SABTU SORE #8: Konser Di Antara Bunga dan Tembok, Suara Kritis dari Sudut Perpustakaan
Konser musik Di Antara Bunga dan Tembok lahir dari pemaknaan terhadap idealisme kehidupan yang selalu membentur tembok kenyataan.
Penulis Salma Nur Fauziyah3 Januari 2025
BandungBergerak.id - Genjrangan gitar dan gesekan biola mengalun harmonis di kafe Perpustakaan Bunga di Tembok, Jalan Pasirluyu Timur no. 117A Bandung. Penonton khidmat menyaksikan konser musik akustik bernuansa folk dan pop ballad dari kelompok musik Bob Anwar, dalam suasana syahdu lampu kafe di Sabtu Sore yang mengangkat tema Di Antara Bunga & Tembok, 28 Desember 2024.
Sambil menikmati minuman dan menyantap kudapan, setiap penonton mendapatkan zine berisikan lirik-lirik lagu yang akan dibawakan. Sang penyanyi, Fajar (personel Bob Anwar), bernyanyi di antara rak-rak buku, lagu pertama yang dilantukan berjudul ‘Di ujung Warkop’.
“Di ujung warkop ini
Ingin kumuntahkan
Protes dan keluhan
Pada tuan atau tuhan
Tapi aku sadar
Aku takkan bisa’’
Warkop sebagai tempat rehat, orang-orang bergelut dengan segala keluhan kehidupan di negeri oligarki, demikian kurang lebih maksud lirik lagu tersebut.
Di sela-sela pertunjukan, Fajar bercerita tentang sang lagu yang ditulisnya tahun 2021. Banyak yang bertanya mengapa tidak menamainya dengan Di Ujung Cafe saja. Alasannya begitu personal.
“Karena bagi urang sendiri kafe tidak estetik,” celetuknya.
Kafe dipandang sebagai tempat untuk anak-anak skena. Namun ia mengaku melebihi anak-anak skena itu sendiri. “Nongkrong di kafe, tidur jeung mandi ge di kafe urang mah! Kurang skena apa atuh urang,” katanya.
Istilah warkop menurutnya lebih universal. Segala macam golongan orang berkumpul di sana untuk bediskusi dan berkeluh kesah. Mereka juga dapat menyambung ekonomi dengan nganjuk, hal yang tak mungkin terjadi di kafe-kafe.
Lagu kedua tidak kalah personal. Judulnya adalah Lagu 27. Menurut zine yang dibagikan kepada para penoton, lagu ini dirilis tahun 2020. Isinya bercerita tentang perenungan seseorang yang menginjak usia 27 tahun.
“Sudah berartikah hidupmu, seberapa berguna karyamu di usia 27?” demikian lirik Lagu 27.
Usia 27 tahun adalah usia krusial, menjadi titik balik seseorang dalam memandang dirinya sendiri dan kariernya. Terlebih bagi seorang laki-laki. Dalam usia-usia itu tekanan sosial begitu besar. Apalagi jika belum menikah atau belum lulus kuliah S1.
Setelah chit-chat dengan para penonton, Bob Anwar lanjut membawakan lagu Minggu Kelabu. Dipersembahkan bagi mereka yang sedang mengalami rindu. Pada rumah dan juga orang tua.
Pertunjukan malam minggu ini kemudian dilanjutkan dengan empat lagu lainnya. Seperti Semoga Bahagia, yang berkolaborasi dengan Tasya Assabila.
Lalu seperti tiap-tiap pertunjukan musiknya, Bob Anwar pasti akan merilis satu atau dua lagu baru. Lagu teranyanyar ini turut dinyanyikan, berjudul Menolak Berpikir Dangkal, sekaligus menjadi lagu yang menjadi sorotan utama tema pertunjukan musik hari itu.
Selanjutnya ada Melati dari Jayagiri. Dan Liburan ke Kampung Halaman, sebagai persembahan penghujung acara dan akhir tahun.
Semua lagu bermakna personal dan terkesan intim.
Baca Juga: SABTU SORE #6: Perempuan di Panggung Politik, Dijegal Sistem dan Dipinggirkan Stigma Sosial
SABTU SORE #7: Menyibak Pembabatan Hutan di Kawasan Konservasi Melalui 17 Surat Cinta
‘Bersuara’ Lewat Pertunjukan Musik
Pertunjukan musik intim Bob Anwar sudah dimulai sejak tahun 2018. Awalnya merka hanya melakukan musikalisasi puisi. Namun, setelah tahun 2020, fokus dan visi musik pun berganti. Pertunjukan musik atau showcase intim menjadi ajang untuk merespons isu yang sedang terjadi.
“Akhirnya, ya, mencoba untuk lebih menuangkan gagasan dan keresahan terhadap lingkungan, sistem, juga isu sosiallah gitu,” jelas Fajar.
Konser musik Di Antara Bunga & Tembok ini bukan hanya terinspirasi dengan nama perpustakaan dan kafe tempat pertunjukan itu dilaksanakan. Lebih dari itu, ada pemaknaan terhadap kehidupan.
“Mungkin di antara bunganya itu ketika kita ingin hidup dengan yang sesuai dengan ideal. Simbol dari keidealan, yang kita inginkan hidup yang berbunga. Yang indah. Tapi, pada akhirnya kita harus berbenturan dengan kenyataan yang seperti tembok,” jelas musisi yang juga menyambangi karier sebagai guru honorer.
Pemaknaan ini muncul setelah ia membaca-baca puisi Wiji Thukul. Selanjutnya, Fajar mencoba memaknainya sendiri.
"Bunga dan Tembok" sendiri merupakan salah satu puisi Wiji Thukul, aktivis reformasi yang sampai saat ini dinyatakan hilang. Dikutip dari penelitian Isnaini Nurhayati dan Megan Asri Humaira dari Universitas Djuanda, berikut ini penggalan puisi Bunga dan Tembok:
...
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engaku harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun - tirani harus tumbang!
Selain tentang kehidupan yang absurd, tema pertunjukan Bob Anwar Bunga dan Tembok ditujukan untuk generasi muda yang tengah gagap menghadapi dunia kerja. Dalam pengantar zine-nya, ia menulis: “Mungkin beginilah nasib saya dan ribuan sarjana lainnya: mencari celah di antara sistem pendidikan yang terlalu kaku, yang hanya tahu cara mencetak manusia seragam dengan standar tunggal.”
Keresahan teman-teman yang baru lulus kuliah berhasil ditangkap oleh Fajar. Kegagapan dalam menghadapi dunia kerja hingga tekanan sosial hingga krisis ekonomi yang melingkupinya.
Tetapi meski muncul kesadaran bahwa ijazah tidak menjamin apa pun. Bukan berarti mereka (anak-anak muda ini) menyerah begitu saja. Hal ini yang mengilhami lagu barunya, Menolak Berpikir Dangkal.
“Akhirnya, satu-satunya jalan untuk kita agar bisa survive ya kita harus mulai berpikir kritis,” ungkap Fajar, sambil menekankan ilmu yang didapat mesti digunakan sebaik-baiknya. “Jadi, jangan sampai kita mudah mengikuti arus. Mungkin bisa dikatakan seperti itu.”
Konser Musik di Perpustakaan
Konser musik dan perpustakaan. Kiranya ini bagaikan sebuah ide yang gila. Gebrakan yang menabrak sebuah norma bahwa perpustakaan harus bebas dari kebisingan.
“Kebetulan waktu kemarin ada teman dari Bandung Bergerak, Tofan. Ngobrol-ngobrol. Ini bagus nih perpustakaannya, bisa enggak kita main (musik) di situ? ‘.Oh, bisa Kang’ langsung gitu,” cerita Fajar, awal mula Bob Anwar bisa showcase di perpustakaan. Persiapannya hanya dua minggu. Sangat singkat.
Tapi, konsep pertunjukan inilah hal yang sebenarnya diinginkan oleh Fajar. Misinya adalah mendekatkan perpustakaan, meletakannya bukan sebagai tempat ekslusif tapi tempat yang mengasyikan bagi semua orang.
Fajar memandang perpustakaan sebagai tempat spesial. Semasa kuliah, perpustakaan adalah tempat hiburannya sebagai seorang mahasiswa Sastra Indonesia.
“Lalu di perpustakaan juga kan banyak sekali, khususnya saya tuh banyak bertemu teman juga. Sharing gitu biasanya di perpustakaan itu dengan orang-orang yang memang satu frekuensi juga,” katanya.
Hadirnya perpustakaan Bunga di Tembok bagaikan sebuah angin segar. Hal ini dipandang Fajar menjadi tempat yang tepat untuk mewujudkan mimpinya. Sekaligus menjadi sebuah wadah dalam mencerdaskan masyarkat. Dengan geliat berdiskusi dan membaca.
*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Salma Nur Fauziyah, atau juga artikel-artikel lain Sabtu Sore