Ketika Ibu-ibu dari Braga Memainkan Teater Simulasi Bencana Banjir Bandang
Lakon teater Indung Braga Berjaga yang dipentaskan di Kampung Gang Apandi mengajarkan warga untuk bersiap menghadapi kemungkinan bencana.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah8 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Sisa gerimis hujan membasahi Gang Kampung Braga, Sabtu sore, 3 Agustus 2024. Wangi hujan yang khas masih tercium ketika seorang perempuan memakai baju daster putih dan kerudung hitam bersiap menampilkan simulasi bencana banjir. Awal tahun ini, kampung di jantung Kota Bandung pernah porak poranda dilanda banjir luapan Sungai Cikapundung.
Ocharini (37 tahun), perempuan tersebut, bersama ibu-ibu lainnya mengawali simulasi bencana dengan melemparkan taburan garam tolak bala. Mereka mengambil posisi melingkar di lapangan. Seseorang penonton ditarik untuk bermain peran sebagai Calon Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bandung.
“Indung Braga Berjaga” menjadi tajuk penampilan simulasi siaga bencana yang diperankan ibu-ibu warga Gang Kampung Braga RW 08. Lakon teater ini merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Teater Ruang Publik (Terap Festival) #1 yang diadakan di Gang Apandi, Jalan Braga, Bandung 3-10 Agustus 2024. Gymnastik Emporium dan Hot Mamah Dance Club menjadi penggerak pementasan yang berkolaborasi dengan warga setempat.
Lakon teater simulasi bencana “Indung Braga Berjaga” diambil dari peristiwa banjir yang melanda kampung kota 11 Januari 2024. Banjir bandang Sungai Cikapundung ini berdampak pada 250 kepala keluarga atau lebih dari 1.000 jiwa. Sebagian warga korban banjir ada yang mengungsi ke beberapa toko dan gedung di kawasan Jalan Braga.
Gemuruh suara penonton mengiringi adegan yang diperankan mamah-mamah ini. Adegan pertama dimulai dengan pengumuman melalui pengeras suara masjid tentang peringatan dini banjir yang mulai melanda di wilayah sekitar bantaran Cikapundung.
“Pengumuman-pengumuman kepada warga RW 08 yang rumahnya dekat di bantaran Sungai Cikapundung harap siaga, air mulai naik, listrik dimatikan. Sekali lagi kepada rumahnya di bantaran kali Cikapundung, bawa surat-surat penting, kompor, dan listrik dimatikan. Keluarga yang dekat dibawa,” seru seorang ibu.
Pengumuman tersebut segera disahut Ocharini. Dengan nada tergesa-gesa, ia meminta anaknya untuk siap siaga. “Ai, ai kade eta banjir, tong hilap pareuman kompor, surat-surat penting kade,” teriak Ocharini.
Ocharini bersama mamah-mamah lainnya memperagakan membawa tas di atas kepala. Mereka berlari menuju taman kanak-kanak sebagai tempat evakuasi.
Tiba di tempat evakuasi, Ocharini pun mengenang kejadian nyata banjir yang melanda rumah kontrakan dua lantai yang ia tempati. Banjir menjebol pintu dapurnya.
“Air besar datang setengah limaan jebol lewat dapur, hape anak saya di bawah. Pas cari hape, hapenya ada di bawah bantal, mau keluar air mulai besar, ngontrak dua kamar, saya bersama dua anak saya air udah jebol. Saya terjebak di atas, anak saya. Turun-turun magrib,” cerita Ocharini.
Di tempat evakuasi, warga kampung terutama mamah-mamah melakukan adegan senam siap siaga sebagai bagian dari trauma healing. Senam diikuti semua orang, tua muda, remaja. Bahkan para penonton teater simulasi banjir juga antusias ikut senam.
Bagi Ocharini, simulasi siaga bencana melalui lakon teater ini memberikan pengetahuan baru bagaimana menghadapi bencana alam. Ketika alam mengamuk, kita sebaiknya tidak panik.
“Ke depannya biar jangan panik aja kalau ada banjir, mudah-mudahan kita bisa mempraktikkan ilmu ini. Jangan panik yang pertama, matikan listrik dan kompor, kemudian bawa tas gercep, isinya surat-surat penting,” ungkap Ocharini.
Dari gedung Taman Kanak-kanak yang menjadi latar evakuasi, Ocharini dan gengnya berjalan menuju Gazebo Titik Kumpul Bencana RW 08 Kelurahan Braga untuk menikmati makanan-makanan yang diperagakan sebagai dapur umum darurat.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG (41): Syarif Pelukis di Jalan Braga, Berawal dari Kontraktor Bangunan kini Menjadi Seniman
Ramadan di Tahun Pagebluk (19): Layu (Penjual) Bunga di Jalan Braga
Sudahkah Jalan Braga Ramah Disabilitas dan Lansia?
Dari Warga untuk Warga
Irfanuddien Ghozali dari Gymnastik Emporium yang menjadi Direktur Artistik rangkaian Festival Teater Ruang Publik #1 menjelaskan, pihaknya berkolaborasi dengan Hot Mamah Dance Club dalam pementasan “Indung Braga Berjaga” ini. Sebelum melakukan pementasan, mereka melakukan observasi selama dua hari ke Braga.
“Waktu itu kami diminta satu titik di kawasan braga, yang kami pilih Gang Apandi ini karena memiliki sejarah panjang,” ujar Irfanuddien Ghozali.
Ghozali melihat di balik kerlap kerlip kawasan elite Jalan Braga terdapat problem sosial dan lingkungan yang belum selesai, di antaranya permasalahan banjir di bagian dalam kampung kota khususnya yang berdekatan dengan Sungai Cikapundung.
Sutradara asal Yogyakarta ini juga melakukan riset Bandung sebagai kota urban. Diketahui bahwa kota sebesar Bandung ternyata belum memiliki dinas yang bergerak untuk mitigasi dan penanggulangan bencana (BPBD). Akhirnya, mereka melahirkan pentas simulasi bencana banjir.
Simulasi ini hadir untuk mengeluarkan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh warga. Setiap daerah memiliki topografi dan cara menghadapi yang berbeda. Namun, peran perempuan saat menghadapi bencana lebih kompleks ketimbang laki-laki.
“Maka kami pilih itu karena saya yakin bahwa mereka memiliki banyak pengetahuan, pengetahuan itu sebenarnya yang ingin kami artikulasikan di dalam simulasi ini, karena kami memiliki kecenderungan untuk bikin pertunjukkan berdasarkan isu-isu yang ada di warga, aktor utama warga sebagai pemilik pengetahuan dan pengalaman,” terangnya.
Ghozali dan komunitasnya hanya punya waktu lima belas hari untuk melatih warga. Secara teknis, latihan murni hanya berlangsung tiga sampai lima hari. Sisanya lebih banyak dilakukan dengan berinteraksi dan memahami kehidupan di Gang Apandi kampung Braga.
Seniman Fasilitator dari Hot Mamah Dance Club Agni Ekayanti menyebut, simulasi yang dibalut teater ini menghadirkan ibu-ibu sebagai para aktor dikarenakan naskah awal lakon tidak melihat perspektif perempuan.
“Makannya kami mengajak ibu-ibu di sini untuk menceritakan kembali, menyusun naskah kebencanaan sendiri. Ini disusun bareng-bareng sama ibu-ibu,” kata Agni.
Skenario lakon yang disusun hanya alur besarnya saja yang intinya apa yang harus dilakukan warga ketika terjadi bencana banjir. Selebihnya para pemain mesti berimprovisasi sendiri. Warga yang tidak memiliki dasar-dasar ilmu teater pun mendapatkan kebebasan untuk bermain senyaman mungkin.
Sama halnya dengan Ghozali, Agni hanya berperan sebagai fasilitator yang menyusun naskah berdasarkan pengalaman dan pengetahuan warga. Agni berharap teater ini mampu mendorong pembentukan BPBD di Kota Bandung sekaligus menjadi contoh, pengalaman, dan pengetahuan bagi warga akan kesiapsiagaan bencana.
Ketiadaan BPBD di Kota Bandung juga menjadi sorotan Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey Machmuddin. Ia menyebut, BPBD Kota Bandung akan dibentuk tahun depan. Selama ini fungsi dan peran BPBD masih ditangani Diskar PB Kota Bandung.
Bey menyebut, selama 2023 di Jawa Barat terjadi dilanda 750 bencana. Menurutnya, pertunjukkan seni teater yang mengangkat tema tentang kebencanaan patut diapresiasi.
"Tadi juga karena memang pernah ada bencana (di sini), jadi ibu-ibu bermainnya sangat full menghayati sebab memang mereka mengalami sendiri. Jadi memang sudah sangat baik sekali dan saya rasa kalau boleh ditularkan ke kampung atau kelurahan-kelurahan lainnya agar kita semua menjadi siap bencana," jelas Bey.
Menurutnya, semua orang tentu tidak menginginkan bencana. Namun jika bencana terjadi maka siapa pun harus siap mengantisipasi dan mengurangi risiko bencana (mitigasi).
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Jalan Braga