SABTU SORE #17: #IndonesiaGelap, Alasan Mahasiswa Harus Terus Melawan
Mahasiswa harus terus merespons isu sosial yang terjadi. Mahasiswa juga bagian dari masyarakat.
Penulis Fauzan Rafles 24 Februari 2025
BandungBergerak.id – “Selama mahasiswa masih bersuara, kampus belum akan mampus”. Sebuah slogan yang digaungkan BandungBergerak ketika menyelenggarakan Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara #28Hari28Kritik. Sepekan ini “mahasiswa bersuara” dengan tagar Indonesia Gelap (#IndonesiaGelap) dengan aksi masa di jalanan di banyak tempat di tanah air, atau bersuara kritis lewat media sosial. Diskusi Sabtu Sore di Perpustakaan Bunga di Tembok pada Sabtu, 22 Februari 2025, membahas aksi masa mahasiswa yang marak terjadi saat ini.
Pemimpin redaksi BandungBergerak, Tri Joka Her Riadi sekaligus pemateri diskusi mengungkapkan bahwa masyarakat terlebih lagi mahasiswa harus terus merespons terhadap isu sosial yang terjadi. Namun ia juga menyoroti pemberitaan media masa atas aksi mahasiswa.
“Dari sisi media, seharusnya yang sudah harus disoroti adalah seberapa tahan media memberi porsi bagi perkembangan isu. Media seharusnya menjadi bekal bagi teman-teman muda yang ingin kritis di selain melaporkan aksi yang terjadi,” kata Joko.
Saat ini aksi unjuk rasa mahasiswa harus berhadapan dengan tudingan miring seperti “hanya bikin macet” dan “bikin rusuh aja”. Di situasi tersebut, peran media menjadi krusial. Ada pesan yang tidak tersampaikan.
“Bagiku perlu menjembatani turun ke jalan untuk menyampaikan tuntutan atas isu. Persoalannya adalah sikap yang disampaikan itu tidak sampai ke masyarakat dengan cara yang pas. Sehingga ada jurang di tengah pemahamannya,” kata Joko.
Media memiliki peran untuk bisa mengedukasi masyarakat secara luas. Menginformasikan mereka yang belum sempat turun ke jalan karena satu atau dua hal. Media memegang peran penting sebagai ujung tombak penyampaian informasi yang utuh dan terpercaya kepada masyarakat. Setidaknya, meski mereka belum dapat turun ke jalan, tapi empati mereka tetap dijaga melalui pantauan berita.
Joko mengatakan, aksi massa sampai kapan pun akan selalu penting. Terkait orang-orang yang memiliki sikap yang sama dengan satu tujuan. Orang-orang muda yang lapar, bisa dijadikan tombak yang kuat untuk menakuti para penguasa.
Di satu sisi, pemerintah punya banyak cara untuk menekan kritik. Dengan teknologi dan segala yang dimilikinya pemerintah punya semua kemampuan untuk menumpas kritik dengan teknologi dan segala macam yang dimilikinya. Pemerintah sudah ditopang dengan data yang besar untuk membungkam masyarakat. Namun, masyarakat juga punya peluang untuk menanggapi itu. Dengan kemajuan teknologi yang sama, bisa dijadikan kesempatan untuk mengkonsolidasi sekecil apa pun.
Artinya, jika masyarakat tahu yang menekan mereka itu semakin canggih, ketika mereka ingin menjadi kritis, maka terus belajar itu akan semakin penting. Belajar bagaimana keamanan digital, mengantisipasi tekanan dari fisik dan segala macam. Mau tidak mau mahasiswa harus terus mengenali dan belajar cara-cara pemerintah yang semakin ingin membungkam.
Joko menyoroti sudah banyak tindakan pemerintah yang membelenggu ekspresi masyarakat. Seperti yang terjadi pada Teater Payung Hitam dan lagu Bayar Bayar Bayar. Penguasa sepertinya mulai terganggu dengan kritik masyarakat. Dalam kata lain, mereka takut.
Ada peserta diskusi yang bertanya, apa yang akan terjadi apa yang terjadi jika negara sudah tidak mau menerima dikritik. “Ya habislah kita,” kata dia. “Artinya gak akan ada pendapat kedua dan gak ada orang yang menantang narasi-narasi yang dikemukakan penguasa yang mana dapat mematikan bagi publik, mahasiswa, dan media.”
“Kritik itu satu hal, dan makian itu lain hal. Bila hanya ingin memaki, cukup hanya dengan berkata kotor. Namun kritik lahir dari argumen. Argumen yang diolah dengan data dan referensi yang baik melahirkan kritik yang bukan cuma tajam, namun juga membangun. Kritik yang baik memiliki argumentasi di belakangnya,” kata Joko.
Joko mengajak mahasiswa untuk terus melawan dengan cara yang tepat. Fokusnya adalah mengacu pada tiga hal. Pertama, memperkuat jaringan. Kedua, menaruh kritik. Ketiga, diskusi dan menyebarkannya ke publik secara luas.

Baca Juga: SABTU SORE #13: Mendengar Kekhawatiran Warga Tampomas di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor Geothermal
SABTU SORE #14: Melihat Kerusakan Lingkungan dari Kacamata Politik Hijau
SABTU SORE #15: Menunggu Wali Kota Bandung Punya Terobosan Mengatasi Kemacetan, Banjir, dan Sampah
Kenapa Mahasiswa Turun Aksi?
Perwakilan Keluarga Mahasiswa ITB, Revanka Mulya selaku pemateri yang lainnya memaparkan sejumlah alasan mahasiswa masih turun ke jalan mengkritik pemerintah. “Kita ingin membawa kebenaran ilmu pengetahuan. Kita ingin kebijakan pemerintah itu tidak hanya menguntungkan segelintir elite saja,” kata dia.
Dari berbagai macam isu, seperti PPN, gas elpiji, efisiensi anggaran, dan tuntutan evaluasi besar-besaran agar kebijakan pemerintah lebih pro kepada rakyat. KM ITB juga ingin susunan pemerintah itu diisi oleh pakar-pakar setiap bidang agar dapat lebih mengerti rakyat.
Revanka mengatakan, aksi masa mahasiswa tidak berjalan mulus-mulus sama. Ada tekanan yang diterima dari dalam dan dari luar jaringan. Propaganda dan fitnah terhadap mahasiswa juga banyak dilontarkan oleh para pejabat itu sendiri yang katanya tidak anti kritik.
Ia menyebutkan, ada yang dengan entengnya berkata “Indonesia itu gak gelap, tapi muka kau yang gelap”, pernyataan tersebut membawa bayangan masyarakat seperti yang terjadi di zaman kolonialisme dahulu.
Revanka mengatakan, sebagai mahasiswa yang punya privilege sekolah tinggi tidak boleh lupa kalau mahasiswa juga masyarakat. “Kita punya tanggung jawab karena kita punya ilmu dan kita harus membagikan itu ke semua orang. Itu simpelnya,” kata dia.
Pemateri lainnya, Cindy Veronica Rohanauli dari Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD) menyoroti kebijakan anggaran pendidikan pemerintah yang dikritiknya karena dipengaruhi nelioberaisme.“Jadi, aku bersama beberapa kawan-kawan menulis respons terhadap anggaran pendidikan. Ternyata kebijakan ini tuh gak lahir dari ruang hampa. Ternyata ada sesuatu yang gak terlihat, dan aku mengidentifikasikan sebagai neoliberalisme,” kata dia.
Ia menjelaskan, neoliberalisme sendiri adalah sistem paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan pasar, deregulasi, dan pengurangan peran pemerintah dalam ekonomi. Paham ini berkembang sejak akhir abad ke-20 dan sering dikaitkan dengan kebijakan privatisasi, liberalisasi perdagangan, serta pengurangan subsidi dan regulasi negara. Neoliberalisme berakar pada pemikiran ekonomi klasik seperti yang dikembangkan oleh Adam Smith dan diperkuat oleh ekonom seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman. Inti dari neoliberalisme adalah keyakinan bahwa pasar bebas lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya dibandingkan dengan campur tangan pemerintah.
Cindy mengatakan kebijakan pemerintah saat ini tidak lepas dari tarik ulur kepentingan ekonomi politik global. Ekonomi Indonesia sendiri sudah banyak terintegrasi produk luar negeri yang semakin bebas. Ditambah, daya konsumsi yang meninggi dan akses yang sangat mudah kepada itu semua. “Aku sih melihatnya ada agenda politik yang harus dicari tahu siapa dan ada sesuatu apa sih yang mau ditanamkan kepada Indonesia,” katanya.

Pengumuman Pemenang Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara
Di penghujung diskusi Sabtu Sore #17, Pemimpin Redaksi BandungBegerak mengumumkan pemenang Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara #28hari28kritk. Menyikapi kondisi negara yang sedang tidak baik-baik saja, BandungBergerak memberikan wadah kepada seluruh mahasiswa untuk menyuarakan opininya dalam bentuk esai melalui gerakan #28Hari28Kritik.
Sejak sayembara di umumkan tanggal 13 November 2024, redaksi BandungBergerak menerima ratusan esai dari mahasiswa di seluruh Indonesia. Esai yang terbaik ditayangkan selama 28 hari juga terhitung sejak 10 Desember 2024 hingga 6 Januari 2025, Seluruh esai terpilih tersebut dibukukan menjadi satu buku yang berjudul “Melawan dengan Gagasan”.
Tiga esai terbaik dikukuhkan sebagai pemenang Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara tahun 2025. Adapun tiga pemenangnya sayembara tersebut sebagai berikut.
Pemenang 1: “Kliktivisme, Sebuah Demonstrasi Gaya Baru” karya Eky Zupaldry, Mahasiswa Sarjana Filsafat Keilahian Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
Pemenang 2: “Mendekonstruksi Wacana Kesehatan Mental" di Media Sosial Milik Pemerintah” karya Muhammad Andi Firmansyah, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
Pemenang 3: “Rasa Malu dan Mitos Pemerkosaan yang Melingkupi Tubuh Perempuan Membuat Proses Keadilan Menjadi Semakin Rumit” karya Aubrey Kandelila Fanani, Mahasiswa S2 program Kajian Budaya Inter-Asia, Universitas National Yang-Ming Chiao Tung , Taiwan.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain Mahasiswa Bersuara