• Narasi
  • Di Balik Berwisata Braga-Bragaan

Di Balik Berwisata Braga-Bragaan

Wisata sering menjadi paket perjalanan dengan kemasan yang mengobjektifikasi warga di sebuah destinasi. Braga-Bragaan menyodorkan pendekatan partisipatoris.

Fitra Sujawoto

ASN, pengajar, dan wirausahawan, bisa dihubungi via email [email protected]

Keriaan suasana Braga-Bragaan yang menjadi bagian dari rangkaian Terap Festival di Bandung, awal Agustus 2024. (Foto: Fitra Sujawoto)

2 Oktober 2024


BandungBergerak - “Braga adalah segalanya buat aku, jadi pelihara Braga, ya!”

Keterangan itu meluncur dari mulut Tuti Djuati, 75 tahun, salah seorang sesepuh Kampung Braga. Siang itu, Sabtu, 10 Agustus 2024, ia didapuk menjadi pemandu wisata Braga-Bragaan oleh Teater Serum. Di bawah cuaca nan terik untuk ukuran Kota Bandung, Bu Tuti tampil necis mengenakan kebaya merah bercorak kembang-kembang dengan padanan kain samping berwarna coklat.

“Kebaya ini warisan ibuku, lho. Usianya kurang lebih 40-an tahun,” kata Bu Tuti.

Braga-Bragaan dengan tema “Buah Tangan Masa Lalu, Merebut Masa Depan” merupakan salah satu mata acara dalam rangkaian Festival Teater Ruang Publik (Terap) yang diinisiasi Jalan Teater. Festival yang terselenggara atas dukungan Dana Indonesiana ini berlangsung selama sepekan pada 3-10 Agustus 2024 di kawasan Braga. Sebagai sebuah pertunjukan ruang publik, Braga-Bragaan menggabungkan dramaturgi teater konvensional dengan walking tour.

“Kami membagi peserta menjadi dua kelompok utama, yakni peserta tur dan penonton,” kata Aziz, 24 tahun, pegiat Teater Serum.

Peserta tur, kelompok pertama, adalah bagian niscaya kegiatan walking tour. Sepanjang walking tour alias sepanjang pertunjukan, kelompok yang punya peran layaknya aktor ini disibukkan untuk menjalankan berbagai misi hingga kegiatan selesai. Sementara kelompok kedua dikondisikan untuk mengamati dan memberi semangat kelompok pertama, lazimnya penonton dalam pertunjukan teater.

Selain membagi peserta tur dan penonton, Teater Serum juga menunjuk sejumlah warga Braga untuk menjadi interpreter atau narasumber.

“Kurang lebih dua bulan, kami melakukan pendekatan ke warga Kampung Braga untuk benar-benar mengetahui keresahan dan harapan mereka, sehingga bisa menyusun alur tur yang tepat,” ungkap Aziz.

Mendengar keterangan di atas, ungkapan Mark Twain bahwa “Travel is fatal to prejudice, bigotry, and narrow-mindedness” saya kira terbantahkan. Bagi Mark Twain, penulis Amerika, aktivitas pariwisata, apa pun bentuknya, sering kali dipenuhi dengan prasangka, fanatisme dan kecupatan alias pikiran sempit dari wisatawan mengenai destinasi atau atraksi wisata yang dikunjunginya.

Pada saat bersamaan, hal semacam itu divalidasi oleh penyedia jasa wisata yang menawarkan paket perjalanan dengan kemasan yang hanya mengobjektifikasi warga di sebuah destinasi. Untuk mengentaskan persoalan demikian, diperlukan rancangan kegiatan berwisata yang mampu memberikan ruang bagi wisatawan agar mau berpikir terbuka dan bijak, seperti yang diupayakan oleh Teater Serum melalui riset partisipatoris dan walking tour kolaboratif bersama warga kampung Braga.

Seorang peserta walking tour Braga-Bragaan menjajal menyemir sepatu sebagaimana dulu dilakukan salah satu warga yang menjadi interpreter, awal Agustus 2024. (Foto: Fitra Sujawoto)
Seorang peserta walking tour Braga-Bragaan menjajal menyemir sepatu sebagaimana dulu dilakukan salah satu warga yang menjadi interpreter, awal Agustus 2024. (Foto: Fitra Sujawoto)

Buah Perjalanan Lintas Waktu

Sepanjang walking tour Braga-Bragaan, ada empat pos yang mesti dilewati peserta. Di setiap pos, ada warga lokal yang bercerita seputar kenangan dan harapan mereka seputar kawasan Braga. Pos kenangan tahun 1950-an diserahkan pada Bu Tuti. Abah Ate ditunjuk untuk berbagi kisah soal Braga tahun 1960-an. Bu Tini bercerita tentang Braga tahun 1990-an. Terakhir, ada Kang Maman dan Kang Marwan yang bertutur seputar Braga periode 2000-an.

“Awalnya, kami tidak berencana menyusun tur dalam periodisasi waktu, tapi setelah kami pelajari kembali kisah-kisah warga Braga yang bersedia menjadi interpreter, akhirnya kami putuskan untuk menyusun pos-pos waktu tersebut agar bisa memberikan pengalaman yang lebih menarik bagi para peserta tur,” tukas Azis bersemangat, meski matahari semakin terik di atas kepala.

Di setiap pos, peserta diminta untuk mendengarkan cerita berbasis kenangan dan harapan milik interpreter atau narasumber. Bahkan di pos Abah Ate, seorang peserta diminta untuk mempraktikkan cara menyemir sepatu karena salah satu profesi yang pernah dilakoni Abah Ate di masa mudanya adalah menjadi tukang semir sepatu.

Selain menyemir sepatu, para peserta, yang menampakkan raut wajah antusias di sepanjang kegiatan, juga diminta untuk membeli semangkuk es krim di Maison Bogerijen untuk dicicip bersama-sama, tentu saja dengan sendok yang berbeda-beda. Lagi-lagi tujuannya sama, yaitu berbagi kenangan dengan Abah Ate yang dulunya sering dibuat penasaran dengan rasa es krim di restoran itu.

Gua baru tahu, lho, dulu ada sirine saat istirahat siang di Braga,celetuk Rifki, 30 tahun, peserta tur Braga-Bragaan.

Respons itu muncul setelah Rifki mendengar kenangan Bu Tuti tentang situasi Braga tempo dulu. Menurut Bu Tuti, dari gedung Permorin yang kini menjadi Braga City Walk, rutin terdengar sirine yang menandakan tiba dan selesainya jam istirahat para pekerja di siang hari. Selain bercerita, Bu Tuti juga meminta para peserta untuk mencoba burayot, salah satu jajanan yang ia gemari saat masih kanak-kanak.

“Maunya sih kue cucur, tapi sekarang sudah susah carinya, jadi burayot aja, ya!” ungkap Bu Tuti sambil menyodorkan jajanan tradisional itu kepada para peserta tur.

Harapan para peserta walking tour Braga-Bragaan ditaruh dalam Peta Harapan, awal Agustus 2024. (Foto: Fitra Sujawoto)
Harapan para peserta walking tour Braga-Bragaan ditaruh dalam Peta Harapan, awal Agustus 2024. (Foto: Fitra Sujawoto)

Baca Juga: Ngabaraga, Melihat Kontrasnya Kehidupan di Braga
Potret Lain Braga Melalui Gerilya Bunyi

Pendekatan Partisipatoris

Bagi industri perjalanan wisata, walking tour atau berwisata dengan jalan kaki bukanlah kegiatan baru. Banyak kota besar di dalam maupun luar negeri menawarkan paket-paket walking tour, termasuk Kota Bandung. Biasanya, praktik walking tour berusaha memberikan pengalaman seolah-olah wisatawan sedang hadir di sebuah situs living history.

Untuk mendukung pengalaman tersebut, sang pemandu wisata kadang menggunakan kostum yang sesuai dengan setting waktu dari lokasi yang dijelajahinya. Ruang publik ditempatkan sebagai museum hidup bagi wisatawan agar mereka betul-betul dapat  membayangkan suasana pada suatu masa tertentu.

Lantas, apa kelebihan walking tour Braga-Bragaan bertema “Buah Tangan Masa Lalu, Merebut Masa Depan”? Jawaban saya, karena perancangan walking tour ala Teater Serum ini betul-betul diawali dengan proses riset partisipatoris bersama warga Kampung Braga, mereka berhasil menghadirkan kemasan dan pengalaman berwisata yang berbeda dari walking tour pada umumnya, terutama di kawasan Braga.

Benang merahnya tentu saja kenangan dan harapan dari warga lokal yang berusaha disambungkan ke benak peserta tur, bukan paparan textbook mengenai narasi kolonial perihal bangunan cagar budaya di kawasan paling ikonik di Kota Bandung itu.

Sebagai sebuah kegiatan, pendekatan partisipatoris dari kegiatan Terap Festival dirasakan langsung manfaatnya oleh warga Kampung Braga sendiri. Hal itu disampaikan oleh Teh Oda, inisiator Braga Heritage, kolaborator Jalan Teater dalam menggarap Terap Festival.

“Warga Braga sering mengeluh karena sering dijadikan objek. Ruang hidupnya sering dipinjam, tapi kami juga sering mempertanyakan benefitnya apa? Alasan saya dan Braga Heritage menerima tawaran Terap Festival karena ingin belajar dari para seniman dan menunjukkan bahwa gang-gang di Braga teh bisa menjadi ruang bermain bagi warga untuk pentas sebagai tuan rumah,” papar Oda.

Di akhir kegiatan, peserta tur diminta merefleksikan perjalanannya dengan menggambar harapan versi mereka untuk kawasan Braga di atas secarik kertas. Gambar-gambar harapan itu lantas dipasang pada peta harapan. Banyak harapan terpampang, mulai dari pohon-pohon hijau, toko buku periplus, tandon air bersih, dapur gratis, toko K-Pop, lapang badminton, panggung teater, hingga ruangan jelajah waktu.

Peta harapan itu seolah menjadi jawaban pamungkas dari tema Braga-Bragaan, bahwa setelah mendengar berbagai buah tangan kenangan dari masa lalu, semua peserta diajak untuk merebut masa depan.

“Warga komentar, bilang terima kasih sudah dikasih kesempatan cenah. (Berkat kegiatan Terap Festival—red) warga jadi tahu kalau mereka teh punya bakat. Dan berharap untuk terlibat lagi. Warga juga antusias untuk ikutan semua rangkaian kegiatan. Dan, satu lagi, tadi ada warga komen ke saya, bahwa warga jadi semakin akrab dan tampak kekeluargaannya,” pungkas Teh Oda.

Keterangan Teh Oda dan peta harapan yang diisi para peserta Braga-Bragaan dengan tegas mengingatkan: betapa di balik gedung-gedung cagar budaya dan berbagai tempat kongkow kekinian sepanjang Jalan Braga, Braga lebih dari sekadar tempat wisata sebab di sana ada warga yang eksis dengan segala kompleksitas kenangan dan harapannya, ketakutan dan keinginannya, sebagaimana kita semua. 

Pendek kata, “Hei warga kota! Di Braga masih ada manusia!” 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//