CERITA GURU: Ketika Guru Honorer Kalah Bersaing
Sistem seleksi memang menjanjikan objektivitas. Namun objektivitas tanpa keberpihakan kepada mereka yang telah mengabdi justru menjadi bentuk ketidakadilan baru.

Insan Faisal Ibrahim
Guru di salah satu Madrasah Swasta di Kabupaten Garut Jawa Barat
10 Desember 2025
BandungBergerak.id – Fenomena guru yang tertinggal oleh muridnya sendiri dalam seleksi ASN, PPPK, maupun PPG bukan lagi cerita sunyi yang hanya berputar di ruang guru. Fenomena ini telah menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang kurang sehat dalam cara kita memperlakukan pendidik. Ketika seorang guru yang mengabdi puluhan tahun harus kalah oleh muridnya sendiri. Dalam hal ini kita tidak sedang berbicara tentang sekadar hasil seleksi, tapi kita sedang berbicara tentang bagaimana bangsa ini menilai pengabdian.
Setiap guru honorer yang bekerja bertahun-tahun telah menjalani perjuangan yang tidak terlihat oleh publik. Mereka masuk kelas sejak pagi, mengajar dengan fasilitas terbatas, melengkapi administrasi yang berubah-ubah, dan tetap tersenyum walaupun kesejahteraannya tidak pernah sepadan dengan tanggung jawabnya. Mereka adalah garda depan pendidikan, bahkan pada saat negara belum mampu menyediakan jumlah guru yang cukup. Namun ketika kesempatan ASN dan PPPK hadir, posisi mereka justru seperti peserta baru yang tidak memiliki rekam jejak apa pun. Padahal kenyataannya, rekam jejak merekalah yang seharusnya menjadi dasar utama untuk menilai kualitas seorang pendidik.
Sistem seleksi memang menjanjikan objektivitas. Namun objektivitas tanpa keberpihakan kepada mereka yang telah mengabdi justru menjadi bentuk ketidakadilan baru. Pengalaman bertahun-tahun tidak bisa sepenuhnya diuji lewat soal pilihan ganda. Kecakapan mengelola kelas tidak bisa diukur hanya dari angka hasil tes. Bahkan kemampuan menghadapi karakter siswa, menyelesaikan konflik, memahami latar belakang keluarga, hingga mendidik dengan hati, semua itu tidak mungkin diwakili oleh skor yang muncul di layar komputer.
Fenomena murid yang lebih dulu lolos ASN adalah hal wajar dalam dinamika kehidupan. Murid tumbuh, berkembang, dan melangkah lebih jauh. Namun yang tidak wajar adalah ketika guru yang telah mengabdikan dirinya sekian lama justru terperosok di belakang tanpa perlindungan kebijakan yang cukup. Tidak seharusnya seorang guru senior merasa kalah di tempat yang justru dibangunnya dengan tenaga dan waktunya sendiri.
Ketika seorang guru honorer kalah bersaing, ia tidak hanya kehilangan kesempatan finansial. Ia kehilangan martabat profesional. Ia kehilangan rasa dihargai. Ia bahkan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pendidikan yang selama ini dijaganya dengan sepenuh hati. Rasa frustrasi seperti ini sangat berbahaya, karena dapat mematikan semangat seorang pendidik yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh generasi penerus. Kita sering memuji peran guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun apa artinya pujian itu jika negara tidak memberikan ruang aman bagi mereka ketika usia tidak lagi muda, ketika stamina tidak sekuat dulu, dan ketika teknologi berkembang terlalu cepat untuk mereka kejar. Pahlawan tidak membutuhkan pujian. Mereka membutuhkan perlindungan. Mereka membutuhkan pengakuan yang nyata, bukan hanya ungkapan manis pada Hari Guru Nasional.
Baca Juga: Mewakili Ribuan Jeritan Guru Honorer di Jawa Barat, Para Pendidik Turun ke Jalan Menuntut Diangkat Menjadi ASN-PPPK
Nasib Horor Guru Honorer di Bawah Bayang-bayang Dualisme Sistem Pendidikan
Hari Kemerdekaan, Kata Sejahtera, dan Guru Honorer
Sistem Seleksi
Di tengah kondisi seperti ini, kita harus berani mengatakan bahwa sistem seleksi harus menempatkan pengalaman sebagai unsur utama. Penilaian kompetensi tetap penting, tetapi bukan sebagai satu-satunya alat ukur. Tidak adil jika guru yang telah mengabdi lama dipaksa bersaing dalam format yang dirancang bagi generasi digital. Mereka membutuhkan mekanisme afirmasi yang kuat, bukan sekadar tambahan poin yang tidak sepadan dengan pengabdian mereka. Pengabdian puluhan tahun tidak boleh kalah oleh satu jam tes berbasis komputer. Integritas tidak bisa diuji lewat soal teori. Ketulusan mengajar tidak akan tampak dalam skor administratif. Semua nilai itu hanya dapat dilihat dari rekam jejak yang telah lama mereka bangun dan dari cerita-cerita siswa yang telah mereka bimbing.
Bangsa ini membutuhkan kualitas pendidikan yang tinggi, tetapi kualitas tidak selalu berarti menghapus jejak masa lalu. Kualitas juga berarti menghargai mereka yang selama ini menjaga pendidikan tetap berjalan ketika sistem belum sempurna. Guru senior bukan beban. Mereka adalah sumber kebijaksanaan yang dibutuhkan oleh guru-guru muda. Mereka adalah penjaga tradisi ketelatenan, kesabaran, dan nilai moral yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apa pun. Karena itu, fenomena guru yang tertinggal oleh muridnya sendiri seharusnya menjadi peringatan keras. Jika kita terus membiarkan kondisi ini, kita sedang membangun generasi yang akan tumbuh tanpa contoh bagaimana menghargai orang yang lebih tua, lebih berpengalaman, dan berjasa. Apa jadinya bangsa ini jika murid hanya belajar memenangkan kompetisi, tetapi tidak belajar memuliakan orang yang sudah mendidik mereka sejak kecil.
Kita membutuhkan keberanian untuk memperbaiki sistem seleksi, keberanian untuk memberikan ruang yang lebih manusiawi bagi guru senior, dan keberanian untuk mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dinilai dengan angka. Keberanian itu harus dimiliki oleh pembuat kebijakan, pemerintah daerah, dan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan. Pengabdian yang panjang seharusnya menjadi cahaya, bukan membuat seseorang tertinggal dalam gelap. Sudah saatnya bangsa ini berhenti mengabaikan guru honorer yang telah memberikan waktunya bagi masa depan anak-anak. Sudah saatnya kita memutus rantai ironi ketika seorang guru hanya bisa tersenyum pahit melihat muridnya menyandang status ASN, sementara dirinya tetap berada di titik yang sama selama bertahun-tahun.
Pendidikan adalah tentang membangun masa depan, tetapi masa depan itu tidak akan kuat jika kita melupakan fondasi yang membentuknya. Guru honorer adalah fondasi itu. Dan fondasi tidak boleh dibiarkan retak karena kelalaian kebijakan. Jika negara sungguh menghargai pendidikan, maka penghargaan pertama harus diberikan kepada para guru yang telah menjaga api pembelajaran tetap menyala, bahkan ketika lingkungan tidak mendukung mereka. Guru yang tertinggal oleh muridnya sendiri bukan salah sistem semata. Itu adalah tanda bahwa kita harus segera bertindak. Sebelum lebih banyak guru kehilangan harapan, sebelum lebih banyak pengabdian tidak dihargai, dan sebelum lebih banyak cahaya pendidikan padam oleh mekanisme yang lupa pada nilai kemanusiaan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

