• Berita
  • Aksi 100 Hari untuk Palestina di Bandung, Memaknai Dukungan Korea Utara

Aksi 100 Hari untuk Palestina di Bandung, Memaknai Dukungan Korea Utara

Aksi Satu Jam Hormat untuk Palestina kembali dilakukan dua seniman Bandung, bertepatan dengan wafatnya Kim Il Sung, pemimpin Korea Utara.

Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Linda Lestari9 Juli 2024


BandungBergerak.idSatu Jam Hormat untuk Palestina kembali dilakukan oleh dua seniman Bandung, Gatot Gunawan dan Wanggi Hoed di tugu Dasasila, Jalan Asia Afrika, Bandung. Aksi yang dilakukan pada 8 Juli 2024 itu sekaligus memperingati wafatnya Pemimpin Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korea Utara Kim Il Sung yang pada masa hidupnya turut memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Gatot berdiri di atas tugu Dasasila mengenakan hanbok, pakaian adat Korea. Ia mengatakan, pergerakan yang dilakukan ialah melalui seni budaya sehingga aksi yang dilakukan selalu membawa unsur seni budaya. Ia bersama Wanggi juga membawa bunga sebagai simbol duka untuk wafatnya Kim Il Sung dan para korban di Palestina.

“Kalau bunga kan simbol dari duka, bukan hanya memperingati wafatnya Kim Il Sung tapi juga memperingati seluruh korban yang wafat di Palestina,” kata Gatot kepada BandungBergerak.Id.

Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Aksi Satu Jam Hormat untuk Palestina ini merupakan rangkaian aksi yang akan dilakukan selama 100 hari. Selama bulan Juni lalu, aksi Satu Jam Hormat untuk Palestina ini mengangkat tema Bung Karno, mengacu pada bulan kelahiran Sukarno, dengan mengambil sudut pandang keterlibatan Proklamator RI untuk kemerdekaan Palestina.

Aksi yang dilakukan hari ini sesuai dengan momentum 30 tahun wafatnya Kim Il Sung, presiden Republik Rakyat Demokratik Korea yang serius mendukung kemerdekaan Palestina. Sampai saat ini pun Korea Utara secara berkelanjutan memberikan pada Palestina.

Gatot menyebut, aksi akan terus berlanjut sampai 100 hari dengan tema yang berbeda. Ia juga menuturkan aksi yang akan dilakukan selanjutnya akan mengeksplorasi negara-negara di Asia Afrika. Ia menyebut pada 18 Juli mendatang akan mengangkat tema Afrika Selatan dengan momentum kelahiran Nelson Mandela.

Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

“Jadi memang ini tuh kan rangkaian dari bulan Juni. Kegiatannya rangkaian 100 Hari untuk Palestina, judul besarnya. Kita ambil tematik, bulan Juni peringatan Bung Karno, fokusnya sudut pandang Bung Karno ke Palestina. Nah, sekarang yang ke-25 ini di tanggal 8 Juli ngambilnya tentang Korea Utara. Sekarang karena memang diketahui kan Korea Utara support terus kan, kontinyu teruslah konsisten (mendukung Palestina),” jelas Gatot.

Gatot menyebut dengan adanya kegiatan aksi Satu Jam Hormat untuk Palestina ini diharapkan dapat membuat masyarakat lebih empati dan simpati terhadap kemerdekaan Palestina. Terlebih, Kota Bandung sebagai Ibu Kota Asia Afrika mempunyai spirit atas kemerdekaan bangsa-bangsa Asia Afrika yang memiliki dampak besar. Ia juga menyebut aksi ini sebagai bentuk untuk merawat ingatan masyarakat tentang Bandung sebagai Ibu Kota Asia Afrika.

“Nah jadi ini juga mengingatkan kembali masyarakat, merawat ingatan kita semua bahwa Bandung sebagai ibu kota Asia Afrika harus mempunyai kontribusi besar terhadap kemerdekaan Palestina,” kata Gatot.

Baca Juga: Satu Jam Hormat untuk Palestina
Palestina dalam Dekapan Bandung
Doa untuk Palestina dari Cikapayang

Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Jejak Kim Il Sung

Laman britannica.com menjelaskan biografi singkat Kim Il Sung yang lahir 15 April 1912 di Mangyondae, dekat Pyongyang, Korea [sekarang di Korea Utara], meninggal 8 Juli 1994 di Pyongyang. Dia adalah pemimpin komunis Korea Utara dari tahun 1948 hingga kematiannya pada tahun 1994.

Kim Il Sung adalah perdana menteri negara tersebut dari tahun 1948 hingga 1972, ketua Partai Pekerja Korea yang dominan sejak tahun 1949, dan presiden serta kepala negara sejak tahun 1972.

Kim adalah putra dari orang tua yang melarikan diri ke Manchuria selama masa kecilnya untuk melarikan diri dari kekuasaan Jepang di Korea. Ia bersekolah di sekolah dasar di Manchuria dan, saat masih menjadi siswa, bergabung dengan organisasi pemuda komunis. Ia ditangkap dan dipenjara karena aktivitasnya dengan kelompok tersebut pada tahun 1929–30.

Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Setelah Kim dibebaskan dari penjara, ia bergabung dengan perlawanan gerilya Korea terhadap pendudukan Jepang pada suatu waktu di tahun 1930-an dan mengadopsi nama seorang pejuang gerilya legendaris Korea sebelumnya yang melawan Jepang. Kim diperhatikan oleh otoritas militer Soviet, yang mengirimnya ke Uni Soviet untuk pelatihan militer dan politik. Di sana ia bergabung dengan Partai Komunis setempat.

Selama Perang Dunia II, Kim memimpin kontingen Korea sebagai mayor di tentara Soviet. Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, Korea secara efektif terbagi antara bagian utara yang diduduki Soviet dan bagian selatan yang didukung AS. Pada saat ini Kim kembali dengan orang Korea lain yang dilatih Soviet untuk mendirikan pemerintahan sementara komunis di bawah naungan Soviet di tempat yang kemudian menjadi Korea Utara. Ia menjadi perdana menteri pertama Republik Rakyat Demokratik Korea yang baru dibentuk pada tahun 1948, dan pada tahun 1949 ia menjadi ketua Partai Pekerja Korea (komunis).

Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Berharap untuk menyatukan kembali Korea dengan kekuatan, Kim melancarkan invasi ke Korea Selatan pada tahun 1950, sehingga memicu Perang Korea yang berakhir dengan jalan buntu pada tahun 1953.

Sebagai kepala negara, Kim menjadi penguasa absolut negaranya dan mulai mengubah Korea Utara menjadi masyarakat yang keras, militeristik, dan sangat teratur yang mengabdikan diri pada tujuan ganda industrialisasi dan penyatuan kembali semenanjung Korea di bawah kekuasaan Korea Utara.

Kim memperkenalkan filosofi juche atau "kemandirian", Korea Utara mencoba mengembangkan ekonominya dengan sedikit atau tanpa bantuan dari negara asing. Ekonomi yang dijalankan negara Korea Utara tumbuh pesat pada tahun 1950-an dan 60-an tetapi akhirnya mandek, dengan kekurangan makanan yang terjadi pada awal 90-an.

Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Aksi penghormatan bendera Palestina dan Korea Utara dari komunitas Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 8 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Propaganda pengkultusan Kim berhasil membawanya pada kekuasaan tanpa perlawanan selama 46 tahun atas salah satu masyarakat paling terisolasi dan represif di dunia. Dalam kebijakan luar negerinya, ia memupuk hubungan dekat dengan Uni Soviet dan Tiongkok dan secara konsisten tetap memusuhi Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Sambil tetap mengendalikan Partai Pekerja Korea, Kim melepaskan jabatan perdana menteri dan terpilih sebagai presiden Korea Utara pada bulan Desember 1972. Pada tahun 1980 ia membesarkan putra sulungnya,Kim Jong Il, ke jabatan tinggi di partai dan militer, yang pada dasarnya menunjuk Kim yang lebih muda sebagai ahli warisnya.

Pembubaran Uni Soviet pada awal 1990-an menjadikan Tiongkok sebagai satu-satunya sekutu utama Korea Utara, dan Tiongkok memupuk hubungan yang lebih baik dengan Korea Selatan. Sementara itu, kebijakan Korea Utara terhadap Selatan berganti-ganti antara provokasi dan tawaran perdamaian sepanjang tahun 1980-an dan awal 90-an.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Linda Lestari, atau artikel-artikel lain tentang Palestina

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//