Membahas Manusia, Alam, dan Sampah di Pinggir Aliran Sungai Cikapundung
Rangkaian acara “Bilik Tilik, Otak Kotak” di Taman Kampung Cibarani seluruhnya membahas soal sampah dan sungai. Masih dalam rangkaian Bandung Design Biennale 2023.
Penulis Tofan Aditya7 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Di suatu masa, kawanan gajah dan kawanan badak merasa ada yang aneh dengan sungai dan kubangan. Di tempat tinggal mereka tersebut, banyak sekali benda yang mengambang. Ketika mereka coba memakannya, benda tersebut tidak ada rasanya dan sangat alot. Barulah mereka sadari bahwa benda tersebut adalah sampah plastik yang tidak bisa dimakan.
Kawanan gajah dan kawanan badak pun kemudian mencoba mencari tempat tinggal baru yang lebih bersih. Hingga di kemudian tempat, kedua kawanan tersebut melihat sebuah mata air yang sangat bersih. Ketika berjalan mendekat, kawanan gajah dan kawanan badak tiba-tiba dihadang oleh seekor burung.
Sang gajah pun segera menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada sang burung. Gajah menjelaskan kalau tempat tinggal mereka kini penuh dengan sampah. Namun, burung tetap menolak keinginan mereka untuk tinggal di mata air. Sebab, mata air tersebut adalah sumber kehidupan bagi masyarakat di hilir. Dengan perasaan sedih kedua kawanan tersebut pun kembali ke tempat tinggalnya yang penuh oleh sampah plastik.
“Hey manusia! Mengapa kalian selalu membuang sampah plastik di mana saja? Jadi kan tempat tinggal kita hilang,” tutur Ratimaya menirukan suara sang gajah.
“Masa sih kita sendiri yang harus membersihkan. Kita kan bukan penciptanya.”
Riuh tepuk tangan penonton terdengar tepat setelah Ratimaya menyelesaikan dongengnya di Taman Kampung Cibarani pada Minggu, 1 Oktober 2023 sore. Aliran Sungai Cikapundung yang mengalir di belakang Ratimaya ketika bercerita seolah gambaran nyata dongeng bergenre fabel tersebut. Penonton yang mayoritas adalah orang dewasa paham kalau apa yang disampaikan Ratimaya bukan sekadar fiksi belaka.
Pembukaan rangkaian acara “Bilik Tilik, Otak Kotak” pada hari itu, secara keseluruhan, memang membahas soal sampah dan sungai. Selain dongeng, acara yang masuk ke dalam rangkaian Bandung Design Biennale 2023 ini juga diisi oleh gelar wicara bertajuk “Kuno dan Kini; Sebuah Pembuka”.
Fei Febri (CEO Bank Sampah), Ryan Hendriyan (Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan), Nugie Herdian (Komunitas Cinta Alam Indonesia), dan Ahmad Muharam (Pemerhati Budaya) dipilih sebagai pembicara. Dipandu oleh Lulu Situmeang, semua pembicara membahas tentang bagaimana kedekatan antara alam, khususnya sungai, dengan manusia, serta tanggung jawab pemerintah dalam menangani isu sampah.
“Bank sampah itu bukan solusi. Solusi itu adalah sistem dan enable people to change,” terang Fei dalam pemaparannya.
“Sebenarnya bank sampah itu adalah kegagalan pemerintah dalam mengelola sampah!”
Selepas gelar wicara, acara dilanjutkan dengan penampilan pantomim dari Wanggi Hoed dan perkenalan seni instalasi yang akan dipamerkan selama bulan Oktober. “Thinking of the Box”, nama seni instalasi tersebut, adalah sebuah kotak seperti bilik suara yang digunakan untuk menampung keresahan publik di Kota Bandung dengan cara menuliskan keluhan tentang sampah dan sungai di sampah saset yang dibawa sendiri.
Terdapat dua lokasi penempatan “Thinking of the Box”. Selain di Taman Kampung Cibarani yang berdampingan langsung dengan Watervang Leuwilimoes, seni instalasi yang interaktif dan partisipatoris juga dapat ditemui di pusat kota, tepatnya di Stocker House, Braga.
Baca Juga: Bandung Design Biennale, Desain dan Upaya Memberikan Dampak
MERAYAKAN DESAIN: Mengenal Bandung Design Biennale 2023
Manusia, Sungai, dan Sampah
Sejak zaman dulu, peradaban manusia selalu lekat dengan alam, utamanya sungai. Ketika berdampingan langsung dengan aliran air, manusia menjadi lebih mudah untuk mencari makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam naskah kuno Amanat Galunggung, Patanjala adalah bukti leluhur Sunda menempatkan sungai sebagai sumber kehidupan. Dalam konsep Patanjala ini, sungai diyakini sebagai sistem atau pola pengelolaan lingkungan yang merepresentasikan pola keteraturan ruang (tata wilayah), waktu (tata wayah), dan aktivitas (tata lampah) di dalamnya.
Namun, beda dulu beda sekarang. Sungai hari ini sudah berbau dan berwarna.
Bahkan, dalam laporan Greenpeace Asia Tenggara dan Walhi Jawa Barat berjudul “Bahan Beracun Lepas Kendali” (2012), sungai Citarum sudah terkontaminasi berbagai jenis logam berat dan senyawa kimia organik bersifat toksik yang berbahaya bagi kesehatan. Sebagian besar orang memilih menjauhi sungai dan hanya menjadikannya tempat pembuangan sampah.
“Saya saksi mata sungai Cikapundung. Waktu kecil suka berenang di sini dan liliwetan. Masak nasi liwet itu airnya air ini, air sungai,” cerita Ahmad Muharam yang kerap disapa Abah Te’er sambil menunjuk aliran sungai Cikapundung di belakangnya.
Dalam diskusi di Taman Kampung Cibarani tersebut, warga yang semakin padat, industri yang semakin banyak, dan produksi produk plastik yang masif adalah pemicu membludaknya sampah di sungai. Selain itu, Abah Te’er menggarisbawahi komunikasi antara pemerintah dan rakyat yang tidak nyambung adalah persoalan.
Sebagai orang yang sejak kecil tinggal di lingkungan kabuyutan, Abah Te’er mengajak seuweu-siwi untuk terus menjaga kelestarian Sungai Cikapundung. Selain itu, di usia senjanya, Abah Te’er mengajak anak-anak muda untuk terus berjuang mempengaruhi kebijakan publik.
“Aktivis walungan melenoy datang ka imah mah, nya? Kadang-kadang keur dahar sorangan oge hese. Nunggak we engkena teh, da teu mawa nanaon,” canda Abah Te’er.