• Berita
  • Presentasi Publik Integrated Arts Unpar: Ketika Seni Mengubah Cara Pandang Seseorang

Presentasi Publik Integrated Arts Unpar: Ketika Seni Mengubah Cara Pandang Seseorang

Diskusi yang digagas Integrated Arts Unpar membicarakan pengkaryaan dan jaringan (network). Mana dulu yang harus dikedepankan oleh seorang seniman?

Pameran karya di Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Minggu, 29 Juni 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah3 Juli 2025


BandungBergerak.idSeseorang menonton film detektif pada malam hari. Keesokan paginya, ia duduk dengan posisi seolah-olah menjadi seorang detektif. Gerak tubuhnya berubah, pikirannya seolah menyatu dengan karakter yang ia tonton. Itulah pengalaman nyata saat seseorang mengalami karya seni—bukan hanya menontonnya.

"Kita mengalami karya seni, yang akhirnya bikin kita ikut jadi orang baru. Kemungkinan baru. Punya sense dan juga punya rasa lain yang baru," ujar Yacobus Ari Respati, dosen Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), saat membuka diskusi bertajuk Mind Matters: Artwork vs Network dalam rangkaian Presentasi Publik Studi Humanitas, di Bandung, Minggu, 29 Juni 2025.

Bambang Sugiharto, Ketua Prodi Studi Humanitas (Integrated Arts), dalam pembuka booklet Presentasi Publik 2025 mengatakan, “Seni selalu lahir dari pengolahan pengalaman, suatu proses dialogis antara kenyataan eksternal dan refleksi batin internal.”

Diskusi ini menjadi bagian penutup dari acara tahunan Presentasi Publik yang diselenggarakan oleh Program Studi Studi Humanitas (Integrated Arts) Unpar, yang berlangsung 24–29 Juni 2025. 

Diskusi seni di Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Minggu, 29 Juni 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)
Diskusi seni di Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Minggu, 29 Juni 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Antara Pengkaryaan dan Jaringan

Diskusi ini menghadirkan seniman asal Bandung Syagini Ratna Wulan dan mahasiswa semester dua Integrated Arts Unpar Gregorius Ramones Evanraffae, sebagai penanggap. Ada dua poros penting dalam dunia seni yang jadi isu di diskusi ini, yaitu  pengkaryaan dan jaringan (network). Seni tidak lepas dari pengalaman personal, tetapi koneksi sosial juga memainkan peran besar dalam memperluas jangkauan karya.

Syagini atau akrab disapa Syagi, menyampaikan bahwa pengetahuan tentang jaringan sebaiknya datang belakangan. Bagi Syagi, mahasiswa seni seharusnya lebih dulu fokus pada penciptaan karya.

“Kalau menurutku, ya, di awal-awal kuliah itu lebih baik enggak tahu itu,” ujarnya.

Syagi tidak menolak pentingnya jaringan. Namun, menurutnya, jika sejak awal mahasiswa dibentuk dengan orientasi pasar, maka akan sulit mempertahankan keotentikan karya. Ia bercerita tentang masa kuliahnya di ITB, ketika karya-karyanya lahir dari material sederhana seperti pulpen, namun tetap memiliki dampak besar.

“Saya enggak pernah ngerasa bikin karya selebih otentik sewaktu saya dulu kuliah. Ketika saya enggak tahu itu harus diperjualbelikan. Saya tuh baru menjual karya tuh mungkin tahun 2008 kali ya,” kenangnya.

Ramones sepakat dengan pandangan Syagi. Ia menilai masa perkuliahan adalah ruang untuk mengeksplorasi nilai-nilai idealis dalam berkarya. Baginya, kampus memberi ruang untuk lebih bebas berbicara lewat seni.

“Saya menciptakan karya, selain karena nilai UAS dan lain-lain, tapi juga menjadi kesempatan saya untuk ngomong gitu. Dan saya merasa bahwa saya masih punya kesempatan itu,” ujar mahasiswa yang sore itu mengenakan kemeja kotak-kotak merah.

Syagi menanggapi bahwa masa kuliah merupakan fase penting dalam proses pencarian jati diri. Ia menyebut proses ini sebagai journey of discovery. Karya Ramones yang berjudul Future Pre-Decided membuat Syagi merenungkan sistem pendidikan di Indonesia yang kerap menyuapi informasi tanpa mendorong kesadaran personal.

Namun Syagi juga menekankan bahwa karier seni tetap memerlukan jaringan. Hal yang perlu dijaga adalah posisi seniman saat berhadapan dengan permintaan pasar.

“Apa yang harus kita jaga biar enggak luntur gitu bersama network itu gitu,” ujarnya.

Baca Juga: Cerita para Seniman di Jalan Braga
Para Seniman Mengarsipkan Sisa-sisa Masa Depan di Kota Bandung, Merekam Ingatan Melalui Fotografi dan Lagu Sabubukna

Pameran karya di Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Minggu, 29 Juni 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)
Pameran karya di Integrated Arts Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Minggu, 29 Juni 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Menonjolkan Diri Lewat Karya

Presentasi Publik Studi Humanitas Unpar tidak sekadar menjadi ajang pameran. Menurut Henrycus Napitsumargo, ini adalah bentuk pertanggungjawaban mahasiswa kepada publik. Tahun ini, acara mengusung tema autopoiesis, yakni proses kreatif yang tumbuh mandiri dari dalam diri dan karya itu sendiri.

Ketua pelaksana, Nayla Amanda, menjelaskan bahwa autopoiesis adalah cara mahasiswa mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya tak terlihat kepada khalayak.

Acara ini tidak hanya menampilkan karya, tetapi juga menggelar berbagai kegiatan seperti lokakarya, pertunjukan, diskusi, pemutaran film bersama Sinesofia, serta tur pameran. Kegiatan berlangsung di berbagai lokasi, salah satunya Desa Tenjolaya, Cicalengka. Salah satu lokakarya unik adalah praktik mencuci film.

Baca Juga: Cerita para Seniman di Jalan Braga
Para Seniman Mengarsipkan Sisa-sisa Masa Depan di Kota Bandung, Merekam Ingatan Melalui Fotografi dan Lagu Sabubukna

Cameo dan Sampah Plastik 

Nayla Amanda tidak hanya menjadi panitia, tetapi juga menampilkan karyanya di studio poetika inter-medium. Karyanya berjudul Cameo, berupa instalasi fotografi yang dikombinasikan dengan sampah plastik, menampilkan dirinya sebagai model dalam setiap jepretan.

Ide ini lahir dari kegemarannya menonton film, khususnya pada peran cameo—tokoh figuran yang mendukung suasana, tetapi tidak menjadi pusat perhatian. Bagi Nayla, itu mirip dengan posisi sampah plastik dalam kehidupan sehari-hari: hadir, tapi sering diabaikan.

“Ketika ada spot di mana aku diam dia potret. Dan itu spot di mana ada sampah memang. Ada ada orang-orang yang berkegiatan di situ. Kemudian ada sampah. Jadi sampahnya ini sebenarnya kameonya, yang orang-orang kayak ya udah gitu loh,” jelasnya.

Ia menyelesaikan karya ini dalam dua minggu, dibantu teman dan menggunakan kostum dari plastik daur ulang.

Di antara karya yang ditampilkan di Gedung 1 Unpar, Jalan Merdeka No. 30, Nayla menyebut KUHP karya Rasendriya Shidqi Durachman sebagai salah satu karya paling berkesan. Berbentuk buku mewarnai, karya ini menggambarkan kebebasan yang dibatasi: bebas memilih warna, tapi tidak bebas keluar dari garis. Bagi Nayla, karya ini menggugah kesadaran akan sistem yang tak kasatmata.

Melalui Presentasi Publik Studi Humanitas, Nayla berharap masyarakat lebih mengenal Program Studi Studi Humanitas. Ia ingin setiap pengunjung mendapat pengalaman baru yang menyenangkan. 

“Karena kita berusaha buat kasih experience baru, pandangan baru dan sesuatu yang interaktif juga buat teman-teman di luar sana. Apalagi khususnya anak-anak Unpar itu sendiri. Karena banyak banget yang belum tahu kalau ada IA gitu,” tutupnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//