• Berita
  • SABTU SORE #18: Kelompok Minoritas Menyikapi Hidup di Tengah Diskriminasi

SABTU SORE #18: Kelompok Minoritas Menyikapi Hidup di Tengah Diskriminasi

Diskriminasi masih dialami oleh warga penganut agama minoritas di Bandung. Mereka bertahan dan berpegang teguh pada keyakinan.

Pameran foto bagian dari rangkaian diskusi Sabtu Sore dengan tajuk Cerita Mereka Menghadapi Diskriminasi, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Jalan Pasir Luyu Timur 112 A, Bandung, Sabtu, 16 Maret 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam17 Maret 2025


BandungBergerak.id“Ya, kalau saya menyikapi diskriminasi itu sebagai bagian dari ujian kehidupan,” ujar Iis Rosilah, jemaah Syiah, membuka diskusi Sabtu Sore dengan tajuk Cerita Mereka Menghadapi Diskriminasi, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Jalan Pasir Luyu Timur 112 A, Bandung, Sabtu, 16 Maret 2025.

Bukan pertama kali Iis merasakan tindakan diskriminasi oleh kelompok intoleran. Setiap menjelang satu Syura misalnya, jemaah Syiah selalu was-was akan pembubaran acara. Perayaan puncak Asyura  yang akan digelar pada 17 Juli 2024 lalu di Kopo merupakan salah satu contohnya. Para jemaah Syiah dibubarkan oleh sebuah kelompok yang melarang diselenggarakannya acara tersebut.

Tidak hanya itu, Iis bercerita jika kelompoknya akan membentangkan spanduk peringatan Haul Imam Husein, maka selalu ada peringatan dari kelompok lain agar tidak memasang spanduk. Dia megaku tidak tahu secara pasti alasan mereka melarang pembentangan spanduk itu. “Tapi ustaz kami selalu menghadapi mereka dengan tenang,” katanya.

Iis sendiri sudah menyadari kehadiran kelompoknya itu rentan mendapatkan diskriminasi. Guru-gurunya selalu mengajarkan untuk tidak membalas tindakan kelompok yang melakukan diskriminasi atau tindak represi.

“Jadi yang dilakukan oleh komunitas adalah menguatkan mental kami,” ungkapnya. Menyebar kesabaran antaranggota adalah kunci.

Cara untuk menguatkan antara satu sama lainnya ialah dengan mendengarkan ceramah dari guru-gurunya. KH Jalaluddin Rahmat misalnya, yang selalu mengingatkan pada kelompoknya untuk melihat ke masa lalu.

Iis masih ingat nasihat yang diberikan oleh kader PDI-P itu, bahwa tindakan dan perlakukan Syiah saat ini tidak seberapa dibandingkan yang diterima oleh keluarga Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. “Jadi kalau sekarang kami mendapatkan efeknya,” tuturnya.

Iis menjelaskan adanya energi dari diri manusia yang berdampak pada baik-buruknya sebuah tindakan. Jika energi dalam diri manusia rendah, maka tindakan yang dikeluarkannya pun akan buruk. Manusia bakal dengan mudah menghujat, kemudian memberikan sikap negatif. Sebaliknya, jika energi yang ada dalam diri manusia tinggi maka akan berdampak positif. “Justru yang kita dapat adalah support,” terangnya.

Serangan di Media Sosial

Bentuk diskriminasi tidak hanya di kehidupan nyata saja. Di medial sosial, kelompok Syiah sering menjadi bulan-bulanan warga net yang tidak sepaham dengan mereka.

Iis sebagai guru di salah satu sekolah yang didirikan kelompoknya, merasa sakit hati ketika penyerangan itu ditujukan kepada akun institusi pendidikannya. Bentuknnya bisa berbagai macam, mulai dari ujaran kebencian hingga fitnah. “Yang terasa banget itu serangan pada lembaga pendidikan,” ujarnya.

Lebih dari itu, Iis merasa heran banyak lontaran fitnah yang mengatakan bahwa Syiah kafir atau bukan bagian dari Islam. Padahal ibadah yang dilakukan oleh Iis dan kelompoknya sesuai dengan syariat Islam. Mereka melaksanakan salat, puasa, percaya kepada Allah, dan Rasulnya. “Jika indikator muslim itu seperti itu, kita sama-sama muslim,” terangnya.

Cibiran warga net membuat kelompoknya merasa terdiskirminasi, bahkan merasakan pembatasan akses di media sosial. “Ada pembatasan akses ketika kami akan melaksanakan salah satu kegiatan atau beberapa kegiatan,” katanya.

Lebih dari itu, tiap memasuki hari besar jemaah Syiah Iis bercerita biasanya sering ada polisi yang berjaga. Untuk mengantisipasi adanya penyerangan, ungkap Iis. Padahal, kegiatan yang dilakukan jemaah Syiah menurut Iis tidak membahayakan masyarakat lain. “Dan tidak pernah terjadi sebenarnya (penyerangan) karena kita juga tidak melakukan aktivitas yang membahayakan atau memancing keributan,” imbunya.

Dia juga merasakan adanya pembatasan akses kegiatan. Kegiatan yang mereka lakukan hanya di ruang-ruang terbatas, semisal melalui dalam jaringan (daring). “Jadi kita sudah beberapa tahun ini tidak melaksanakan kegiatan Asyura secara bebas,” tuturnya.

Diskriminasi pada Penghayat

Tindak diskriminasi tidak hanya menyasar pada kelompok Syiah. Penghayat Terhadap Ketuhanan Yang Mahas Esa, contohnya. Ida, salah satu perwakilan dari penghayat Budi Daya, menceritakan tindak diskriminasi yang kerap dialaminya.

Perempuan yang masih duduk di sekolah kejuruan tingkat akhir itu, merasakan betul apa yang diterimanya selama bersekolah di sekolah umum. Saat masa sekolah menengah pertama, misalnya.

Saat kelas 7 SMP, Ida dihadapkan dengan mata pelajaran agama. Saat itu gurunya sedang memberikan pelajaran tentang praktik kematian di agama Islam. Ida hanya diam di kelas. Menyaksikan gurunya menerangkan materi. Dia menjadi satu-satunya penghayat di kelasnya.

Setelah selesai menerangkan praktik pemakaian kain kafan, Ida dicecar berbagai pertanyaan oleh gurunya. “Ari di kepercayaan maotna dikumahakeun? (kalau di kepercayaan meninggalnya dibagaimanakan?)” tutur Ida, menirukan pertanyaan gurunya lima tahun yang lalu.

“Dipocongin, Pak,” waktu itu Ida menjawab polos. Sang guru kemudian menyimpulkan bahwa prosesi kematian penghayat tetap saja memakai cara-cara yang dipakai agama mayoritas, yakni tubuh jenazah dikafani dengan bagian kepala dan kaki diikat (dipocong).

Tidak hanya itu, tindakan diskriminasi juga dilayangkan oleh kerabatnya. Dia sering diberikan candaan seperti ajakan untuk memasuki agama tertentu. Bagi Ida itu buka hal baru. Dia juga mengungkapkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh kerabatnya merupakan hasil dari ketidaktahuan terkait kepercayaan nenek moyang atau penghayat kepercayaan.

“Mungkin kan karena dari teman-teman sekolah pasti mereka belum banyak teredukasi gitulah ya, tentang apa itu penghayat,” terangnya. Justru dia menyayangkan tindak disriminasi itu dilayangkan oleh guru yang notabene digugu dan ditiru. “Buah-buahnya (anak-anak) juga pada melakukan diskriminasi juga,” tuturnya.

Baca Juga: SABTU SORE #14: Melihat Kerusakan Lingkungan dari Kacamata Politik Hijau
SABTU SORE #15: Menunggu Wali Kota Bandung Punya Terobosan Mengatasi Kemacetan, Banjir, dan Sampah
SABTU SORE #17: #IndonesiaGelap, Alasan Mahasiswa Harus Terus Melawan

Bagian dari HAM

Kebebasan memilih kepercayaan adalah bagian dari hak asasi manusia. Itulah yang disampaikan oleh Wirya Adiwena, perwakilan dari Amnesty International Indonesia saat ditanya alasan banyaknya diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang paling dasar dan tidak boleh dikurangi. Dia juga menekankan pentingnya peran negara dalam melindungi kebebasan beragama setiap warga negara. “Karena siapa coba di dunia ini yang bisa ngatur iman kita? Enggak ada,” tegasnya.

Diskriminasi terhadap minoritas agama terjadi karena berbagai faktor, baik struktural maupun sosiologis. Salah satu faktor struktural adalah adanya peraturan undang-undang yang diskriminatif.

Faktor lain yang mempengaruhi diskriminasi adalah proses nation building atau proses untuk membangun identitas nasional dan menyatukan rakyat dalam suatu negara yang belum selesai. Hal ini memunculkan pandangan bahwa satu etnis atau kelompok agama lebih unggul dibandingkan kelompok lainnya.

Wirya juga menjelaskan bahwa diskriminasi terhadap minoritas agama terjadi juga di berbagai belahan dunia, termasuk di Asia dan Eropa. Misalnya diskriminasi yang ada di Prancis, di sana ada pelarangan penggunaan hijab baik di civil service atau pemerintah negerinya maupun dalam kompetisi-kompetisi publik.

Di Indonesia, diskriminasi sering kali muncul dalam bentuk peraturan undang-undang yang diskriminatif atau kesulitan dalam menjalankan ibadah. “Ada peraturan undang-undang yang bersifat kepada agama tertentu," terangnya.

Menurutnya negara harus bisa mengakomodir warga negaranya untuk bisa beribadah dengan aman, tenteram, dan tertib. Bahkan dia juga menegaskan bahwa negara tidak punya peran untuk mencampuri urusan keimanan warga negaranya. “Iman itu bukan sesuatu hal yang layak dan perlu ditekan,” terangnya. “Iman itu urusan kita sama Tuhan.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Yopi Muharamatau artikel-artikel tentang Warga Minoritas di Bandung 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//