Trauma Perempuan dan Anak-anak di Sukahaji Setelah Pecah Konflik Tanah
Bentrok konflik tanah di Sukahaji meninggalkan trauma mendalam bagi warga rentan, terutama perempuan dan anak-anak.
Penulis Tim Redaksi9 Desember 2025
BandungBergerak - Ketegangan di Sukahaji setelah konflik pecah Rabu, 3 Desember 2025 lalu, meninggalkan luka panjang bagi warga, khususnya perempuan dan anak-anak. Hingga Senin, 9 Desember 2025 trauma masih terasa. Warga bersama jaringan solidaritas bertahan secara swadaya untuk mencegah situasi memburuk.
Pipih, warga setempat, menuturkan bahwa bentrokan dipicu pemukulan terhadap perempuan hingga memunculkan kondisi yang oleh warga disebut sebagai “perang kampung kota”.
Ia menuturkan, ada warga yang tangannya hampir putus akibat sabetan benda tajam. Korban harus dilarikan ke RS Hasan Sadikin dan menjalani operasi pemasangan pen. Biayanya mencapai 70 juta rupiah.
“Ya, pasti bakal ngebuka kembali donasi untuk terkait hal ini,” kata Pia, saat konferensi pers.
Rini, warga lainnya, menyebut anak-anaknya mengalami trauma berat. Ia memiliki tiga anak, dari SMP hingga balita. Ketiganya melihat langsung teriakan, suara bising, dan aksi saling pukul saat bentrokan terjadi. Sejak itu, mereka takut kembali ke rumah.
Rumah Rini sendiri rusak parah, sebagian habis disapu beko. Untuk memulihkan kondisi anak-anaknya, ia mengontrak rumah di Caringin, sementara sebagian barang masih tertinggal di Sukahaji.
“Saya ingin kembali normal, enggak ada yang intimidasi dan nakut-nakutin digusur,” ujarnya, berharap dialog diutamakan daripada kekerasan.
Enam KK Mengungsi, Rumah Rata Tanah
Sedikitnya enam kepala keluarga harus mengungsi. Yati, salah satu korban, mengatakan rumahnya dirobohkan tanpa sempat menyelamatkan barang apa pun.
“Kita cuma bawa diri aja. Bawa yang di badan, bawa anak, udah gitu aja,” ujarnya, usai konferensi pers.
Sekitar pukul 10.00, saat ketegangan memuncak, Yati mengungsi ke rumah orang tuanya di dalam kampung. Ia sempat melihat alat berat datang dengan kawalan sekelompok orang berbaju hitam. Suaminya bersama tiga laki-laki lain mencoba menghadang, tapi tak berhasil. Mereka hanya bisa menyaksikan beko merubuhkan rumah.
Ketika situasi mereda, Yati kembali sambil menggendong anak bungsunya yang berusia dua tahun. Rumahnya telah rata dengan tanah. Yang tersisa hanya bongkahan tembok penuh coretan anaknya dan satu keset yang sempat ia selamatkan.
Yang membuatnya paling terpukul: peralatan band milik suaminya—gitar listrik, sound, hingga drum, hilang. Suaminya, seorang seniman jalanan, kini tak bisa lagi bekerja.
“Jadi mau pakai apa usahanya, gitar listrik juga enggak ada,” ucap Yati sambil menahan tangis.
Ia pasrah barang-barang itu hilang, meski itu hasil jerih payah bertahun-tahun.
“Cuma menurut saya juga percuma ya. Kayaknya enggak ada tindakan apa pun juga,” katanya. Yati kini tinggal bersama ibunya.
Neng, mertua Yati, mengalami hal serupa. Rumahnya yang berhadapan dengan rumah Yati ikut dirobohkan ketika beko masuk. Ia memilih menyelamatkan anak dan cucu ke tempat aman. Suaminya sempat meminta agar pembongkaran ditunda karena masih banyak perabotan di dalam rumah, namun tak digubris.
Neng menyesalkan rumahnya tetap diratakan padahal ia belum menerima uang kerohiman yang dijanjikan bagi warga yang bersedia pindah.
“Padahal urang mah teu narima duit-duit acan,” ujarnya. Kini ia harus mengontrak rumah untuk kembali berteduh.
Baca Juga: Negara Membiarkan Kekerasan, Warga Sukahaji Bertahan Melawan Pengosongan Lahan
Kios Kayu Palet di Sukahaji Kebakaran, Hasil Usaha 20 Tahun Milik Saepudin Ludes Dilalap Api

Latar Belakang Bentrok
Bentrokan antara warga Sukahaji yang bertahan dari penggusuran melawan sekelompok ormas pecah pada 3 Desember. Sepuluh hari sebelumnya, Minggu, 23 November 2025 sejumlah orang berpakaian hitam mendatangi rumah-rumah warga di Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung. Mereka menggedor rumah warga untuk memberikan selembaran kertas berisi pemberitahuan untuk meninggalkan rumah mereka.
Dalam surat itu tertulis ultimatum pengosongan lahan berdasarkan putusan pengadilan Nomor: 119/Pdt.G/2025/PN Bdg yang diklaim telah berkekuatan hukum. Pihak pengultimatum mengklaim bahwa lahan di wilayah Sukahaji bukan lahan sengketa atau lahan garapan. Lahan tersebut ditulis adalah milik pribadi atas nama Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar secara sah dan diakui sesuai dengan bukti sertifikat.
Seluruh warga yang menempati lahan tersebut diminta untuk mematuhi putusan hukum yang berlaku. Surat itu juga mempringati kepada warga agar menjaga ketertiban untuk menghindari konsekuensi hukum dan segera mengosongkan lahan secara tertib, sukarela, serta damai dengan batas waktu sampai tanggal 26 November 2025.
Namun, warga merasa janggal dengan isi surat tersebut. Putusan pengadilan Nomor: 119/Pdt.G/2025/PN Bdg adalah tentang perbuatan melawan hukum, bukan tentang perintah pengadilan untuk mengosongkan lahan.
Surat peringatan serupa juga muncul tanggal 26 dan 28 November. Warga tetap memilih bertahan. Puncaknya, Rabu, 3 Desember, warga ingin mengajak dialog dengan kelompok yang mengirimkan surat itu. Namun upaya ini berakhir bentrok.
Apa yang Dilakukan Warga Sukahaji Setelah Bentrok?
Warga memilih untuk menetap di Sukahaji dan mempertahankan rumahnya. Dalam konferensi pers warga melayangkan lima tuntutan yang ditujukan kepada pihak kepolisian dan aparatur setempat, di antaranya: Hentikan pengklaiman secara sepihak yang belum terbukti kepemilikan sah atas tanah yang selama ini dikuasai warga dan masyarakat;
Tangkap dan usut tuntas pelaku kekerasan, termasuk aktor lapangan dari ormas serta pihak yang membiayai dan memerintahkannya; menuntut pertanggungjawaban kepolisian, dan menuntut perlindungan nyata untuk warga, serta hentikan seluruh praktik kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

