• Narasi
  • Membongkar Benang Kusut Fast Fashion: Ketimpangan Global, Krisis Ekologis, dan Jalan Menuju Keberlanjutan

Membongkar Benang Kusut Fast Fashion: Ketimpangan Global, Krisis Ekologis, dan Jalan Menuju Keberlanjutan

Seminar dan Workshop COIL UNPAR menghadirkan diskusi interdisipliner mengenai dinamika keberlanjutan dalam industri fashion.

COIL Team

Chika Amalliah Purnomo, Skolastika Adelia Arianti, Traviata Capella P, Virzinia Diva Lehet, dan Maria Erwina W

Ilustrasi. Industri fashion yang ramah lingkungan kini menjadi tuntutan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

10 Desember 2025


BandungBergerak.id – Industri fast fashion muncul sebagai respons terhadap globalisasi ekonomi, revolusi teknologi tekstil, dan perubahan pola konsumsi sejak akhir abad ke-20. Istilah fast fashion sendiri mulai populer pada 1990-an untuk menggambarkan model bisnis merek seperti Zara dan H&M yang mampu membawa desain dari catwalk ke rak toko hanya dalam hitungan minggu dengan harga terjangkau. Model ini kemudian diadopsi secara luas oleh berbagai merek global lain, termasuk ultra fast fashion yang mengandalkan platform digital dan algoritma untuk meluncurkan ribuan desain baru setiap hari. Konsekuensinya, pakaian tidak lagi dipandang sebagai investasi jangka panjang, melainkan komoditas sekali pakai yang mudah diganti mengikuti tren.

Secara struktural, fast fashion ditopang oleh rantai pasok global yang sangat terfragmentasi. Desain dan keputusan bisnis umumnya terkonsentrasi di negara-negara Global North, sementara proses produksi banyak dilakukan di negara-negara Global South dengan standar upah dan regulasi lingkungan yang lebih longgar. Untuk menekan biaya produksi, perusahaan memaksimalkan skala ekonomi, mempercepat siklus produksi, dan sering kali mendorong praktik outsourcing ke pabrik-pabrik di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pola ini membuat konsumen di negara maju menikmati pakaian murah, sementara beban risiko ekologis dan sosial lebih banyak ditanggung oleh pekerja dan komunitas di negara berkembang.

Dari sisi lingkungan, fast fashion  beroperasi dalam logika “volume tinggi, harga rendah” yang mendorong produksi berlebihan dan pemakaian sumber daya secara intensif. Sektor tekstil dan fesyen diperkirakan menyumbang sekitar 2-8 persen emisi gas rumah kaca global dan mengonsumsi sekitar 215 triliun liter air per tahun, serta 86 juta kolam renang ukuran olimpik. Setiap tahun, sekitar 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan secara global, dengan masa pakai pakaian yang justru semakin pendek, antara tahun 2000-2015, produksi pakaian dunia meningkat dua kali lipat, sementara durasi pemakaiannya menurun sekitar 36 persen. Dominasi serat sintetis murah seperti poliester yang berbahan baku fosil juga berkontribusi pada pencemaran mikroplastik di lautan dan memperparah krisis iklim.

Dampak sosial dari fast fashion sama seriusnya, untuk menjaga harga tetap rendah, banyak pabrik garmen beroperasi dengan upah minimum, jam kerja panjang, dan kondisi kerja yang tidak aman, dengan buruh perempuan sebagai kelompok yang paling tereksploitasi. Negara-negara Global South tidak hanya menjadi lokasi produksi berupah murah, tetapi juga tujuan akhir limbah tekstil yang diekspor dari negara maju. Banyak pakaian bebas dan deadstock berakhir di landfill terbuka atau dibakar di negara-negara Afrika dan Asia yang memiliki infrastruktur pengelolaan limbah terbatas, sehingga menciptakan beban kesehatan publik dan kerusakan ekosistem yang tidak proporsional.

Dalam konteks inilah, industri fast fashion menjadi contoh konkret bagaimana pembangunan ekonomi global yang tidak dikawal prinsip keberlanjutan dan keadilan justru melahirkan ketimpangan struktural baru. Di satu sisi, konsumen menikmati akses terhadap fesyen murah dan “demokratisasi” tren. Di sisi lain, pekerja garmen, komunitas lokal di sekitar kawasan industri, serta negara-negara dengan posisi tawar lemah dalam rantai pasok menanggung beban sosial-ekologis yang jauh lebih besar dibanding manfaat ekonomi yang mereka terima.

Industri fast fashion juga meliputi jaringan aktor pelaku di seluruh rantai nilai tekstil dan pakaian dari produsen bahan baku sampai pada pihak konsumen. Utamanya, aktor-aktor ini termasuk perusahaan komersial, pekerja, negara, masyarakat sipil, dan platform digital, serta penyedia data. Aktor utama dalam rantai nilai industri terdiri dari merek-merek besar seperti H&M, Zara, dan Shein yang bertindak sebagai perancang hingga distributor, produsen tekstil dan garmen di negara-negara berkembang, serta pemasok bahan baku seperti kapas dan serat sintetis yang dipilih karena biaya rendah dan produksi massal. 

Di global south, pabrik-pabrik garmen dan tekstil di negara berkembang seperti Bangladesh, Vietnam, dan Tiongkok membuka jutaan lapangan pekerja untuk pabrik-pabrik produksi tekstil perusahaan fashion dari global north. Sebagian besar pekerja yang ada adalah perempuan yang namun, dalam kondisi upah rendah untuk memproduksi pakaian secara cepat dan massal. Para konsumen dari negara maju memegang peran yang sangat penting dalam model bisnis fast fashion terutama konteks permintaan dari pakaian murah yang mengikuti tren terbaru, sementara platform digital dan e-commerce yang mendorong percepatan siklus tren melalui pemasaran yang gencat.

Selain itu, peran regulator seperti pemerintah, Non-Governmental Organization (NGOs), dan International Organization berperan sebagai advokat dalam mendorong penerapan standar kerja, perlindungan lingkungan, serta transparansi rantai pasok guna memitigasi dampak negatif yang timbul dari industri fast fashion seperti emisi, polutan, eksploitasi tenaga kerja, dan limbah tekstil. Hal ini bertujuan agar aktor yang memegang peran di proses produksi, distribusi, dan konsumsi dapat sadar dan turut berinovasi dalam sirkulasi fast dashion seperti daur ulang, menggunakan bahan ramah lingkungan yang berjangka panjang dalam umur busana, dan siklus produksi sebagai respon dari tuntutan keberlanjutan di industri ini.

Baca Juga: Presentasi Publik Integrated Arts Unpar: Ketika Seni Mengubah Cara Pandang Seseorang
Pasar Malam di Kampus Unpar, Merawat Kesadaran Politik Orang Muda melalui Refleksi Indonesia Gelap

Menelaah Peran Aktor yang Terlibat di Industri Fast Fashion

Seminar COIL UNPAR menghadirkan dua narasumber yaitu Yulia Indrawati Sari, S.T., M.SC., MPP., PH.D. seorang dosen di program studi HI UNPAR dan Annisa Fauziah yang merupakan founder TRI Cycle Indonesia dan Co-Founder Rekynd mengungkapkan pendapatnya mengenai peran dari setiap aktor yang terlibat di industri fast fashion. Annisa menyampaikan bahwa dengan adanya isu tinggi dari efek limbah tekstil industri fast fashion, brand-brand busana lokal pun sudah bermunculan dan berkembang di Indonesia dan di skala internasional seperti Sejauh Mata Memandang, Khaya Heritage, Zero Waste Daniel, dan lainnya yang dalam produksinya menggunakan kain lokal, diwarnai secara alami, menggunakan pola potong tanpa limbah, menggunakan hanya limbah pra-konsumen, dan lainnya. Annisa Fauziah pun juga menyampaikan bahwa agar keberlanjutan dalam industri fashion dapat meningkat, perlu adanya kolaborasi antar aktor dan antar sektor terutama dari pemerintah, komunitas, dan sektor swasta. Katalis dari industri fashion perlu diberdayakan secara ekonomi seperti komunitas lokal dan pengrajin-pengrajin lokal. Yulia Indrawati pun juga menyampaikan pandangannya dalam mendefinisikan ulang dari sustainable fashion dengan identifikasi dari aktor-aktor yang terlibat serta tahapan mereka berperan. Dalam isu global ini, negara global  north merupakan aktor yang mengonsumsi dan global south memproduksi yang terus bersirkulasi, di global south pun terjadi eksploitasi aktor pekerja dengan adanya ketidakadilan serta upah yang minim. Sehingga distribusi kekuatan aktor perlu dilakukan antara perusahaan dan negara pemroduksi agar mencapai keadilan dalam industri fashion.  

Koleksi pakaian yang berganti dengan cepat, harga yang murah, dan tren yang terus diperbarui membuat konsumen tergoda untuk terus membeli. Namun, di balik kemudahan tersebut, terdapat dampak serius yang jarang disadari. Fast fashion bukan hanya mengubah cara kita berbelanja, tetapi juga membawa konsekuensi bagi lingkungan, sosial, dan kesehatan. Dari sisi lingkungan, industri fast fashion merupakan salah satu penyumbang limbah tekstil terbesar di dunia. Berdasarkan data terbaru UNEP, yang menyebutkan bahwa 2-8 persen dari emisi gas rumah kaca global serta 9 persen dari polusi mikroplastik yang setara lautan tiap tahunnya berasal dari sektor fashion dan tekstil. Selain itu, mengonsumsi air secara berlebih yaitu 215 liter. Bahkan, sebanyak kurang lebih 15.000 bahan kimia digunakan dalam proses produksi tekstil, dan beberapa dari zat tersebut telah terakumulasi di lingkungan selama beberapa dekade terakhir. Pola “beli-pakai-buang” yang dipromosikan dalam fast fashion menyebabkan peningkatan volume pakaian yang dibuang ke landfill atau tempat pembuangan akhir (TPA). Hal tersebut semakin memperparah masalah sampah tekstil global serta memicu terjadinya degradasi lingkungan.

Berdasarkan studi dari The Global Environmental Injustice of Fast Fashion menunjukkan bahwa selain dampak terhadap lingkungan, fast fashion berdampak pada aspek sosial, terlebih bagi negara berkembang sebagai lokasi produksi. Hal ini terjadi karena sebagian besar pabrik tekstil berada di wilayah dengan regulasi lingkungan yang lemah, infrastruktur pengolahan limbah minim, serta pengawasan pemerintah yang terbatas. Negara berkembang menghadapi beban ganda yaitu, kerusakan lingkungan dan eksploitasi sosial. Ketika perusahaan fast fashion memindahkan produksi ke wilayah dengan biaya rendah, masyarakat lokal tidak hanya berhadapan dengan pencemaran, tetapi juga ketergantungan ekonomi pada industri yang tidak memberikan kesejahteraan jangka panjang. Kombinasi kerusakan lingkungan, ketidakamanan kerja, dan kesenjangan upah menciptakan lingkaran ketidakadilan yang terus berulang. Situasi ini menegaskan bahwa fast fashion bukan semata isu konsumsi global, tetapi merupakan masalah struktural yang memerlukan perubahan sistem dalam rantai pasok, regulasi pemerintah, dan pola konsumsi masyarakat (Ramadianto dkk., 2025). Selain menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja karena upah yang rendah, hal ini juga berpotensi terhadap bahaya bagi kesehatan masyarakat di sekitar kawasan produksi. Limbah cair yang dihasilkan sering kali dibuang ke sungai tanpa proses pengolahan yang memadai. Hal ini menyebabkan terjadinya pencemaran, kerusakan lingkungan, dan paparan zat beracun yang dapat memicu gangguan kesehatan. Maka dari itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan konsumen untuk menciptakan sistem produksi fashion yang lebih bijak dan berkelanjutan. Penguatan regulasi, transparansi rantai pasok, serta peningkatan kesadaran konsumen menjadi langkah penting untuk memutus siklus fast fashion dan mengurangi dampaknya terhadap lingkungan maupun masyarakat. 

Menuju Sistem Fashion yang Lebih Berkelanjutan

Sebagai masyarakat yang semakin menyadari urgensi isu lingkungan, peralihan menuju proses produksi yang lebih ramah lingkungan menjadi agenda penting, khususnya di industri fashion yang selama ini dikenal memiliki jejak ekologis yang signifikan. Dalam pemaparannya, Mbak Anissa menyoroti sejumlah brand sustainable fashion lokal yang menunjukkan bahwa transformasi ke arah yang lebih bertanggung jawab bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga sudah mulai menjadi praktik nyata. Dua di antaranya adalah Sejauh Mata Memandang dan Sukkha Cita, brand yang secara konsisten menerapkan prinsip keberlanjutan melalui penggunaan material alami, pewarna yang minim dampak lingkungan, serta pemberdayaan komunitas perajin di berbagai daerah. Kehadiran kedua brand tersebut menjadi contoh bahwa nilai ekonomi, etika, dan kepedulian lingkungan dapat terintegrasi dalam satu model bisnis. Namun demikian, perjalanan menuju sistem fashion yang lebih berkelanjutan tentu tidak terlepas dari berbagai kendala yang masih harus diatasi oleh para pelakunya.

Tantangan pertama adalah tingginya biaya produksi yang muncul ketika brand memilih menjalankan metode berkelanjutan. Material dengan sertifikasi ramah lingkungan, penggunaan pewarna alami, serta proses pengerjaan secara manual membutuhkan waktu lebih lama, riset lebih mendalam, dan keterlibatan tenaga ahli, sehingga harga produk yang dihasilkan kerap menjadi lebih tinggi. Selain itu, ketersediaan bahan baku berkelanjutan juga belum sepenuhnya stabil.

Banyak material alami tidak tersedia sepanjang tahun atau sulit diperoleh dalam jumlah besar, sehingga brand harus berinovasi, menjalin kemitraan baru, atau mencari alternatif yang tetap etis.

Di sisi lain, tingkat pemahaman konsumen terhadap pentingnya fashion berkelanjutan pun masih beragam. Meskipun minat terhadap produk etis meningkat, sebagian besar masyarakat masih mempertimbangkan harga murah sebagai faktor utama sebelum membeli. Hal ini membuat edukasi publik menjadi peran krusial agar konsumen memahami dampak lingkungan dari setiap pilihan mereka. Tantangan berikutnya terletak pada kompleksitas rantai pasok dalam produksi berkelanjutan. Keterlibatan banyak pihak, proses yang sebagian besar dikerjakan manual, dan kebutuhan transparansi yang tinggi menjadikan sistem rantai pasok lebih rumit daripada produksi masal konvensional. Ditambah lagi, masalah skalabilitas sering muncul karena model slow fashion tidak mudah diperluas kapasitasnya tanpa mengorbankan kualitas dan prinsip keberlanjutan itu sendiri.

Dengan berbagai hambatan tersebut, perjalanan menuju praktik fashion yang benar-benar berkelanjutan memerlukan kolaborasi erat antara pelaku industri, konsumen, dan pemangku kepentingan lain agar transformasi menuju industri yang lebih etis dan bertanggung jawab dapat terus berkembang. COIL UNPAR menjadi salah satu wadah yang dapat meningkatkan kesadaran mahasiswa serta masyarakat umum untuk lebih bijak dalam membeli atau menggunakan pakaian. 

Seminar dan Workshop COIL UNPAR bertajuk “Unraveling the Threads: Sustainability, Development, and Justice in the Global Fashion Economy” menghadirkan diskusi interdisipliner mengenai dinamika keberlanjutan dalam industri fashion. Berangkat dari studi kasus Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pusat Riset Sistem Industri dan Manufaktur Berkelanjutan, kegiatan ini menyoroti bagaimana proses produksi, rantai nilai, serta posisi pekerja industri fashion membentuk kompleksitas transisi menuju praktik yang lebih berkelanjutan.

Salah satu isu utama yang muncul selama diskusi adalah ketimpangan dalam distribusi nilai di sepanjang rantai pasok. Viandra Virgianto menekankan bahwa struktur ekonomi fashion saat ini masih cenderung memusatkan keuntungan pada sektor desain dan ritel, sementara pelaku di bagian hulu dan tengah, terutama produsen bahan baku dan pekerja garmen, tidak memperoleh kompensasi yang sepadan. Pernyataannya bahwa “value capture is concentrated solely in design and retail while the manufacturing middle is squeezed for every cent” merefleksikan problem struktural yang telah lama menjadi perhatian studi pembangunan dan ekonomi politik global. Menurutnya, tanpa meningkatkan daya tawar pekerja dan produsen di negara berkembang, janji pembangunan melalui integrasi pasar fashion global berpotensi tidak pernah terealisasi.

Selain persoalan distribusi nilai, dimensi konsumsi juga menjadi perhatian penting dalam diskusi. Fersilia Eddy menyoroti peran konsumen muda dalam mendorong perubahan industri. Ia menggarisbawahi bahwa pemilihan produk, seperti mendukung merek berkelanjutan, membeli barang bekas, atau berpartisipasi dalam clothes swapping, berpotensi menciptakan tekanan pasar terhadap perusahaan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Perspektif ini menegaskan bahwa transformasi industri fashion tidak hanya ditentukan oleh kebijakan atau inovasi teknologi, tetapi juga oleh perubahan perilaku konsumen. Obakeng Theleso menambahkan bahwa pola konsumsi saat ini tidak dapat dilepaskan dari strategi pemasaran yang mendorong overconsumption. Ia mencatat bahwa praktik pemasaran manipulatif menyebabkan konsumen membeli lebih banyak dari kebutuhan, sehingga menciptakan tekanan finansial sekaligus memperburuk akumulasi limbah tekstil. Fenomena pakaian yang tidak terpakai dan hanya tersimpan di lemari menggambarkan kegagalan sistemik dalam mengelola produksi dan konsumsi secara berkelanjutan.

Pada akhirnya, diskusi dalam COIL UNPAR menegaskan bahwa transisi menuju sustainable fashion tidak dapat dicapai melalui satu intervensi tunggal. Keberlanjutan menuntut perubahan menyeluruh pada cara industri memproduksi, mendistribusikan, dan mengonstruksi nilai. Hal ini menempatkan reformasi struktural, perlindungan pekerja, serta pergeseran perilaku konsumsi sebagai bagian integral dari agenda perubahan. Tanpa integrasi ketiganya, praktik keberlanjutan berisiko menjadi simbolis alih-alih transformatif.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//