SABTU SORE #6: Perempuan di Panggung Politik, Dijegal Sistem dan Dipinggirkan Stigma Sosial
Rendahnya jumlah perempuan dalam pertarungan politik praktis di pilkada maupun pemilu nasional menunjukkan ada persoalan serius dalam hal keadilan gender.
Penulis Awla Rajul25 November 2024
BandungBergerak.id - Sebagaimana di lingkup sosial, perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua dalam kontestasi politik di Indonesia. Kandidat perempuan yang berkontestasi dinilai bukan karena kapasitas dan gagasannya, tapi dari bagaimana cara ia berpenampilan, parasnya, hingga perannya di rumah tangga. Hal itu menegaskan bahwa sistem politik di kita tidak adil bagi perempuan.
“Ini memang pengalaman kolektif perempuan, dari grassroot sampai pusat masih parah sistemnya,” terang Luthfi Maulana Adhari, perwakilan Konde.co pada sesi diskusi kegiatan Sabtu Sore #6, nonton bareng dokumenter “Perempuan Kandidat”, yang diselenggarakan oleh BandungBergerak.id dan Konde.co, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu, 23 November 2024.
Perempuan Kandidat adalah dokumenter yang diproduksi oleh Konde.co, sebuah media alternatif dari Jakarta yang fokus pada isu perempuan, kelompok marjinal, dan interseksional. Perempuan Kandidat mengisahkan bagaimana beberapa contoh kasus kandidat perempuan yang maju dalam bursa Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pilkada dipertanyakan kemampuannya. Mereka dicemooh, dinilai dari cara mereka berdandan, cara mereka berpakaian, sampai statusnya sebagai janda.
Lutfi menerangkan, dokumenter itu dibuat lantaran keterwakilan perempuan dalam politik praktis yang masih sangat rendah. Dalam dokumenter itu disebutkan, pada rentang 2015-2018 jumlah perempuan pemimpin daerah hanya sekitar 8,49 persen. Hasil pemilu Februari lalu pun, baru satu partai yang memenuhi keterwakilan perempuan, sisanya masih rendah. Di legislatif, ini masih menjadi soal karena peraturan KPU yang menghitung keterwakilan perempuan dengan pembulatan ke bawah, bukan ke atas.
Lutfi menerangkan, keterwakilan perempuan baru secuil isu dalam pusaran persoalan interseksional yang masih diselimuti masalah kekerasan dan lainnya. Dalam konteks politik, dikenal istilah politic of presence dan politic of ideas. Keterwakilan perempuan merupakan masalah pada kehadiran perempuan di konteks politik, belum masuk kepada bagaimana ide maupun gagasan untuk memperjuangkan perempuan dengan politik.
“Kalau presence-nya masih aja begitu, ideas-nya gimana? Makin-makin gitu,” ungkapnya.
Proses menggarap dokumenter, lanjut Lutfi, tentu menemui hambatan. Seperti, sulitnya menemui beberapa calon kandidat perempuan di daerah-daerah. Para kandidat ini dinilai tengah dalam “posisi sulit”. Sebab salah satu persoalan perempuan maju di kontestasi politik adalah hambatan dari internal partai yang belum sepenuhnya mendukung perempuan.
“Lagi-lagi karena partai politiknya juga yang menghambat perempuan. Hambatan terbesar perempuan maju itu dari partai politiknya sendiri sebenarnya,” terangnya.
Realitas elite politik yang masih mengekang kehadiran perempuan dalam kontestasi politik ini pula yang membuat “budaya” ini masing langgeng di tengah-tengah masyarakat. Meski begitu, dalam kontestasi Pilkada 2024 ini, tiga calon Gubernur Jawa Timur merupakan perempuan. Jomplang dengan Jawa Barat yang hanya memiliki satu orang kandidat perempuan, itu pun dicalonkan sebagai Wakil Gubernur.
Lutfi menyebut, banyak faktor yang membawa kondisi “politik perempuan” di Jawa Timur demikian. Beberapa di antaranya adalah para kandidat itu sudah memiliki rekam jejak dalam perpolitikan, mereka sudah duduk sebagai petahana, mantan wali kota, menteri, serta anggota dewan. Akibat itu, secara sosial telah terbentuk pemimpin perempuannya.
Lutfi mengapresiasi hal itu. Di tataran kehadiran, politic of presence perempuan di Jawa Timur menjadi kabar baik dan diharapkan bisa direplikasi di daerah-daerah lain. Namun yang perlu diulik selanjutnya adalah apakah para perempuan yang berkontestasi ini membawa serta ide dan gagasan mengenai perempuan.
“Yang harus diulik adalah idenya, apakah membawa pikiran perempuan juga, sudah memberdayakan perempuan, kelompok minoritas gender, dan lainnya. Itu yang perlu dilakukan selanjutnya,” tegasnya.
Senada dengan Lutfi, perwakilan Great UPI, Nidan menyampaikan, bahwa perempuan yang sulit berkontestasi di politik perlu dikritisi. Sebab, persoalan ini baru membahas terkait kehadiran, belum pada konteks bagaimana memperjuangkan isu perempuan, gender, kekerasan, pemberdayaan, dan lainnya.
“Belum ngomong gagasan, kehadirannya aja jadi masalah. Belum lagi ngomongin narasi seksis. Seakan perempuan itu harus jadi sosok sempurna dulu baru bisa tampil dan pantas di publik,” ungkap Nidan dalam diskusi, yang mengkritik beberapa pernyataan paslon gubernur dalam kontestasi Pilkada 2024 yang mendiskreditkan perempuan.
Nidan menegaskan, perempuan perlu terus bersuara ketika masih ada pihak yang menormalisasi budaya buruk itu. Ia juga berpendapat, dokumenter itu sangat mewakili keresahan perempuan dan relevan dengan kondisi saat ini.
Ia lantas mengajak agar para perempuan untuk berkumpul menyuarakan aspirasinya. Cara ini perlu dilakukan sebab ketika menghadapi persoalan sendirian, acap kali perempuan akan merasa terisolasi dan tidak punya kekuatan. Ia mengajak untuk mengedukasi orang-orang terdekat dan perlu adanya pendidikan politik yang berkelanjutan, agar masyarakat terus sadar akan keterlibatan di politik yang bermakna dan membawa perubahan sosial.
“Ketika punya keresahan yang sama, bergabung dan berupaya membawa perubahan sosial, itu sekiranya bisa membantu kita juga,” terangnya.
Baca Juga: Perempuan-perempuan Pembela HAM dari Bandung Melawan Penggusuran
Lantang Suara Perempuan Bandung
Menjaga Jejak Perjuangan Perempuan di Bandung Melalui Monumen Laswi, Sebuah Eksplorasi Ingatan
Media Alternatif Bisa Berdampak
Perwakilan BandungBergerak Virliya Putricantika menjabarkan, salah satu temuan hasil liputan yang dilakukannya beberapa waktu lalu sebelum Pemilu Februari. Ia menilai para kandidat perempuan yang maju berkontestasi di legislatif Jawa Barat masih kalah pamor dibanding kandidat laki-laki. Keterwakilan perempuan dijalankan oleh partai sebab ada regulasi yang mensyaratkan minimal 30 persen.
“Apakah ini formalitas partai atau bagaimana?” tanyanya retoris. “Permasalahannya adalah ketika mereka (perempuan) mencalonkan diri, ada beberapa pertimbangan partai, seperti kandidat laki-laki yang lebih kuat. Iya sih ada perempuan, tapi laki-laki lebih dipandang oleh partai itu.”
Virliya juga berpendapat, di Bandung atau Jawa Barat, perempuan yang berkontestasi di politik juga kerap dinilai latar belakang agamanya. Pun demikian, menurutnya, kandidat perempuan yang memiliki “kedekatan” hubungan kerabat dengan elite politik negara, belum tentu bisa hadir berpolitik. Ia bahkan menilai, kehadiran perempuan dalam banyak profesi saat ini masih dipertanyakan.
Fotografer BandungBergerak ini pun menyebutkan, media punya tanggung jawab untuk membentuk opini publik. Isu perempuan dan gender sering kali dianggap tidak seksi oleh media arus utama. Untuk itulah perlu adanya media alternatif yang memberi keberpihakan dan membawa suara orang-orang yang dipinggirkan.
Keberpihakan terhadap kelompok rentan ini, merupakan antitesis dari tokoh politik yang tidak mampu berkomitmen dan menaruh keberpihakan kepada masyarakat terpinggirkan, salah satunya perempuan dan keragaman gender.
“Itulah kenapa perlu media memilih dan menegaskan keberpihakan. Kita harus memberi statemen yang jelas, bahwa jurnalisme itu untuk publik, bukan untuk oligarki dan pemerintah,” katanya. “Kita meyakini semua individu itu punya haknya (untuk bersuara)."
Di samping itu, media alternatif juga perlu menjadi “pihak” yang menyederhanakan retorika cerdik para politisi. Menurutnya, sudah menjadi tugas jurnalis untuk menyederhanakan retorika itu agar mudah dipahami oleh publik.
Senada dengan Virliya, Luthfi dari Konde.co juga menegaskan, media alternatif punya peran yang signifikan untuk melawan narasi dominan yang dibawa oleh media arus utama yang dimiliki oleh gurita bisnis yang dekat dengan kekuasaan politik.
“Di zaman media sosial sekarang, antara arus utama dan alternatif irisannya tipis. Kita bisa punya dampak yang besar untuk menyampaikan realitas itu. Kita menyampaikan isu secara berkelanjutan untuk memberikan narasi tanding terhadap narasi dominan, supaya masyarakat mendapatkan narasi yang imbang,” kata Luthfi. “Tugas media itu giving voice to the voiceless (memberi suara pada yang tak bersuara).”
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Awla Rajul atau artikel-artikel Pilgub Jabar 2024