirkan
Ketika regulasi justru mengancam. Kritik atas KUHP dan Raperda Kota Bandung yang memperlebar diskriminasi pada kelompok minoritas.
Penulis Yopi Muharam2 Desember 2025
BandungBergerak - Butuh tujuh tahun bagi Rela Susanti untuk melihat pernikahannya berdiri tegak di mata negara—sebuah pengakuan yang bagi banyak orang datang otomatis, namun baginya adalah perjuangan panjang yang melelahkan.
Sejak hari ia menikah pada 2001, Rela Susanti sadar bahwa rumah tangganya ada yang tak utuh. Pernikahan yang ia jalani sebagai penghayat kepercayaan aliran Budi Daya tak tercatat negara. Identitas keyakinannya tak terakomodasi dan ikatan pernikahan yang ia jalani bersama sang suami dianggap tidak sah. Di mata sebagian orang, keadaan itu bahkan bisa memunculkan stigma bahwa ia hidup dalam hubungan kohabitasi, sebuah cap sosial yang memberatkan.
Rela tidak diam. Ia menggugat Dinas Pencatatan Penduduk, memperjuangkan hak yang seharusnya menjadi milik setiap warga negara: pengakuan atas pernikahannya. Proses hukum itu berjalan penuh liku. Lima tahun berlalu tanpa kepastian.
Namun perubahan perlahan datang. Pada 2006, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Regulasi baru itu membuka ruang baru bagi para penghayat kepercayaan. Setahun kemudian, kabar yang ditunggu akhirnya tiba: Mahkamah Agung memutuskan perkaranya setelah dua tahun menggantung.
Keputusan itu menjadi titik balik bagi Rela dan Penghayat umumnya. Pada 2007, setelah tujuh tahun menunggu, Rela dan suaminya akhirnya bisa mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi. Mereka bahkan bisa mencantumkan keyakinannya sebagai Penghayat kepercayaan di database kependudukan negara. Sebelum muncul payung hukum itu, banyak Penghayat yang mengosongkan kolom agama atau menginduk pada agama lain.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya tahun 2019, pemerintah dan DPR mengesahkan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP baru ini mulai berlaku awal 2026. Ketenangan Rela pun kembali terusik mengingat KUHP disinyalir memuat pasal-pasal kontroversial, termasuk pasal yang mengatur masalah moral dan privasi.
Rela menyoroti pasa 412 yang mengatur tentang kohabitasi, yang dalam istilah lain namun bermakna merendahkan disebut kumpul kebo. Menurut perempuan yang kini berumur 48 tahun, masih banyak masyarakat penghayat yang telah menikah namun belum tercatat di administrasi negara. Ia khawatir kelompok Penghayat kembali menjadi korban diskriminasi dengan berlakunya KUHP baru tersebut.
Terlebih, masih ada syarat khusus bagi Penghayat yang ingin mencatatkan pernikahannya. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan YME menyatakan, negara mengharuskan para penghayat memiliki organisasi yang mempunyai kepala atau ketua dari komunitas itu agar dimudahkan mengurus administrasi.
Syarat tersebut menjadi kendala tersendiri karena tidak semua penghayat yang belum bergabung dengan organisasi. Masalah ini, misalnya, dialami oleh kaum penghayat Cigugur, Kuningan. Mereka sampai saat ini masih kesulitan dalam mengakses pelayanan administrasi publik.
“[Berlakunya KUHP] akan menambah deretan diskriminasi yang akan mereka hadapi ke depan,” ujar Rela, kepada BandungBergerak di rumahnya, Jumat, 7 November 2025.
Menghadapi tantangan ini, ibu dari dua anak tersebut bersama organisasinya berkomitmen bakal membantu penghayat individu yang kesulitan dalam mengurus pencatatan pernikahan. Lewat Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), para penghayat individu dapat melaporkan kendala yang mereka hadapi.
“Jadi bisa mengajukan surat permohonan (ke MLKI Jabar),” terangnya.
Nantinya MLKI Jabar yang akan mengutus pemuka penghayat yang bertugas mencatat membantu pencatatan administrasi penghayat. Rela menjelaskan, MLKI tidak hanya menaungi organisasi kepercayaan, tapi dia merangkul penghayat-penghayat perseorangan.
Rela juga menyadari bahwa pasal tentang kumpul kebo berpotensi dipakai untuk mengkriminalisasi. Menurutnya potensi ini menjadi perhatian serius di internal organisasinya.
Dokumen Sipil dan Diskriminasi
Dokumen sipil seperti surat nikah, KTP, Kartu Keluarga adalah pintu masuk utama bagi warga negara untuk mengakses berbagai pelayanan publik. Dokumen ini selalu menjadi syarat untuk memperoleh layanan penting seperti penerbitan SIM, sertifikat tanah, pinjaman bank, pendidikan, dan layanan hukum lainnya. UU No. 24/2013 juga sudah menyatakan bahwa data kependudukan dipakai untuk seluruh kebutuhan pelayanan publik.
Namun, sebelum negara mengakui keberadaan Penghayat Kepercayaan, kelompok minoritas ini lama hidup dalam bayang-bayang diskriminasi. Waktu itu mereka banyak yang memilih mengosongkan kolom agama di KTP dan KK mereka.
Di lapangan, banyak pemberi layanan publik hanya memproses dokumen yang tertera secara eksplisit pada KTP atau KK. Ketika kolom agama dikosongkan, petugas sering kali menolak memberikan layanan, sehingga penghayat kehilangan akses terhadap hak-hak dasarnya.
Diskriminasi ini juga berdampak serius pada perempuan dan anak. Dalam kasus tahun 2016, Zulfa Nur Rahman, seorang pelajar SMKN VII Semarang, tidak dapat naik kelas karena sekolah mengosongkan nilai mata pelajaran agamanya. Ia baru dapat naik kelas setelah intervensi wali kota dan dinas pendidikan yang memfasilitasi ujian dari guru kepercayaan.
Komnas Perempuan turut mencatat bahwa dari pemantauan sejak 2010, 57 dari 115 kasus kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan penghayat kepercayaan, dan lebih dari setengah dari 65 kasus diskriminasi adalah bentuk pengabaian administrasi kependudukan.

Risdo Simangunsong, Presidium Jaringan Antar Umat Beragama (Jakatarub) juga mengkhawatirkan pemberlakuan pasal tentang kohabitasi di KUHP yang baru. Pasal terkait moralitas ini dapat menjerat Penghayat yang selama ini terkendala administrasi pencatatan sipil.
“(Ketiadaan) surat perkawinan itu yang sangat berbahaya dan bisa jadi diperkarakan,” ujarnya, kepada BandungBergerak, di Kantor Jaktarub, Jumat, 7 November 2025.
Pemberlakuan KUHP menjadi perhatian organisasi yang bergerak di bidang pendampingan untuk kelompok rentan ini, seperti penghayat kepercayaan, transgender, dan agama minoritas lainnya.
Jatarub sering mengadakan pelatihan hingga lokakarya untuk penguatan kelompok rentan. “Jakatarub pasti mengembangkan supaya komunitas-komunitas lebih aware (terhadap isu rentan),” tutur Risdo.
Setelah KUHP terbitlah Perda
Sudah jatuh tertimpa tangga, barangkali itu pribahasa yang dirasakan oleh kelompok transgender menjelang pemberlakuan KUHP. Di saat yang sama, mereka juga menghadapi peraturan daerah (perda) yang diskriminatif.
Abel Bilbina, Program Officer Srikandi Pasundan menyadari kelompok transgender sering terstigma dan diskriminasi bahkan sebelum adanya KUHP baru. Pasal kohabitasi ini dikhawatirkan meningkatkan risiko bagi kelompok minoritas seksual.
“Toh sebelum ini (KUHP) ada pun juga kita sudah dengan 1.000 kekhawatiran yang kita jalani menjadi seorang trans,” terang Abel, saat dihubungi melalui seluler, Kamis, 6 November 2025.
Kekhawatiran Abel yang berdomisili di Kota Bandung bertambah ketika DPRD Kota Bandung yang didukung Pemerintah Kota Bandung tengah menggodok Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual.
Rancangan perda tersebut ada kaitanya dengan pasal 2 di KUHP yang baru tentang living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat. Frasa ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ diartikan sebagai norma-norma sosial, adat, atau kebiasaan lokal yang diakui dan masih dijalankan di suatu daerah.
Pasal itu berpotensi membuat pemerintah daerah menggunakan norma adat untuk menjustifikasi pelarangan ekspresi gender. Dengan adanya KUHP dan perda maka Abel dan kawan-kawan harus bersiap menerima konsekuensi yang ada.
“Siap tidak siap dengan Perda (dan KUHP) yang akan diberlakukan kita harus bisa menerima,” tuturnya.
Hal paling penting yang bisa dilakukan kelompok minoritas gender adalah saling menguatkan dan memitigasi untuk menyongsong dua regulasi baru itu. Srikandi Pasundan sejauh ini sudah berjejaring dengan kelompok lain untuk berjaga jika suatu saat kriminalisasi menimpa mereka. Secara sosial, kelompok mereka terus berusaha membaur dengan masyarakat sekitar melalui berbagai aktivasi seperti bazzar, cek kesehatan, atau lokakarya.
“Jadi cara menghadapinya kita berdamai dengan keadaan, kita berdampingan dengan masyarakat dan yang mesti kita ciptakan,” tandas Abel.
Salah satu cara yang bisa ditempuh agar diterima masyarakat adalah membuka ruang inklusif. “Di saat kita ingin diterima oleh masyarakat, kita harus menciptakan ruang inklusivitas dengan masyarakat setempat,” katanya.
Regulasi Bisa Memicu Kekerasan
Richa F. Shofyana dari Crisis Response Mechanism Consortium menilai Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual di Kota Bandung berpotensi berdampak negatif bagi kelompok minoritas seksual dan mempertebal diskriminasi.
Dengan menyamakan orientasi seksual dengan gangguan atau kekerasan seksual, regulasi tersebut dapat meningkatkan kekerasan terhadap kelompok trans, serta perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat terhadap individu dan komunitas yang rentan.
Richa menegaskan, pemerintah perlu menyusun regulasi yang selaras dengan prinsip non-diskriminasi dan perlindungan HAM. Proses perumusan raperda, katanya, harus melibatkan kelompok minoritas, ahli HAM, dan masyarakat sipil agar tidak berubah menjadi alat pembatasan hak warga atau justifikasi kekerasan dan diskriminasi.
Sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, negara berkewajiban melindungi, menghormati, menegakkan, dan memajukan HAM bagi seluruh warga tanpa diskriminasi.
“Oleh karena itu, idealnya pemerintah harus bersikap selaras dengan mandat ini dalam setiap kebijakan dan regulasi,” tegasnya, saat dihubungi BandungBergerak, Selasa, 11 November 2025
Menurutnya, Indonesia membutuhkan undang-undang yang komprehensif untuk mengatur perlindungan, penanganan, penegakan, dan pemulihan dari diskriminasi terhadap kelompok rentan.
Baca Juga: Kelompok Minoritas Menyikapi Hidup di Tengah Diskriminasi
Potensi Diskriminasi dan Pelanggaran HAM Menguar dari Wacana Perda Anti-LGBT Kota Bandung
Kronologi Lahirnya Raperda Kontroversial
Proses lahirnya Raperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual bermula dari penetapan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2025 melalui rapat paripurna DPRD Kota Bandung pada 26 November 2024. Dalam keputusan itu, DPRD menetapkan 13 raperda yang akan dibahas pada tahun 2025, salah satunya mengenai pencegahan dan pengendalian perilaku seksual berisiko dan penyimpangan seksual.
Memasuki tahun 2025, raperda tersebut kembali muncul dalam agenda Propemperda Tahap II. Pada rapat paripurna 9 September 2025, DPRD resmi menerima empat usulan raperda dari Pemerintah Kota Bandung, termasuk Raperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menjelaskan bahwa raperda ini dirancang untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif perilaku seksual berisiko, baik fisik, mental, maupun sosial.
Setelah masuk agenda pembahasan, seluruh fraksi diminta menyusun pandangan umum. Pada 7 Oktober 2025, Fraksi PKS menyampaikan pandangannya dengan menekankan bahwa judul raperda perlu mencakup ruang lingkup yang lebih luas, tidak hanya menyoroti “penyimpangan seksual”, tetapi juga perilaku seksual berisiko yang berdampak pada kesehatan masyarakat dan ketahanan keluarga. PKS menilai penyusunan raperda ini penting karena berkaitan dengan moral publik, perlindungan hak, dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28J.
Pada hari yang sama, Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan catatan berbeda. Mereka menilai terdapat batasan yang belum tegas antara aspek kesehatan (perilaku seksual berisiko) dan aspek moral/hukum (penyimpangan seksual). Fraksi ini meminta kejelasan harmonisasi raperda dengan KUHP, UU Kesehatan, UU Perlindungan Anak, dan UU HAM karena regulasi tersebut menjadi landasan penting dalam perlindungan hak dan pelaksanaan kebijakan publik.
Pada 9 Oktober 2025, Wali Kota Bandung memberikan jawaban resmi atas seluruh pandangan fraksi. Farhan menyatakan bahwa raperda ini telah melalui harmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menegaskan bahwa cakupan raperda memang diperluas—bukan hanya memuat penyimpangan seksual, tetapi mencakup pencegahan perilaku seksual berisiko yang rentan menimbulkan kehamilan tidak diinginkan, HIV, dan infeksi menular seksual di kalangan remaja. Ia juga menegaskan rencana penyusunan kurikulum berbasis budaya lokal, penguatan norma agama, edukasi sekolah, serta pengawasan area rawan dan sistem pelaporan terpadu sebagai strategi implementasi.
Masuknya raperda ini dalam fase pembahasan ditandai dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus 14). Pengumuman susunan keanggotaannya dilakukan pada 9 Oktober 2025 dalam rapat paripurna yang sama. Pansus 14 dipimpin Radea Respati Paramudhita dari fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) yang bertugas membahas seluruh substansi raperda hingga mencapai kesepakatan dengan pemerintah daerah. Raperda ini disebut dirancang untuk memberikan perlindungan masyarakat dari dampak negatif perilaku seksual yang berisiko dari sisi fisik, mental, maupun sosial.
Yoel Yosaphat, Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bandung sekaligus anggota pansus mengatakan, raperda ini sedang disusun ulang. Terbaru, penyusunan sudah sampai di pasal 8 dan 9.
“Beberapa pasal seperti definisi, lingkup kerja, dan lain-lainnya sudah clear (dibahas),” ungkap Yoel, kepada BandungBergerak, Selasa, 11 November 2025.
Menurut Yoel, pembahasan pasal-pasal raperda cukup sengit. Sebab ada sejumlah pertentangan antara yang setuju untuk memasukan lesbian atau homoseksual dimasukan ke raperda atau tidak.
“Karena ada yang pro hak asasi,” tuturnya.
Dia juga menambahkan, saat ini pihaknya belum mengundang kelompok minoritas gender dalam pembahasan raperda. Setiap fraksi, katanya, masih memiliki pandangan berbeda menyoal waktu tepatnya pelibatan masyarakat sipil.
“Kita juga belum FGD (forum group discussion) untuk mengundang mereka (kelompok minoritas gender),” ungkapnya.
Diskriminasi terhadap Minoritas Gender
Kelompok minoritas gender di Indonesia menjadi pihak paling rentan terjerat regulasi yang mengatur moralitas. Menurut laporan berjudul “Kelompok Minoritas Seksual Dalam Terpaan Pelanggaran HАМ: Seri Monitor Dan Dokumentasi 2019” yang disusun Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat LBHM, pada tahun 2018 di Indonesia tercatat 253 orang menjadi korban stigma, diskriminasi, dan kekerasan berbasis orientasi seksual serta identitas dan ekspresi gender non-biner.
Mayoritas korban berasal dari kelompok LGBT secara umum (234 orang), diikuti transgender (11 orang), lesbian (5 orang), dan gay (3 orang). Data ini menunjukkan bahwa siapa pun yang mengidentifikasi diri dalam spektrum LGBTQQIAAP sangat rentan mengalami perlakuan diskriminatif.
Kerentanan tersebut semakin diperburuk oleh tindakan pemerintah, aparat penegak hukum, dan organisasi keagamaan yang mendorong atau membuat aturan bernuansa diskriminatif.
Selain itu, komunitas LGBT juga menghadapi berbagai bentuk perlakuan tidak manusiawi, termasuk ruqyah, terapi konversi, pencukuran kepala secara paksa, hingga tindakan merendahkan martabat seperti dikencingi, yang kerap dibenarkan pelaku sebagai upaya “mengembalikan korban ke jalan yang benar”.
***
*Liputan ini mendapatkan dukungan data dari reporter BandungBergerak Awla Rajul dan Fitri Amanda. Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

