Potret Lain Braga Melalui Gerilya Bunyi
Ganda Swarna melalui karya seni Gerilya Bunyi di Terap Festival menghadirkan refleksi Braga masa lalu dan masa kini yang jauh berbeda.
Penulis Nabila Eva Hilfani 11 Agustus 2024
BandungBergerak.id - “Pertama kali ke Braga, bunyi apa yang kamu dengar?” sapaan awal Ganda Swarna dalam rekaman suara karyanya, Gerilya Bunyi di Terap Festival yang dapat diakses melalui kode batang di beberapa titik daerah Braga, Minggu, 4 Agustus 2024.
Menyingkap imajinasi lain tentang Braga selain potret pusat hiburan menjadi satu persoalan yang dihadirkan Ganda Swarna dalam karyanya. Berpetualang sembari mendengar melalui perangkat jemala. Begitulah karyanya yang mengharuskan para penikmat jalan menyusuri setiap seluk beluk Braga untuk dapat menyelami pengalaman seni dari Gerilya Bunyi.
Suara kicauan burung yang mendominasi, ditemani suara obrolan orang-orang dari kejauhan, dan anak-anak yang sedang bermain kegirangan. Tertangkap jelas suara dengung yang ternyata berasal dari mesin blower Hotel Gino Feruci yang juga dijahit bersatu dalam rekaman kumpulan bunyi yang bersumber dari kawasan tinggal di balik Jalan Braga, Banceuy, atau kawasan tersembunyi lainnya yang sering kali terlewatkan dari imajinasi Braga dalam potret pusat hiburan.
Suara-suaranya begitu kontras berbeda dengan bunyi-bunyian Jalan Braga yang lebih akrab di telinga. “Brmmm…brmmm…brmmm…bim-bim…,” Riuh suara kendaraan, lalu lalang orang, hingga musik kencang yang saling menyahut dari tempat-tempat hiburan.
Tini dan Salma, dua warga Banceuy yang terdengar menuturkan cerita dan menyingkap potret-potret Braga masa lalu, hari ini, hingga Braga masa depan yang bukan hanya soal Braga sebagai pusat hiburan. Namun, Braga sebagai kawasan tinggal.
Braga yang lengang, sedikit mobil yang terparkir, anak-anak yang berlarian tanpa beban ketakutan dibawa lari oleh orang asing, atau bahkan delman yang masih dapat mengitari jalan Braga kala lebaran tiba. Setidaknya imajinasi Braga di masa lalu memenuhi pikiran di tengah riuhnya Jalan Braga yang menjadi titik awal penikmatan karya Gerilya Bunyi.
Memasuki Gang Apandi untuk mencari titik selanjutnya mengingatkan kembali kontras bunyi antara Braga depan dan kawasan tinggal warga Banceuy yang begitu sunyi. Seakan, suara riuh kendaraan, lalu lalang orang, dan suara musik-musik yang bertabrakan itu dibalut dengan kain tidak berongga sehingga hilang dari indra pendengaran.
Memindai lalu duduk memperhatikan. Cerita Salma yang mengiringi lewat perangkat jemala seakan menjadi penutur di tengah area terbuka, tempat anak-anak Banceuy berlarian menendang bola. Area terbuka dengan rumah-rumah berjajar mengelilinginya dan gedung-gedung yang menjadi tampak lebih besar terlihat begitu tajam berbeda dengan Jalan Braga yang gemerlap.
Nyata begitu sama dengan apa yang dituturkan Salma. Pemandangan anak-anak yang bermain bola dan perempuan-perempuan dewasa duduk tertawa di ujung tangga pelataran membicarakan hal-hal yang tidak begitu jelas terdengar, seakan menjadi sebuah film yang diputar langsung sengaja mengikuti setiap tuturan Salma.
Lanjut menyusuri titik terakhir. Jembatan Sungai Cikapundung. Pemandangan sungai yang berbeda dengan potret masa lalu Tini. Sungai yang dapat bebas direnangi anak-anak tanpa khawatir terjangkit penyakit, runtuh seketika. Air yang hitam dan tumpukan sampah yang tersangkut di setiap tepinya menjadi kondisi Sungai Cikapundung hari ini.
Sungai yang tercemar, banjir yang menghantui, bahu jalan yang disesaki kendaraan yang terparkir, hingga keamanan malam hari yang sempat tidak terjamin dari orang-orang mabuk sepulang klab malam menjadi potret Braga hari ini di mata Tini.
“Kalau harapan ibu ingin seperti dulu lagi, aman tenteram. Terus parkir juga gak sembarangan, kalau sekarang parkir juga sembrono,” ucap Tini.
“Ada harapan satu lagi, kalau boleh Gang Apandi ini tuh jangan sampai ada banjir lagi. Jadi pengin ada kayak penghalang buat mencegah air banjir masuk ke dalam,” timpal Salma yang menutup kisah Braga dari mata warga Banceuy.
Dari Penggalian Memori Masa Lalu ke Imajinasi Lain Tentang Braga
Seni yang disajikan Ganda Swarna berangkat dari cerita masa lalu yang menangkap ragam bunyi dari tempat tinggal masa kecil. Ganda tinggal di rumah yang menyatu dengan kantor sekolah, tempat kedua orang tua Ganda bekerja sebagai guru. Suara para siswa yang menembus dari ruang kelas, suara bel yang kencang berdentang, hingga obrolan guru-guru dengan para wali murid menjadi pengalamannya yang dipenuhi dengan ragam bunyi.
“Aku mendengar itu (suara-suara di masa lalunya) menjadi pengalaman sekarang. Sehingga aku ingin mengolah itu menjadi satu karya bunyi yang dia bukan hanya sekedar suara rekaman, tapi pengin mencoba pengalaman itu di satu tempat. ‘Gimana ya kalau seseorang mendengarkan cerita di tempat di mana cerita itu berasal?’ dengan teknik editing, mendokumentasikan suara yang ada di sana, terus di-mixing dan hingga jadi satu kejadian peristiwa,” terang Ganda Swarna, kepada BandungBergerak.id, Senin, 5 Agustus 2024.
Mengungkap potret lain Braga dari narasi Braga sebagai pusat hiburan yang dibangun sejak era kolonial hingga pemerintahan saat ini menjadi dasar pengangkatan kisah dalam Gerilya Bunyi.
“Sebenarnya aku pengin coba menunjukkan sedikit kisah di balik narasi Braga yang selalu dibangun sebagai tempat hiburan sejak era kolonial sampai sekarang. Namun, imajinasi pemerintah tentang itu (Braga sebagai pusat hiburan) meniadakan warga yang ada di belakang. Jadi aku pengin mendengar apa sih Braga menurut mereka,” ungkap Ganda Swarna, seniman kelahiran Medan yang kerap bekerja dengan meneliti arsip, kisah-kisah tersembunyi, dan tubuh dalam ruang privat dan publik.
Pengungkapan potret Braga tentang kawasan di balik jalan Braga yang sering kali diasingkan dari narasi Braga sebagai pusat hiburan menjadi satu alasan pemilihan potret Braga masa lalu, kini, dan harapan masa depan dari perspektif warga Banceuy, khususnya perspektif perempuan warga Banceuy.
“Aku ngambil narasumber dua duanya perempuan. Memang aku sadari sejak awal. Aku pengin melihat cerita Braga dari perspektif perempuan dan harapan perempuan tentang Braga ke depan,” ujar Ganda yang juga khawatir atas keinginannya itu terdapat bias, sehingga begitu terbuka atas kritikan jika hal itu memang terlihat ada dalam karyanya.
Banjir, soal keamanan, hingga keamanan bermain anak-anak adalah tiga persoalan besar yang lebih disorot dalam Gerilya Bunyi sebagai media pengungkapan potret lain soal Braga. Trauma menjadi satu alasan Ganda membuat batasan penggalian yang tidak begitu dalam tentang persoalan-persoalan yang ada.
Persoalan jalan Braga yang kini tidak lagi aman untuk anak-anak warga Banceuy bermain dibawa oleh Ganda dalam sesi Gerilya Bunyi untuk anak yang dilaksanakan pada 4 Agustus 2024. Konsep petak umpet, suara yang menjadi kucing. Hitungan ke-20, anak-anak mencari setiap kode batang khusus anak-anak yang disebar di sepanjang jalan Braga untuk dipindai dan didengarkan dengan alat bantu yang telah disediakan.
Baca Juga: Ketika Ibu-ibu dari Braga Memainkan Teater Simulasi Bencana Banjir Bandang
Mencari Sejarah Palestina di Pasar Antik Cikapundung
Kampanye Komunitas Lokal Menolak Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan
Dari Gerilya hingga Vandal
Individu atau kelompok kecil yang bergerak dari satu titik ke titik lain, konsep Gerilya yang digunakan dalam karya Gerilya Bunyi.
“Aku berharap mereka dapat satu pengalaman baru dari mengalami peristiwa teater sendiri. Biasanya mereka menikmati karya teater dalam gedung duduk di ruangan safety, tapi aku mencoba memperluas gedung teater itu di area publik. Cara menikmatinya ya dengan scan-mendengar, scan-mendengar, scan-mendengar,” terang Ganda
Metode vandal juga digunakan Ganda dalam Gerilya Bunyi. Pemasangan kode batang tanpa desain maupun atribut lainnya, seakan hanya tempelan kertas biasa di atas tembok. Itulah yang menjadi sisi eksplorasi Ganda dalam karyanya. Bahkan, beberapa stiker kode batang yang hilang dicabut dibiarkannya tanpa digantikan dengan yang baru. Karya Gerilya Bunyi yang dapat diakses tanpa batas waktu atau hingga kode batang itu hilang dicabut atau ditutupi dengan tempelan lainnya menjadi bagian dalam konsep vandal yang digunakan.
Bukan hanya menjadi ruang eksplorasi Ganda sebagai pencipta karya, harapan besar tentang menyingkap potret lain dari Braga yang juga perlu diperhatikan oleh semua pihak tersisipkan dalam karyanya, Gerilya Bunyi.
“Publik itu bisa mendengar kisah lain dari narasi utama yang dibangun pemerintah terhadap Braga ini bahwa. Braga tuh bukan cuma depan ini (Jalan Braga yang dipenuhi oleh cafe-cafe) lho. Ada di sana (di balik jalan Braga utama). Kaya pertanyaan terakhirku di karya itu tentang ‘imajinasi apa sih yang kita bawa ketika datang ke Braga ini?’ Gitu,” harapan besar lain Ganda dalam Gerilya Bunyi.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca artikel-artikel lain dari Nabila Eva Hilfani, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Seni