Cerita para Seniman di Jalan Braga
Jalan Braga menyimpan banyak cerita. Di antaranya ada kisah para seniman yang mencari nafkah di sana.
Chazya Aliqua Rivaine, Erika Novianti, Grace Debby, Tajmila Khoiriah, Adinda Rahmania
Mahasiswa Perguruan Tinggi di Bandung
26 Januari 2025
BandungBergerak.id – Ingar-bingar kehidupan Kota Bandung seakan-akan tak pernah mati di Jalan Braga. Deretan bangunan klasik bergaya Eropa menjadi saksi tawa dan canda anak-anak muda yang selalu mengisi segala sudut hit di kawasan tersebut. Begitu pun siang itu, sorot matahari terik tak sekalipun mengurangi animo pengunjung dalam memadati kafe-kafe mungil nan kekinian itu.
Namun tak jauh dari situ, ada sudut terpencil yang kerap kali tidak dilirik pengunjung. Sudut tergelap yang menyimpan sejuta kisah, kenangan, dan makna tersendiri bagi para seniman yang selalu menantikan secercah cahaya dan harapan. Sudut tersembunyi dengan hamparan dan tumpukan aneka karya-karya yang menantikan pemiliknya yang tak kunjung-kunjung datang menjemput pulang. Sudut terkecil yang kini menjadi rumah mereka untuk bebas berekspresi.
Baca Juga: Potret Lain Braga Melalui Gerilya Bunyi
Di Balik Berwisata Braga-Bragaan
Maya dan Nyata, Indung Braga Berjaga
Di penjuru itu, lalu-lalang pengunjung melewati wajah para seniman yang entah sampai kapan dipandang kecil dan sebelah mata. Entah sampai kapan mereka harus mengadu nasib hidupnya di pinggir Jalan Braga. Entah sampai kapan mereka harus berharap akan hari esok yang lebih cerah. Entah sampai kapan mereka digerus kenyataan pahit dunia seni. Inilah kisah wajah seni yang tersembunyi dari ketiga seniman jalanan di sudut Jalan Braga.
Beliau adalah Pak Aspi, 45 tahun, seorang pelukis yang menjual lukisan-lukisannya di sisi Jalan Braga. Jalur karier ini telah beliau tempuh semenjak berumur 18 tahun. Meskipun begitu, Pak Aspi masih tidak ingin memanggil dirinya sebagai seniman. Baginya, seniman adalah sebuah gelar yang masih jauh dari jangkauannya, seseorang yang mempunyai dampak kepada masyarakat dan dikenal oleh banyak orang.
Setiap lukisan mempunyai ledakan perasaan masing-masing sehingga tidak ada yang terlihat sama. Pak Aspi tidak menampilkan lukisannya dengan bingkai yang cantik karena beliau ingin orang-orang bisa menilai lukisannya, semata-mata dari lukisannya saja.
“Dulu saya dijanjikan uang 20 juta untuk 1 lukisan, tapi bos saya bilang kalau lukisan saya harganya tidak semahal itu. Saya marah, jadi saya berhenti kerja dengan dia.” Pak Aspi memang ingin orang-orang bisa menilai harga lukisannya. Akan tetapi, untuk seniman kecil seperti Pak Aspi, apresiasi orang-orang adalah hal yang sangat penting.
Pak Aspi kian tersenyum jika ditanya mengenai cerita hidupnya. Beliau terlihat pasrah. “Saya mah kadang cari uang buat makan aja. Sehari sekalilah,” ucap beliau sambil tertawa. Di sisi lain, beliau bercerita tentang “mafia lukisan”, orang-orang yang memanipulasi pasar sedemikian rupa sehingga mempersulit hidup untuk seniman kecil. “Dulu, saya pernah kerja dengan teman yang uangnya banyak. Ternyata dia mafia. Saya takut, jadi saya kabur merantau ke Bandung.” Di balik senyumannya, Pak Aspi terlihat sedih jika berbicara tentang masa lalunya. Bagaikan banyak penyesalan.
Saat ini, Pak Aspi hanya berharap untuk bisa melanjutkan hidup dengan melukis, tidak kurang dan tidak lebih. “Semoga ke depannya bisa kembali ke keadaan sebelum Covid-19,” utasnya.
Di depan sebuah toko mebel, seorang pria paruh baya duduk di atas kursi sederhana –ditemani oleh wayang-wayang golek yang ditata sedemikian rupa, seakan siap menyapa orang-orang yang berlalu lalang. Wayang-wayang tersebut berjajar menghadirkan warna di samping gemuruh mesin kendaraan di Jalan Braga. Pria tersebut adalah Bapak Ramdan Kosasih, seorang pengrajin wayang golek yang sudah berumur 64 tahun.
Garis-garis usia di wajah beliau tidak menutupi sorot mata ramahnya saat beliau menceritakan kisah hidupnya. Bapak Ramdan bercerita bahwa beliau berasal dari sebuah keluarga pengrajin wayang golek, yang mana mereka telah mengukir dan menjual sendiri wayang-wayang tersebut di Jalan Braga dari tahun 1960-an.
Beliau telah mempelajari seni tersebut sejak menempati bangku SD karena terdorong oleh garis pengalaman keluarganya dan kesukaannya sendiri terhadap pembuatan wayang golek sebagai salah satu budaya Nusantara. Dahulu, di tahun 1970-an, Bapak Ramdan masih bekerja sama dengan agen turisme untuk mempromosikan hasil karya seni budaya ini. Bahkan, banyak turis mancanegara berdatangan untuk membeli wayang golek karya Bapak Ramdan dan keluarganya.
Seiring dengan berjalannya tahun, minat masyarakat akan wayang golek tersebut memudar, ditambah dengan melandanya pandemi COVID-19 pada tahun 2020 yang kian menghambat mata pencaharian keluarganya. Sekarang, jarang ada orang yang bahkan mendelik wajah warna-warni wayang golek ini. Bapak Ramdan juga tidak lagi bekerja sama dengan agen turisme, dan toko mebel yang dijadikan area penjualannya ini pun merupakan tempat yang sekedar beliau pinjam.
Meski begitu, Bapak Ramdan tetap menjalankan bisnisnya dengan lapang dada. Beliau mengekspresikan rasa bahagia telah turut serta membantu memperkenalkan seni wayang golek ke berbagai orang. Sebagai generasi yang sudah berumur, beliau hanya berharap bahwa anak dan cucunya dapat turut serta melestarikan budaya Nusantara – begitu juga dengan generasi muda bangsa Indonesia sekarang. “Walaupun zaman sudah digital, saya masih optimis bahwa budaya kita bisa dilestarikan dan disebarkan,” tutur Bapak Ramdan sambil menopang wayang golek “Cepot” hasil karyanya.
Tak jauh dari situ, seorang pria bertopi dan berbaju hitam sedang berjongkok di balik untaian manik-manik. Orang tersebut adalah Ilham, salah satu dari banyaknya pengrajin seni di jalanan Braga. Ilham menciptakan hasil karyanya berupa gelang-gelang yang indah dan unik. Namun, meskipun keahliannya dalam membuat gelang sangat mengagumkan, Ilham tidak memiliki tempat khusus bagi dirinya untuk berjualan, sehingga yang ia lakukan adalah menghabiskan waktunya berjam-jam di pinggir Jalan Braga untuk menjual gelang-gelang indahnya itu. Panas dan hujan bukan alasan baginya untuk sehari pun melewatkan kesempatan berjualan di sana. Setiap hari, Ilham akan berjalan menuju pusat kota atau tempat-tempat yang ramai, seperti Braga, untuk menjajakan hasil karyanya kepada para pelanggan yang berminat. Rutinitas tersebut sudah ia jalani selama satu tahun lamanya tanpa mengenal rasa putus asa.
Keahliannya dalam membuat gelang didapatkan melalui pembelajaran otodidak dari media sosial. Meskipun dirasa sangat sulit, ia terus menekuni keinginannya tersebut. Ia menyadari bahwa dirinya merupakan sosok yang menyukai tantangan. Sebab, meskipun terlihat sangat sederhana, pekerjaan sebagai pengrajin gelang memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi agar dapat menghasilkan gelang yang berkualitas. Tidak jarang pula, ada pelanggan yang ingin membeli gelang custom sesuai dengan keinginannya. Seiring dengan berjalannya waktu, tangan Ilham menjadi sangat terbiasa untuk mengukir gelang-gelang indahnya di hadapan para pelanggan.
Dari jauh, terlihat kerajinan tangan sang pengrajin yang memberikan pancaran keunikan dan keindahan yang sulit untuk diabaikan. Namun, seperti kebanyakan seniman jalanan lainnya, Ilham juga tidak jarang mengalami kesulitan dalam menjual hasil karyanya. Mungkin, jika ia memiliki tempat berjualan khusus, seperti toko pribadi, akan lebih mudah baginya untuk dapat menarik seorang pelanggan. Tetapi sampai saat ini, Ilham tetap bertahan dengan usahanya dan mengandalkan dukungan dari pelanggan setia dan orang-orang yang melintas di jalanan.
Kisah-kisah yang diceritakan ketiga seniman tersebut mampu membuat hati terenyuh. Tidak disangka, padatnya Jalan Braga juga ditempati seniman tersembunyi yang memiliki tekad kuat. Namun, sangat disayangkan bahwa masa kini membuat orang jarang melihat karya seni yang terhampar di sana. Kebanyakan, mereka hanya menghabiskan waktu senggang dengan berkumpul bersama tanpa memperhatikan seniman-seniman yang hadir di jalan itu. Inilah Jalan Braga, daerah mungil di Kota Bandung yang menyimpan banyak cerita.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang Jalan Braga