• Berita
  • SABTU SORE #33: Membaca Kegagalan Aksi Massa dengan Kacamata Vincent Bevins

SABTU SORE #33: Membaca Kegagalan Aksi Massa dengan Kacamata Vincent Bevins

Buku Vincent Bevins berjudul If We Burn dibedah Zen RS (Pemred Narasi) dan Ressy (LBH Bandung). Aksi-aksi massa di dunia dan Indonesia cenderung berakhir senyap.

Mahasiswa berunjuk rasa menolak pengesahan KUHAP oleh pemerintah di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, 19 November 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Iklima Syaira 8 Desember 2025


BandungBergerakVincent Bevins, melalui bukunya If We Burn, menelusuri gelombang aksi protes di berbagai negara—dari Tunisia, Mesir, Bahrain, hingga tujuh negara lainnya. Meski jutaan orang turun ke jalan, revolusi yang diharapkan tak pernah terwujud. Kekuasaan kembali ke tangan elite lama atau militer. Pola ini terasa dekat dengan situasi Indonesia. Mengapa aksi massa hampir selalu gagal?

Pertanyaan itu menjadi bahasan dalam diskusi di Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu 6 Desember 2025, bersama Zen RS (Pemred Narasi) dan Ressy (LBH Bandung). Buku If We Burn dijadikan kacamata untuk memahami kegagalan gerakan-gerakan massa di berbagai belahan dunia.

Ressy menyoroti gerakan seperti Arab Spring, Occupy Wall Street, Hong Kong, dan Korea Selatan. Gerakan tersebut memang melahirkan pergantian pemimpin atau perubahan kebijakan, tetapi bagi Ressy ada satu hal yang tetap: “Rakyat masih menderita.”

Ia menjelaskan bahwa banyak gerakan massa gagal menghasilkan perubahan jangka panjang. Di Bahrain, misalnya, protes besar tidak berujung pada pergantian kekuasaan. Salah satu faktor penentunya, menurut Ressy, adalah dukungan internasional terhadap kelompok oposisi.

“Beberapa negara yang lain tuh ternyata ada bantuan internasional, uang, dari negara kalau kita baca Amerika. Masukin uang ke oposisi akhirnya pemerintahnya bisa guling,” tuturnya.

Ressy menekankan pentingnya membangun agenda kesadaran bersama, yang dimulai dari mempertanyakan segala sesuatu yang dianggap normal padahal merugikan kehidupan. Contoh, beras mahal tapi dianggap wajar.

“Kesadaran yang harus dibangun itu, apa nih material yang ada di dalam diri kita? gitu itu yang dimaksudkan dengan agenda kita bukan agenda elite,” ujarnya.

Kesadaran ini ini tidak lahir cepat, tapi harus dilatih melalui percakapan yang terus-menerus, dimulai dari kelompok pertemanan. Dari situ akan muncul kesadaran sosial.

Ressy juga menegaskan bahwa perubahan sosial tidak selalu lahir dari membaca, melainkan dari kesadaran akan eksploitasi. Ia memberi contoh seorang buruh yang menghabiskan sebagian besar waktunya bekerja dan sisanya untuk keluarga, sehingga tidak memiliki waktu membaca. Namun kesadaran eksploitasi muncul dari pengalaman hidupnya, bukan dari buku. 

“Apakah itu lahir dari membaca? enggak. Tapi sadar bahwa dia sedang dieksploitasi, sadar bahwa kita semua bahkan kelas menengah yang katanya suka membaca sedang juga dieksploitasi,” tutur Ressy.

Aktor Lain

Zen RS mengatakan, Bevins telah menelusuri gerakan massa di sejumlah negara untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi. Zen menyimpulkan, dari hasil penelusuran Bevins tampak bahwa sejarah politik mana pun tidak pernah ada kekosongan kekuasaan, no vacuum of power, bahwa ruang yang diciptakan oleh gerakan rakyat selalu diisi oleh aktor lain jika tidak dipersiapkan dengan strategi politik yang jelas.

“Jangan berharap ketika kekuasaan jatuh terus kekuasaan itu berhenti hanya dalam 5 menit, sehingga gerakan masyarakat sipil bisa ngobrol dulu ayo kita mau ngapain? enggak. Karena 5 menit itu langsung diambil alih oleh kekuasaan-kekuasaan lama,” tutur Zen

Masih berdasarkan kacamata Bevins, Zen melihat ciri khas gerakan sosial dekade 2010–2020 cenderung anti-leadership, anti-structure, dan prefigurative. Selain itu, jejak panjang trauma historis juga membentuk cara mereka bergerak dan berorganisasi.

“Kalau di masa depan kita menghendaki satu masyarakat yang egaliter maka gerakannya harus egaliter nggak boleh ada hirarki, nggak boleh ada pemimpin,” tutur Zen.

Menurutnya, pilihan untuk anti-leadership dan anti-structure bukan lahir dari ruang kosong, melainkan dari jejak panjang trauma historis. Zen merujuk pada partai-partai politik yang pernah dominan namun akhirnya runtuh seketika. Fenomena historis tersebut mendorong trauma historis di masyarakat.

“PKI itu dua hari digebuk abis. Semuanya lari. Nggak ada satupun statement untuk ayo kita konsol itu nggak ada. Jadi trauma historis itu ada,” tutur Zen.

Namun, Zen menganggap penilaian Bevins terhadap gerakan anti-leadership masih parsial, terutama ketika kesuksesan gerakan diukur semata dari kesuksesan mengambil alih negara.

Baca Juga:SABTU SORE #31: Lembang Kehilangan Rumput dan Sejarahnya, Mengapa Dataran Tinggi Ini Sekarang Dirundung Banjir?
SABTU SORE #30: Pemerintah Didesak Mengatur Cukai Minuman Berpemanis agar Sama Ketatnya Dengan Regulasi Rokok dan Alkohol

Hilangnya Aksi yang Organik 

Bagaimana dengan gerakan sosial di Indonesia tempo hari? Zen menyoroti bahwa seluruh gelombang protes besar sejak 2019, mulai dari penolakan Omnibus Law hingga RUU kontroversial lainnya, sejatinya bergerak mengikuti irama elite politik. Demonstrasi-demonstrasi tersebut bukan dari kesadaran atau agenda organik masyarakat, melainkan reaksi terhadap langkah-langkah politik yang sudah ditentukan elite, seperti prolegnas atau pengajuan RUU tertentu.

Situasi ini membuat masyarakat sipil bersifat reaktif dan masuk ke wilayah yang sudah digambar oleh elite, sehingga efek politik yang dicapai terbatas. Dengan kata lain, meski massa bergerak besar dan energinya tinggi, protes tetap dikontrol narasinya oleh kepentingan politik elite, bukan oleh agenda yang lahir dari kebutuhan dan prioritas rakyat sendiri. 

“Kita hanya bisa reaktif dan ketika kita bereaksi berarti kita masuk satu area yang panjang kali lebar lapangannya udah ditentukan bukan oleh kita,” tutur Zen.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//