• Berita
  • SABTU SORE #14: Melihat Kerusakan Lingkungan dari Kacamata Politik Hijau

SABTU SORE #14: Melihat Kerusakan Lingkungan dari Kacamata Politik Hijau

Ancaman terhadap lingkungan semakin menjadi perhatian publik. Negara dan korporat menjadi aktor utama yang merusak lingkungan.

Diskusi buku Politik Hijau Pengantar Isu-Isu Kontemporer di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, 25 Januari 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Resha Allen Islamey 1 Februari 2025


BandungBergerak.idNegara memiliki tanggung jawab besar dalam kerusakan lingkungan. Di sisi lain, individu atau kelompok sosial memiliki peran tersendiri untuk menyelamatkan lingkungan yang diperparah krisis iklim. Dalam konsep politik hijau, aktor nonnegara justru berperan besar untuk menyelamatkan lingkungan.

Ica Wulansari, dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadhina membedah konsep politik hijau dalam buku Politik Hijau: Pengantar Isu-Isu Kontemporer. Buku ini didiskusikan di agenda Sabtu Sore Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, 25 Januari 2025.

Icha menerangkan, teori politik hijau berangkat dari krisis ekonomi politik global. Melalui aktor negara dan pasar, tata kelola ekonomi politik bisa disesuaikan demi mengakumulasi kapital. Poin-poin penting dari politik hijau antara lain, tanggungjawab ekologis di level individu maupun kolektif, misalnya, perhitungan residu yang dihasilkan setiap harinya.

Selanjutnya, keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan atau demoktasi parstisipatif. Berikutnya, gerakan sipil tanpa kekerasan. Masalahnya, negara melalui instrumen kekerasannya kerap hadir untuk merepresi untuk melanggengkan kapital.

Selain menghadapi tantangan negara, individu atau masyarakat memiliki sumber daya terbatas. Sementara perubahan iklim sudah terjadi dan memicu krisis iklim. “Persoalan kita hari ini adalah daya dukung lingkungan hidup kita terbatas, tapi kita menghadapi perubahan iklim,” sebut Icha.

Icha lantas membeberkan tiga tantangan dalam menghadapi perosalan iklim. Pertama, politik pengetahuan, bahwa cara pandang mengenai krisis iklim belum mempertimbangkan risiko. Kedua, politik kekuasaan seperti upaya pertumbuhan ekonomi 8 persen tanpa diimbangi perspektif lingkungan. Ketiga, politik kebijakan yang menguntungkan aktor tertentu yang memiliki akses terhadap kebijakan.

Rizki M. Hakim, Koordinator Agrian Resource Center, yang juga menjadi pemantik pada dikusi Sabtu Sore, merasa buku Politik Hijau: Pengantar Isu-Isu Kontempor sudah layak sebagai pengantar terhadap isu-isu lingkungan.

“Khususnya di tatanan globalnya, di tatanan hubungan internasionalnya, di tatanan kebijakan-kebijakan nasional di antara beberapa negara,” tanggap Rizki.

Hanya saja, menurut Rizki, pembacaan atas isu lingkungan perlu lebih tajam dengan melampaui dikotomi antroposentris dan ekosentris. Ia menawarkan pembacaan ekonomi-politik. Misalnya, kebijakan internasional yang memaksa negara selatan agar sadar lingkungan dan seolah ia pelaku utama kerusakan lingkungan. Padahal kepemilikan perusahaan besar perusak lingkungan di negara selatan juga berasal dari barat.

Baca Juga: SABTU SORE #13: Mendengar Kekhawatiran Warga Tampomas di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor Geothermal
SABTU SORE #8: Konser Di Antara Bunga dan Tembok
SABTU SORE #6: Perempuan di Panggung Politik

Foto bersama peserta diskusi buku Politik Hijau Pengantar Isu-Isu Kontempor di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, 25 Januari 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Foto bersama peserta diskusi buku Politik Hijau Pengantar Isu-Isu Kontempor di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, 25 Januari 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Dari Lokal ke Internasional

Untuk memahami kondisi ekonomi-politik di tingkat lokal, Rizki menyebut, negara dan swasta merupakan istrumen pasar. Pasar dan negara merupakan domain yang tak terpisahan sebagai aktor perusak lingkungan.

Kini praktik pemerintah dan swasta bernuansa positif dengan adanya transisi energi hijau. Hanya saja, kata Rizki, malah menciptakan sebuah bisnis baru di sektor lingkungan, seperti produksi karbon. Kemunculan bisnis ini juga bertujuan untuk menambal dosa praktik perusakan lingkungan.

Rizki mencontohkan konflik yang timbul akibat adanya bisnis kredit karbon. Di Kecamatan Ulumanda, Sulawesi Barat, awalnya masyarkat hidup dengan persoalan desanya, namun berubah sejak penetapan kawasan hutan lindung. “Warga pada akhirnya diusir dari rumahnya karena rumahnya ditetapkan sebagai kawasan hutan untuk kecenderungan ekonomi baru di Indonesia, ekonomi hijau,” papar Rizki.

“Karena mereka negaranya atau berikut dengan sektor suasananya membutuhkan kredit karbon. Membutuhkan satu penghasil karbon supaya mereka bisa masuk ke pasar energi karbon. Jadi setiap emisi yang dikeluarkan oleh sektor industri itu harus seimbang dengan jumlah pohon yang ditanam di suatu tempat,” terang Rizki.

Pada akhirnya, upaya pelestarian lingkungan juga ditujukan untuk akumulasi kapital. Alhasil, Rizki menyebut bisnis baru ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang dan meminggirkan yang lain.

Icha pun menimpali, pengusiran kelompok-kelompok dari ruang hidupnya jelas sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Ia menegaskan, tidak mungkin berbicara ramah lingkungan tanpa berbicara ramah sosial.

*Kawan-kawan bisa menyimak reportase lain dari Resha Allen Islamey, atau tulisan lain tentang Lingkungan Hidup  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//