TEDxBandung 2025: Merayakan Cahaya di Tengah Kegelapan
Tema LIGHT di TEDxBandung 2025 menuntun acara menuju ide-ide segar, kolaborasi komunitas, dan pengalaman peserta yang penuh inspirasi.
Penulis Retna Gemilang2 Desember 2025
BandungBergerak - TEDxBandung 2025 mengusung tema “LIGHT” untuk membawa gagasan baru sekaligus merayakan ulang tahun ke-15 penyelenggaraannya. Acara berlangsung di The House Convention Hall, Paskal Hyper Square, Bandung, Jumat, 29 November 2025.
Program TEDx merupakan gerakan akar rumput yang membawa misi TED (Technology, Entertainment, Design) untuk menyebarkan ide yang layak dibagikan di komunitas lokal. TEDxBandung pertama hadir pada 2010 dan kini dijalankan oleh Licensee M. F. Rosiy atau Zi.
Tema “LIGHT” dipilih sebagai refleksi terhadap kondisi negeri yang tengah gelap, sekaligus menghadirkan secercah harapan lewat ide-ide baru. Unsur keberlanjutan juga diterapkan dalam keseluruhan rangkaian acara.
“Jadi sebenarnya kekuatan dari cahaya walaupun kecil, dia lebih punya power dibandingkan kegelapan, harapan yang lebih besar,” ujar David Irianto, Kurator Tamu dari TEDxJakarta.
Sebanyak 200 peserta hadir, terdiri dari 100 peserta umum dan 100 undangan mitra. Setelah registrasi dan pengisian form jejak karbon, peserta memasuki Discovery Session yang menampilkan booth mitra seperti Qwords, Drizy Studio, Lindungi Hutan, Ppuff!, Dilans, dan Jubelo. di sela waktu, peserta menikmati The Food Program yang dikurasi Hendri Aditya dari Mondar Mandir Makan.
Sesi Sunlight dibuka dengan musik Sunda oleh Puspa Karima. Berikutnya, tampil panelis: Malikul Ikram dengan inovasi pertanian, Ulet Ifansasti dengan foto jurnalistik berfokus isu lingkungan, Minanto lewat novel Aib dan Nasib yang menyinggung isu gender, Zaky Yamani tentang stigma maskulinitas, Zensa Rahman terkait self development dan ruang dalam diri.
“Kosong adalah isi, isi adalah kosong, dan ketika kita dewasa, kita sadar bahwa kita sering kali mengisi. Fokus pada isi, tapi lupa memberikan ruang,” ujar Zensa.
“Jangan-jangan yang kita butuhkan bukan lebih banyak isi, tapi lebih banyak ruang. Ruang untuk jeda, ruang untuk berhati, ruang untuk berfikir, menjadi utuh ke diri sendiri,” lanjutnya.
Setelah itu, peserta kembali ke Discovery Session dengan Speakers Meetup serta workshop dari mitra. KOMPAS Institute mengadakan kelas TTS; Lindungi Hutan mengajak peserta mensimulasikan perhitungan emisi karbon; Drizy Studio menggelar kelas kerajinan kertas; dan DILANS mengajar bahasa isyarat dasar.
Sesi Moonlight menghadirkan eksplorasi ruang digital-fisik melalui skenografi Tomy Herseta; ide “Petani Film” dari sutradara Anggi Frisca; musik intermedia Etza Meisyara; serta dua penulis kembar, Evi Sri Rezeki dan Eva Sri Rahayu. Ada pula Adhi Nugraha dengan produk interior dari limbah kotoran sapi, dan Hesti Wulandari dari Observatorium Bosscha.
“Bayangkan kita ada di tempat yang langitnya sangat gelap, Anda bisa melihat tekstur, struktur dan warna gelap terang di langit. Banyak orang menggambarkan perasaan ini dengan satu kata, takjub,” jelas Hesti.
“Penelitian psikologis menyatakan bahwa mengalami perasaan kagum seperti ini, bisa menurunkan fokus yang berlebih terhadap diri sendiri, meningkatkan perilaku pro-sosial, menumbuhkan rasa syukur, dan membuat kita merasa terhubungkan dengan sesuatu yang lebih besar,” imbuhnya.
Komunitas Berkolaborasi
Lindungi Hutan menjadi mitra keberlanjutan utama. Anggun Widi Nugroho, Business Development Executive, menjelaskan bahwa mereka menghitung emisi karbon acara yang kemudian dikompensasi melalui penanaman pohon di Leuwi Enis, Garut.
“Kita bisa ngitung berapa sih hasil emisi yang kita hasilkan di hari itu dan kita harus menebusnya dengan tanam pohon,” jelasnya.
Mereka juga membuka booth konsultasi dan kelas “Light or Shadow Games: Hitung Jejak Karbonmu”, di mana peserta diajak permainan interaktif untuk memahami barang dan aktivitas menyumbang emisi karbon, sekaligus tips belajar mengurangi jejak karbon.
Drizy Studio berkolaborasi dengan menyediakan plakat panelis, pendanaan, serta workshop papercraft untuk 10 peserta berupa pembuatan box tisu berbentuk rumah.
“Kita ingin mengenalkan produk papercraft yang udah terkenal di pasar luar negeri, sementara di Indonesia sendiri belum pernah coba, apa itu papercraft 3D,” ujar Ayu, Account Executive Drizy Studio.
Baca Juga: TEDxBandung Mendorong Gerakan Inisiatif Komunitas dan Akar Rumput untuk Mengolah Gagasan
TEDxBandung Mengupas Kekuasaan Sipil Menjelang Pilkada Serentak 2024
Suara Peserta
Charissa Zahra Priyani dari Tasikmalaya hadir pertama kali dan merasa relevansi tema “LIGHT” kuat baginya.
“Mengangkat tema Light di mana ketika kita mau bertemu dengan cahaya, kita harus terlebih dahulu berdamai dengan kegelapan, karena 'kan gelap dan terang tuh saling berdampingan,” jelasnya.
Ia juga mengikuti kelas TTS KOMPAS yang membangkitkan nostalgia masa kecil.
“Menurutku seru dan sangat-sangat membuka pikiran kita bahwa ternyata TTS masih selalu relevan di berbagai zaman. Makanya tadi pas ikut kelas pun aku ngerasa udah lama banget enggak main TTS,” katanya.
Vanisya Aprillia dari Jakarta, rutin hadir setiap tahun. Menurutnya, konsep TEDxBandung 2025 lebih matang dan inovatif.
“Benar-benar pulang ke rumah tuh bawa banyak ide,” ungkapnya.
Ia mengikuti kelas papercraft Drizy Studio dan menilai TEDxBandung memberi banyak peluang ide, relasi, dan wawasan baru.
“Paling enggak, cobain untuk datang yang format conference ini, karena mereka enggak cuma menyajikan penampil-penampil aja, tapi ada kegiatan lain di luar penampilan. Jadi, unik banget, mungkin bisa menjadi salah satu pembeda dari TEDx-TEDx lain,” tutupnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

