Mencari Sejarah Palestina di Pasar Antik Cikapundung
Dalam diskusi di Red Raws Center bertajuk Sejarah Palestina dan Pemutaran Film Farha ini terungkap bagaimana awal berdirinya Israel di tanah Palestina.
Penulis Reyner Thaddeus Purwanto. 9 Agustus 2024
BandungBergerak.id - Sebelum sejarah mengenal metodologi saintifik atau ukiran dan penulisan aksara, memori diturunkan melalui penuturan oral yang sarat akan nilai. Tidak jarang pula versi sejarah dalam medium oral bervariasi bergantung pada pihak-pihak yang menuturkannya. Bahkan Marx dan Engel mengkritik formasi sejarah modern yang dianggap tidak juga terlepas dari kesewenangan elite; konsepsi materialisme historis.
Di tengah Pasar Antik Cikapundung, Bandung di antara gerai-gerai toko, dilaksanakan pemutaran film dan diskusi sejarah Palestina oleh Red Raws Center (RRC) yang mencoba menentang konstruksi sejarah tersebut. Peserta dengan jumlah sekitar dua puluh orang ditambah pemapar sejarah Dina Sulaeman, seorang dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran dengan spesialisasi Timur Tengah, mencoba merekonstruksi sejarah dalam perkumpulan kecil bertajuk “Sejarah Palestina dan Pemutaran Film Farha”, Selasa, 6 Agustus 2024.
Acara dalam bingkai Asupan Elmu, diskusi rutin yang diselenggarakan oleh Red Raws Center. “Kali ini kita akan berbicara tentang basic, apa yang selama ini kita perjuangkan, kita suarakan. Selama ini kan simpang siur gitu menerima tentang sejarah Palestina,” ujar presenter yang membuka jalannya proses pemutaran film dan diskusi.
Film “Farha” yang diputar menjadi media uluran tangan sejarah simpang siur dengan menampilkan kisah seorang gadis di desa Palestina pada saat Nakba; Perang Palestina pada tahun 1948 yang menjadi momen kelam pengusiran besar-besaran.
Reka ulang peristiwa keji di dalam film tidak menunjukkan sisi teatrikal yang berlebih. Semua adegannya dibuat dengan perhatian terhadap realisme sejarah. Dina Sulaeman menambahkan mengenai sisi milisi Israel, “mereka (tentara milisi Israel) bercerita, sebagiannya juga dengan tertawa bagaimana mereka menembaki orang dan juga memperkosa perempuan, tapi juga kelihatan kalau depresi juga mengenang masa lalu”.
Sayangnya, preservasi memori mengenai trauma yang terjadi lebih sering dilakukan melalui sejarah oral oleh warga keturunan Palestina di kamp-kamp pengungsian. Dina Sulaeman juga sempat memberikan latar belakang pembuatan film yang terjadi hanya karena adanya penyampaian cerita sejarah dari seorang pengungsi kepada kerabat sutradara film.
Baca Juga: Aksi 100 Hari untuk Palestina di Bandung, Memaknai Dukungan Korea Utara
Peringatan Hari Al Quds Internasional di Bandung Menggemakan Kemerdekaan Palestina
Aksi Hamparkan Bendera Israel di Jalan Asia Afrika dalam Peringatan Hari Al Quds Internasional
Melihat Ulang Sejarah Palestina
Peristiwa Nakba yang diceritakan dalam film adalah hasil dari keputusan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 181 tahun 1947 yang membagi wilayah teritorial Palestina menjadi 55 persen untuk orang Yahudi dan 45 persen untuk orang Arab. Milisi Israel yang melakukan pengusiran juga bukan merupakan perangkat militer resmi, namun terdiri dari organisasi militer zionis seperti Irgun, Haganah, dan Lehi.
Bahkan, konstruksi ide negara Israel bukan didasarkan atas etnonasionalisme zionis. “Sejak awal tidak bawa-bawa agama, proyeknya adalah makelar real estate sebenarnya … tolong bantu kami untuk bikin sebuah negara di Palestina, nanti negara baru ini akan menjadi benteng peradaban Barat di Timur Tengah yang barbar,” papar Dina Sulaeman.
Perkara narasi Sunni-Syiah dalam dukungan terhadap Palestina menjadi refleksi dasar non-agamis yang ditambahkan oleh Otong Sulaeman, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra, sebagai upaya perpecahan melalui eksposur berlebih terhadap masalah yang umum ditemui dalam berbagai gerakan perjuangan lintas waktu dan lintas wilayah.
“Pada dasarnya umat Islam itu bersatu. Nah tapi tetapi apa yang terjadi di Timur Tengah sepengetahuan saya ini adalah kelanjutan dari neokolonialisme,” kata Otong Sulaeman, seraya menyebutkan daftar penjajahan budaya, ekonomi, dan salah satunya melalui narasi agama.
Sejarah Palestina dalam perjuangannya lalu dibahas satu per satu oleh Dina Sulaeman mengenai Perjanjian Oslo tahun 1993 yang merugikan hingga pengkhianatan atas hasil Pemilu Palestina tahun 2006 yang dimenangi oleh Hamas.
Tetapi, rekonstruksi pemahaman atas sejarah Palestina mencapai titik puncaknya ketika ada peserta yang bertanya “bagaimana kita dari kaum muda mulai untuk mengarahkan perjuangan, melihat dari negara sendiri masih meskipun mengakui Palestina tetapi ada hubungan ekonomi, untuk mendorong pemerintah?”
Dina Sulaeman menjawab dengan menjelaskan empat pilar kebijakan luar negeri yaitu kelompok kepentingan, perusahaan transnasional, opini publik, dan aksi massa. Ia memfokuskan pada dua pilar opini publik dan aksi massa.
“Aksi misalnya temen-temen waktu di monumen Asia-Afrika itu kan sebenarnya menggerakkan opini publik,” katanya.
Pengingatan atas tragedi dan gerakan yang konsisten perlu didasarkan pada emansipasi dan edukasi. Namun, menurut Dina Sulaeman, kedua hal itu masih sangat kurang di Indonesia.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan dari Reyner Thaddeus Purwanto atau artikel-artikel lain tentang Palestina